Kirana kira semuanya akan berjalan sesuai yang ia harapkan, tetapi ia salah. Ia tidak bisa memaksa dunia berputar mengelilinginya atau memaksa semuanya tunduk kepadanya. Dia bukan Tuhan dan dirinya sadar akan hal itu.
Namun, gadis remaja itu tidak bisa menahan dirinya untuk tidak kecewa dan menyesali permintaannya sore itu. Permintaan yang membuatnya kehilangan sosok Rayhan, lelaki yang membuatnya benci, takut dan membuatnya percaya bahwa ia mulai jatuh cinta.
Sejak hari dimana ia menghabiskan seharian penuh bersama Rayhan di akhir pekan itu, mereka tidak pernah lagi tertawa bersama. Kini, empat minggu lebih atau satu bulan berlalu, tapi Kirana merasa mereka semakin jauh.
Rayhan memang pernah tiga kali mengunjunginya di sekolah, tetapi hanya sebatas berkunjung, menampakkan wajah dan menanyakan kabar. Bahkan Rayhan hanya pernah sekali mengantarnya pulang. Selebihnya, mereka berkomunikasi melalui ponsel. Itu pun, harus Kirana yang memulai percakapan.
Rasanya gadis itu sudah lelah dengan semua drama percintaannya ini. Ia ingin membenci Rayhan setelah semua kesakitan yang ia rasakan. Ia ingin membenci agar bisa melupakan, tapi kenapa laki-laki itu datang dan mengacak-acak hidupnya. Lelaki itu membuatnya membenci sekaligus merasa bersalah.
Seharusnya hari itu Kirana tidak perlu datang menyelamatkan Rayhan sehingga ia hanya perlu membenci, mengobati rasa traumanya perlahan dan menjauh dari kehidupan Rayhan. Namun, kenapa takdir membawanya ke sini? Membuatnya merasa bersalah, tidak enak hati jika sebuah keluarga kehilangan sesosok itu karenanya. Juga membuatnya merasa menjadi pembunuh jika membiarkan lelaki itu terjun dari atap gedung tinggi itu.
Kirana merasa dipermainkan. Rayhan hanya ingin bermain-main dengannya. Setelah merubah rasa benci itu menjadi cinta, kini lelaki itu seenak jidat menghilang dan kembali sesuka hati.
Lihat saja saat ini, sudah lima hari Rayhan tak mengabarinya dan Kirana sengaja bersikap acuh berharap lelaki itu mau lebih dulu menghubunginya, tetapi kenyataannya rencananya gagal. Rayhan malah semakin tidak peduli yang membuat gadis remaja itu frustrasi.
"Gue pastiin lo bakal nyesel karena udah diemin gue, Kak. Lihat aja kalau lo nyariin, gue gak bakal peduli." Ujar gadis itu penuh tekad.
•••
Tepukan di bahunya membuat Kirana menoleh ke samping, pada Vinka. "Hm?"
Vinka mengarahkan dagunya pada ponsel milik Kirana yang berada di atas meja. "Hp lo geter dari tadi," diliriknya sekilas ponsel milik Kirana, "Kak Rayhan."
Mendengar nama itu, mata Kirana langsung membesar dan kepalanya langsung terarah pada ponsel miliknya. Untuk beberapa detik ia diam sebelum berdecih singkat.
"Kenapa lo?" Tanya Vinka heran, setahunya sahabatnya itu sangat menunggu pesan dari Rayhan. "Oh, sok mau jual mahal?" Godanya.
"Bukan sok jual mahal, emang gue mahal. Catet ya!" Koreksi Kirana.
"Iya deh iya. Lagian gue setuju kalau lo gak angkat biar Kak Rayhan sadar kalau dia gak bisa giniin lo. Dikira lo kereta malam apa yang dicari pas lagi urgent dibutuhin aja karena siang sibuk."
Kirana mengangguk setuju, tidak peduli meskipun kalimat Vinka barusan sedikit aneh.
"Eh, doi ngehubungin lo lagi!" Seru Vinka antusias saat melihat layar ponsel sahabatnya kembali berkedip.
"Biarin! Gak bakal gue angkat sampai tujuh turunan." Ujar Kirana yakin.
"Sekali lagi aja pasti bakal lo angkat." Gumam Vinka pelan. Ia hanya bisa tersenyum ketika melihat tingkah Kirana yang terus menatap benda datar itu.
"Empat."
"Halo?"
Vinka menahan tawa melihat Kirana yang mengangkat panggilan tersebut di panggilan keempat dengan wajah masam. "Gaya lo mau tujuh turunan, kacang ijo belum jadi kecambah aja lo udah kayak orang gila."
