Part 41

158 10 0
                                    

Perpisahan adalah hal yang pasti, tinggal menunggu giliran saja. Entah itu perpisahan sementara untuk kembali ataukah permanen yang orang sebut dengan kematian.

"Gue benci sama lo!"

"Aku juga."

"Hah?" Kirana mengerjapkan matanya berulang kali. "Kok lo ikutan benci sama gue sih, Ray?"

"Kasih aku alasan kenapa aku gak bisa benci kamu." Kata Rayhan santai.

"Heh?" Lagi, Kirana dibuat tak bisa berkata-kata. Iya juga, tapi aku cantik kan? Lalu gadis itu menggeleng, tapi Rayhan gak pernah bilang aku cantik. Aku- aku apa yaaaa?

Gadis itu memandang Rayhan dengan tatapan penuh permusuhan.

"Apa? Gak bisa jawab kan?"

"Lo nyebelin tahu gak? Lo tiba-tiba marah dan sekarang lo sok baik ke gue."

"Makin ke sini, kata lo-gue yang kamu pake bikin aku kesal." Lelaki itu mendongakkan kepala.

"Apa?" Kirana mengangkat dagunya dengan ekspresi menantang lelaki itu. "Kamu mau nyakitin ak- Arghh! Sakit Rayhan!" Pekiknya kala Rayhan menekan lukanya bahkan terkesan menyobek dengan kuku.

Kirana tersentak saat bahu kanannya ditepuk cukup keras. Ia menoleh ke arah kanan dan menemukan Rayhan yang menyipit menatapnya penuh selidik.

"Kamu mikirin apa?" Tanyanya berbisik karena mereka berada di dalam mobil menuju bandara saat ini.

"Kamu," Kirana tetap menjawab meski merasa terintimidasi di bawah tatapan tajam itu, "kemarin sore kamu marahin aku, kamu dingin ke aku, tapi malamnya kamu marah-marah gak jelas dan setelahnya lembut."

Rayhan menjauhkan tubuhnya sehingga Kirana dapat melihat dengan jelas seringaian di wajah itu.

"Apa?" Tanya Kirana sewot.

"Gak," lelaki di samping Kirana itu menggeleng, "aku cuma nebak. Kamu pasti lagi mikirin pelukan aku semalam."

"Ihh, ge-er!" Pekik Kirana hingga empat orang di bangku depan mereka menoleh. "Maaf." Ucapnya, malu.

Kirana menoleh ke samping dan berdecih kala melihat lelaki di sampingnya mengulum bibir. Rayhan pasti mentertawakannya!

"Dengar ya, Ray. Aku bukannya ingat pelukan kamu, tapi aku malah ingat waktu kamu merobek luka aku pake kuku tajam kamu itu." Bisiknya tepat di telinga Rayhan. Ia tak ingin keluarga Rayhan mengetahui kebiadaban lelaki itu semalam.

"Gak ada yang suruh kamu bersikap kurang ajar sama aku."

"Gimana gak kurang ajar coba kalau ingat kelakuan kamu ke aku sore itu."

Rayhan berdecak kesal, "udah tidur sana."

"Gak mau."

"Tidur." Perintah Rayhan, final. Lelaki itu telah meraih tangan Kirana dan menggenggamnya, membuat dada gadis itu berdebar.

Sial! Kok murahan banget sih gue. Otak Kirana hendak menarik tangannya tapi hatinya malah menyukai genggaman itu yang terasa hangat.

"Tidur, Ran. Aku tahu kamu pasti tidur cuma berapa jam, selebihnya sibuk mikirin aku."

Kirana mencebik kesal tapi dirinya diam-diam mengiyakan kalimat lelaki itu. Rayhan benar. Jadi, ia merebahkan kepalanya pada jok mobil dan mulai menutup mata.

Lelaki yang baru dikenalnya kurang lebih dua tahun itu memang tidak bisa ditebak. Semalam, usai membuatnya berteriak kesakitan, Rayhan malah mengejutkannya dengan mengusap air matanya yang entah sejak kapan telah turun dari pelupuk mata.

The Endless MomentWhere stories live. Discover now