Part 49

46 4 0
                                    

Kirana harus menemukan jawaban atas semua permasalahan yang secara tidak langsung melibatkannya itu. Oleh karena itu, ia menghampiri mantan kekasih sahabatnya itu di kantor lelaki itu dengan membawa paper bag yang berisi dua gelas kopi dan dua roti untuk dinikmati sembari mengobrol.

Gadis itu turun dari motor dan meraih paper bag, lalu mulai melangkahkan kakinya menuju kantor polisi itu. Dia berharap bahwa jam makan siang belum berakhir sehingga ia memiliki cukup waktu untuk menanyakan banyak hal. Rio cukup sulit ditemui dengan berbagai alasan yang membuat dirinya gerah jika harus menunggu. Ia pun yakin jika Rio sengaja menghindarinya.

Dalam jarak kurang dari tiga meter, Kirana menemukan Rio. Ia melambaikan tangan, tapi tak berlangsung lama saat melihat seorang perempuan berjalan menyusul di belakang lelaki itu. Terlebih, senyuman di wajah itu membuat dirinya muak. Dia memang belum pernah melihat perempuan yang dimaksud Vinka yang menjadi selingkuhan Rio, tapi dia harap perempuan di depannya bukanlah orang yang sama. Meski begitu, tetap saja. Dia marah. Rio tak boleh melupakan sahabatnya begitu saja dan tersenyum pada perempuan lain.

Tanpa menggerakkan tubuhnya, Kirana sengaja berdiri di sana sampai dua orang di depannya menyadari keberadaannya. Dia menatap lelaki itu dengan tatapan penuh amarah yang bercampur kekecewaan, lalu melirik sekilas pada perempuan di sebelahnya.

"Ran..." gumam Rio terkejut.

Gadis itu tersenyum miris. "Gue kira gue bisa bantuin loh dapetin kesempatan kedua, tapi ternyata-" ia berdecih, "ngakuin lo sebagai mantan aja gue gak mau."

"Ran," Rio menegus saliva, "mau ngapain ke sini?" Tanyanya, mengabaikan segala kalimat gadis itu sebelumnya.

"Oh, mau ngajak maling ngopi." Jawabnya sembarang sembari mengangkat paper bag yang dipegangnya.

"Kita bicara di sana." Ujar Rio menunjuk ke arah parkiran.

"Gak perlu. Gue mau pulang. Malingnya udah divonis ditembak mati."

"Ran!" Lelaki itu mengejar Kirana yang kini berjalan pergi setelah mengatakan sesuatu pada perempuan di sampingnya.

"Apa sih?" Tanya Kirana marah saat tangannya ditarik.

"Lo mau ngomong sesuatu kan sama gue? Kita ngobrol ayo."

"Basi."

"Ran, please."

"Gue di sini mau bahas Vinka, ngerti lo?"

Rio menggusar kepalanya pelan. "Gue sama Vinka udah gak bisa bersama lagi."

"Ya udah, bagus deh."

"Ran.."

Kirana berbalik dan menatap tajam lelaki di hadapannya. "Gue cuma mau bahas Vinka dan lo udah membuktikannya. I'm done, Rio. Gue janji gak akan pernah bahas ini lagi."

Rio menatap ke arah lain dan menghindari tatapan intimidasi lawan bicaranya.

"Gak usah bertingkah kalau lo masih punya perasaan ke sahabat gue. Ke depannya, gue yang bakal mastiin kalau hal kecil sekalipun tentang Vinka gak akan ganggu hidup lo lagi." Seru Kirana menggebu-gebu. "Tenang aja. Gue ngelakuin ini bukan karena Vinka yang minta tapi murni dari hati gue dan gue bersyukur semuanya harus berhenti di sini."

"Jadi, hentikan ekspresi menyedihkan lo itu." Tambahnya sebelum menaiki motornya.

Lelaki itu tak mengatakan apapun lagi. Ia bahkan langsung mundur dan membiarkan Kirana dengan motornya pergi dari halaman kantornya. Dia menatap nanar kepergian kekasih sahabatnya itu. Kemudian, berbalik setelah mengembuskan napas lelahnya.

