Part 42

130 10 0
                                    

Dalam waktu yang singkat, banyak hal yang terjadi dan banyak orang yang berlalu lalang. Bahkan, dalam satu detik saja sudah terjadi perubahan pikiran apalagi jika dihitung tahun.

Gadis yang baru memasuki usia dua puluh tahunan itu berdiri di balkon. Ia baru saja menyelesaikan mata kuliah hari itu. Jadi, yang dilakukannya adalah berdiri sembari memandangi manusia yang keluar masuk gedung fakultasnya.

"Ran, lo gak balik?" Tanya Shilia, teman satu kelasnya.

Kirana menoleh sekilas, lalu menggeleng.

"Lo mau ikut ke kantin?" Tanya Roro, teman satu kelas Kirana juga.

"Kalian aja. Gue bentar lagi balik kok." Sahut Kirana sopan.

Dua gadis itu mengangguk, sebelum membalikkan tubuh dan pergi. "Ya udah, kita duluan. Jangan sering melamun."

"Yoai."

Kirana kembali memusatkan perhatiannya pada halaman fakultasnya. Dia tersenyum ketika otaknya penuh gambaran seseorang. Ia merogoh sakunya dan meraih ponsel di dalamnya. Lalu, mulai mengetikkan sesuatu di sana dan kembali pada aktivitasnya semula.

Tak lama, ponsel miliknya bergetar. Kirana segera mengangkat ponselnya dan tersenyum saat melihat nama orang yang menghubunginya.

"Halo." Sapa Kirana balik kala panggilan telah terhubung.

"Lo lagi ngapain? Gabut ya?"

"Hm. Gue kangen lo."

"Gue juga." Balas suara di seberang sana, "mau ketemu lo tapi gue lagi sibuk."

Kirana memutar mata malas, "iya-iya, Ibu Sektum." Ejeknya.

"Lo sih, harusnya lanjutin masuk jurnalistik bukannya stop. Ikut himpunan juga malas. Mau lo apa sih, Ran?"

"Gue join club fotografi."

"Demi apa?" Ujarnya berteriak.

Kirana mengangguk dan tersadar jika tidak bisa dilihat, ia bersuara. "Iya dan satu lagi, gue juga kepilih jadi sekretaris di bidang komunikasi. Gue gak tahu kenapa dipilih."

"Karena lo punya basic dari jurnalistik dulu, Kirana." Kirana mengangguk menyetujui, "lo lagi di rumah?"

"Di kampus."

"Udah pulang or break?"

"Pulang."

"Ah, coba kita di kampus yang sama."

Kirana terkekeh, kalimat itu selalu didengarnya selama dua tahun terakhir dari mulut sahabatnya itu. Namun, ia tak pernah menyesali keputusannya.

"Kenapa? Lo lagi break ya?"

"Iya, satu jam lagi baru lanjut rapat. Satu jam kalau kita ketemu cuma habis di jalan."

"Hm, benar." Respon Kirana, lalu seakan teringat sesuatu, gadis itu bertanya. "Gimana? Udah ada yang nyangkut belum, Vin?" Godanya, "udah setahun loh. Yang anak BEM itu gimana?"

Vinka tertawa dan Kirana tahu kalau sahabatnya itu sedang salah tingkah.

"Lo ketawa kenapa nih? Jangan-jangan udah jadian." Tukasnya.

"Apa sih, Ran. Belum kok."

"Belum? Berarti bentar lagi dong."

"Gak gitu, Ran."

Dalam kurun waktu dua tahun, banyak hal yang terjadi. Entah itu momen menyenangkan, menjengkelkan, maupun menyedihkan. Karena itulah hidup, layaknya roller coaster yang memberikan sensasi berbeda pada tiap babak dan siap mengguncang pada momen yang pas.

•••

Ketika kehilangan, artinya kita harus siap menerima sesuatu yang baru. Sama seperti kehidupan, kala seseorang pergi maka akan ada orang yang datang menggantikan sesosok tersebut.

Namun, hal itu tidak mudah bagi gadis yang berusia awal dua puluh tahunan itu. Ia tidak meratapi, ia membuka diri pada siapapun. Ia bahkan tidak menanyakan kehadirannya yang menghilang itu sejak tahun lalu.

