Part 43

142 8 0
                                    

Rasa bersalah timbul karena memiliki niat secara sadar maupun tidak sadar kepada sang korban. Dan kini, rasa itu menggerogoti jiwa saat melihat sesosok yang terluka itu lagi.

Sudah lama sejak gadis yang kini memasuki usia dua puluhan itu menginjakkan kaki ke rumah bernuansa klasik itu. Ia mengetuk pintu rumah beberapa kali hingga seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu membuka pintu. Terlihat dari raut wajahnya jika wanita itu terkejut melihat kehadiran Kirana.

"Tante..." Sapa Kirana sopan.

"Kirana."

"Ran, boleh nemuin Kakak?"

"Boleh." Jawab wanita itu pelan, "dia udah lama nungguin kamu sampai dia frustrasi."

"Maaf."

Wanita paruh baya itu menggeleng, "bukan salah kamu." Katanya cepat, "kamu pasti punya kesibukan sendiri. Tante mengerti."

"Terima kasih, Tante Yola." Lirih Kirana.

Gadis itu mengikuti wanita yang ia panggil 'Tante Yola' itu masuk ke dalam rumah. Dilihatnya keadaan rumah yang sepi dan ia tidak perlu bertanya alasannya karena di awal pertemuan mereka, wanita itu telah menceritakannya.

Dua perempuan berbeda generasi itu berdiri di depan salah satu kamar yang tertutup. Yola berbalik dan menatap Kirana penuh permohonan. "Jangan bikin dia semakin tertekan, Ran. Tante mohon."

Kirana tak menjawab dengan bersuara, melainkan menganggukkan kepala dua kali. Pertanda bahwa ia mengerti.

Saat pintu dibuka, Yola membiarkan Kirana lebih dulu masuk ke dalam, sementara dirinya berdiri di depan pintu. Ia akan pergi setelah memastikan bahwa kondisi putranya stabil.

"Hai, Kak!" Sapa Kirana pelan.

Yang disapa tidak menoleh, ia tidak mengalihkan tatapannya dari jendela. "Ngapain kamu kemari?" Tanyanya datar.

Gadis itu tersenyum mendengar nada itu, tapi dia tidak gentar. Kirana terus melangkah hingga mencapai sisi tempat tidur setelah sedikit menggeser kursi roda menjauh. "Maaf kalau baru bisa sempat mampir." Ucapnya tulus, menghiraukan pertanyaan yang diajukan tadi.

"Aku kira kamu gak akan mampir lagi." Sinisnya.

"Maaf."

"Tujuh bulan waktu yang lama kan, Ran?"

Kirana menggigit bibirnya menahan keinginan untuk menangis. "Ya."

"Aku gak pantas hidup, begitu kan?"

"Kamu pantas." Sahut Kirana cepat.

"Tapi, aku lelah." Suara itu terdengar lirih.

"Kak..." Kirana meraih tangan orang yang tengah terbaring itu. "Aku minta maaf. Aku beneran sibuk." Sibuk menata kembali hati karena aku takut membuat kamu semakin berharap, Kak.

"Bahkan di sela waktu libur dua bulanan itu?" Sindirnya yang kali ini membuat Kirana terdiam.

Kirana mengembuskan napas berat. "Kamu tahu alasanku berhenti datang, Kak. Kamu yang membuatku terjebak dalam pikiranku ini."

"Sulit ya?" Tanyanya, lalu kemudian ia terkekeh yang terdengar menyedihkan. "Sulit lah bertahan dengan manusia seperti aku. Semua orang menatapku penuh rasa kasihan. Aku cacat! Aku buntung! Aku-"

"Cukup, Kak!" Kirana berteriak sembari memeluk tubuh itu erat. Ia terisak di pundak lelaki yang dulu pernah ia kagumi. "Mana Kak Adit yang aku kenal? Kak Adit yang penuh percaya diri!"

"Dia sudah mati usai membunuh mimpi-mimpinya sendiri." Adit ikut meneteskan air mata.

"Hal yang membuat aku enggan datang adalah karena kamu akan selalu merutuki diri sendiri. Kamu akan meratapi nasib dan menyalahkan takdir." Ujar Kirana, "kumohon, berhenti, Kak. Terima takdir ini. Berhenti menyalahkan diri sendiri."

The Endless MomentWhere stories live. Discover now