"Kamu besok pulang jam berapa?" Tanya suara di seberang sana.
"Sore."
"Kalau jumat?"
"Malam."
Terdengar helaan napas di seberang sana, tapi Kirana tidak peduli. "Sabtu gimana? Aku mau ajak kamu keluar."
"Gak bisa. Aku sibuk." Jawab Kirana ketus.
"Ran..."
"Ada guru. Aku tutup." Usai mengatakan itu, Kirana memutuskan panggilan.
Sementara Vinka hanya bisa menggelengkan kepala seraya tersenyum tipis karena dia pernah merasakan itu. Rasanya diabaikan.
•••
Semilir angin berembus menyentuh wajah gadis yang tengah berdiri di balkon. Gadis itu menutup kedua mata sembari meresapi sejuknya angin sore. Rasanya sudah lama tidak merasa setenang itu, tapi ketenangannya kembali terusik saat seseorang memanggil namanya.
"Kirana!"
Suara itu! Gadis yang tak lain adalah Kirana itu berbalik untuk menatap sesosok yang sudah lama tak ia jumpai.
"Ngapain kamu di sini?" Tanya Kirana ketus.
"Ternyata benar ya kalau kamu udah lupain aku."
"Bukan urusan kamu."
"Aku rindu." Tubuh Kirana bergetar saat dua kata itu terucap dari mulut laki-laki yang dulu sangat ia tunggu kehadirannya. "Kamu gak rindu?"
Rindu! Sangat rindu! Rasanya ia ingin meneriakkan kata itu, tapi ada sosok lain yang membuatnya ragu. Namun, dia sendiri tidak tahu siapa.
Laki-laki itu tampak kecewa terlihat dari sudut bibirnya yang berkedut. "Kamu gak rindu."
Kirana benci melihat raut sendu di wajah itu, terlebih ketika lelaki di hadapannya hendak berbalik pergi. "Ditto!!!"
"Jangan pergi!" Tambahnya, "aku rindu!"
Lelaki bernama Ditto itu berbalik dengan senyuman yang tersungging di bibir itu. "Aku tahu," ucapnya seraya membuka lebar kedua tangannya dan Kirana segera berhambur ke dalam pelukan hangat itu. "Aku lebih rindu."
"Maafin aku ya yang udah hampir lupain kamu." Bisiknya sembari mencari posisi nyaman di tubuh itu, "aku disakitin, To. Rasanya sakit." Adunya.
"Siapa yang udah nyakitin kamu?"
"Dia cowok nyebelin."
"Dia yang bikin kamu lupain aku?"
"Gak gitu, Ditto, ih!" Dicubitnya pinggang Ditto hingga laki-laki itu meringis.
"Terus siapa?"
Kirana mendongak dan tersenyum kala matanya bertemu dengan mata milik Ditto yang tengah menunduk. "Gak penting. Yang penting aku senang lihat kamu lagi."
Gadis itu memejamkan mata kala merasa Ditto semakin menunduk hendak menciumnya. Namun, matanya malah membulat sempurna ketika tubuhnya terdorong ke belakang dan melihat pemandangan di hadapannya.
"Ditto!!" Pekiknya kencang. "Jangan!!!"
Kirana mencoba menghentikan bayangan hitam yang tengah mencekik Ditto dengan memukul dan menahan tangan bayangan itu.
"Ditto, please. Hikss..." ia mulai menangis melihat Ditto kesakitan.
"Pergi!! Jangan ganggu Ditto!"
Perlahan, bayangan itu menghilang dan Kirana segera mendekati laki-laki itu. "Kamu baik-baik aja-" kalimatnya terpotong dan kakinya sontak melangkah mundur. "Ditto? Dit- Argh!" Pekiknya saat merasakan cengkeraman tajam di lengannya.
"Ini semua gara-gara kamu!" Seru Ditto dengan wajah yang tiba-tiba berubah hitam dan menyeramkan.
"Dit, ini aku. Dit-khhh." Napas Kirana tercekat kala kuku-kuku tajam milik Ditto bergerak menuju lehernya dan mulai menekan di sana.
"Semua kesialan ini karena kamu."
"Gak!!!!"
Bersamaan dengan teriakannya, Kirana terbangun dengan napas yang turun naik dan keringat yang mengucur dari pelipisnya.
Di tengah ketakutannya, gadis remaja itu meraih ponselnya di atas nakas dan menghubungi seseorang.
"Kak, aku takut."
YOU ARE READING
The Endless Moment
FantasyMimpi itu membuat Kirana terlalu ambisius untuk mencari seseorang yang mungkin akan menjadi takdirnya. Tapi, siapakah lelaki yang ada di dalam mimpinya itu?