Kirana tidak perlu bangkit karena ia tidak pernah terjatuh. Kepergiannya memang sulit tapi bukan berarti tidak bisa diikhlaskan. Sejak pertemuan terakhir mereka di bandara, gadis itu melepaskan segala beban di benaknya. Meskipun sesekali hingga tahun kemarin, ia masih menanyakan kabar orang tersebut pada orang yang ditinggalkannya. Sekarang tidak lagi, semuanya tidak sama. Kirana tidak lagi peduli akan semua hal yang berhubungan dengan masa lalunya.

Gadis dengan pakaian tunik hijau sage itu tengah berdiri di depan kasir saat matanya menangkap sesosok laki-laki yang sudah lama tak dilihatnya. Kirana meraih kantung belanjaannya di atas meja kasir usai membayar, lalu melangkah keluar dari mini market.

Ia tidak langsung pulang, melainkan berdiri di depan mini market. Lima menit kemudian, ia menghampiri lelaki yang menjadi objek penglihatannya tadi.

"Kak Rio!" Teriaknya.

Lelaki yang tak lain adalah mantan kekasih sahabatnya itu menoleh dan terkejut saat melihatnya.

"Gak perlu menghindari gue." Ujar Kirana. Ia bukan tak tahu kalau Rio menghindarinya selama ini. Lelaki itu bahkan menutup akses komunikasi dengannya meski tidak memblokir sosial media miliknya.

"Oohh.. h-hai!" Sapa Rio, gugup.

"Jangan gugup gitu. Dulu kita bestie banget loh."

"Sorry. Udah lama gak ngobrol jadi agak canggung."

Kirana tersenyum, "kabar lo gimana? Udah kelar pendidikan?" Rio mengangguk. "Wih, keren nih pakpol." Godanya.

"Lo sendiri gimana? Udah semester berapa?"

"Masuk semester lima."

"Tahun depan bisa gas wisuda kan ya?"

Kirana tertawa, "doain aja. Kalau otak gue lancar jaya ya bisa aja."

"Bisa lah. Orang lo pintar."

Tiba-tiba saja, gadis itu mengingat seseorang yang sudah lama tak ia kunjungi. "Kak, lo tau gak kabar Kak Adit?"

Rio terdiam selama beberapa detik sebelum mengangguk. "Empat bulan yang lalu gue sempat nemuin dia dan dia nanyain lo."

"Setelah itu, lo gak pernah lagi nemuin dia."

"Kalau alasan lo sibuk, gue rasa alasan gue sama."

"Gue gak bisa lihat dia tanpa nangis, tapi gue gak bisa biarin dia berharap."

"Tawarin pertemanan secara baik-baik, Ran." Nasihat Rio.

"Udah, Kak. Bahkan di depan lo waktu itu juga sama tapi dia malah marah dan menyalahkan takdir. Gue gak sanggup lihatnya, Kak. Gimana pun, dia itu temen gue." Kirana mengusap matanya yang mulai berair.

Rio tersenyum tipis seraya menepuk-nepuk pundak Kirana pelan. "Walau gue baru kenal dia, tapi gue udah bisa menebak gimana sifat Adit." Katanya, "Ran..." lanjutnya.

Kirana mendongak, "hm?"

"Lo tahu kalau dia udah kembali?"

Pertanyaan Rio barusan membungkam Kirana. Gadis itu tahu siapa 'dia' yang dimaksud dan Kirana juga tahu bahwa sesosok itu telah kembali sejak lama. Namun, Kirana mencoba memahami alasan mereka tak pernah bertemu lagi. Karena waktu mengubah manusia dan Kirana mencoba mengerti.

Dia yang pergi dan kembali tanpa ingin memberitahu. Kirana mencoba memahami alasannya. Mungkin, mereka memang tak berjodoh. Mungkin, dia telah menemukan kewarasannya dan memilih untuk menjauhinya. Menjauhi dirinya yang mungkin jauh dari standar.

Karena kita tak bisa memaksa takdir apalagi mengubah takdir.

■■■■■■■■■■■■■■■■■■

Halo halo! Maaf banget baru bisa post setelah hampir dua bulan gak update. Author baru kelar kkn nih jadi baru ada waktu ngelanjutin ceritanya.

Semoga kalian suka ceritanyaaa~~

The Endless MomentWhere stories live. Discover now