•••

Di tengah macetnya ibu kota, Kirana meraih ponsel di tas kecil miliknya. Kemudian, ia menghubungi seseorang seraya menunggu lampu hijau. Saat tersambung, gadis itu menempelkan ponsel di telinga dan mengatakan sesuatu pada seseorang di seberang sana tanpa basa-basi, memutuskan panggilan dan meletakkan benda itu kembali di tempat semula.

Gadis yang baru berusia awal dua puluh tahunan itu mendongak memandangi langit biru. Ia tersenyum sedih mengingat peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya maupun yang dialaminya sendiri. Peristiwa yang mengubah dunianya yang tadinya baik-baik saja menjadi penuh teror.

Semua ini berawal dari mimpi buruk itu. Ya, kini ia akan menyebut lelaki sialan di mimpi itu sebagai orang terburuk yang pernah dikenalnya. "Ah, Ditto sialan! Kenapa lo mampir di mimpi gue sih?" Gerutunya pelan. "Lo dengan sok hebatnya bilang mau jagain gue dari Rayhan malah sekarang kebalikannya."

"Gue mau hidup damai!" Tanpa sadar gadis itu berteriak hingga membuat pengendara lain di kiri kanan hingga depan menoleh padanya.

"Apa lo liat-liat?" Ketusnya pada seorang anak SMA di sebelahnya. Sepertinya dia benar-benar gila saat ini. "Gak pernah lo liat orang stres?" Dia kini bahkan terang-terangan mengaku stres.

"Istighfar, Mbak."

"Bacot!"

"Kesurupan tuh orang." Bisik pengendara lainnya, tapi lampu hijau membuatnya tak menghiraukan lagi.

•••

"Aku di parkiran fakultas." Ujar Kirana cuek pada orang di seberang sana, lalu memutuskan sambungan telepon dan menyimpan benda datar itu di tas.

Gadis itu duduk di atas motor dan segera bangkit saat sorot matanya menangkap mangsanya. "Lama banget sih." Keluhnya.

"Kenapa?" Tanya lelaki yang tak lain adalah Rayhan.

"Abis nemuin Rio."

"Terus?"

"Dia sama selingkuhannya."

Rayhan menaikkan satu alisnya yang membuat Kirana mendengus kesal.

"Pacarnya sekarang kali."

"Ran-"

"Iya-iya, ngerti. Aku gak akan ikut campur lagi." Potong Kirana karena sudah menebak apa yang akan disampaikan Rayhan. "Jadi, kapan kamu pulang?"

"Aku ambil tas sebentar di perpus."

"Aku bawa motor sendiri."

"Hm, pegang." Rayhan menyerahkan kunci motornya pada Kirana sebelum berbalik pergi dan menghilang di balik gedung tinggi itu.

•••

Keduanya memilih rumah Kirana sebagai tempat mengobrol. Awalnya, Rayhan ingin mengajaknya ke kontrakan Sehan, tapi Kirana menolak. Kebetulan, kedua orang tua gadis itu tidak berada di rumah sehingga mereka bisa bebas berbicara di dalam rumah.

"Sumpah ya! Aku gak nyangka kalau Rio sejahat itu." Ujar Kirana mengoceh sembari membawa beberapa camilan dan minuman dingin dari dapur. "Dia tuh kalau aku bahas soal Vinka pasti tatapannya sedih- Oh! Sekarang aku tahu, itu pasti karena dia merasa bersalah."

"Ran.." tegur Rayhan lembut, "udah." Tambahnya saat gadis itu menoleh padanya.

"Gak bisa. Dia udah nyakitin sahabat aku."

"Dengan kamu terus-terusan bahas ini, itu lebih menyakiti Vinka."

"Aku mencoba yang terbaik-"

"Tapi hasilnya?"

Kirana terdiam.

"Kita sama-sama tahu kalau hubungan mereka sudah lama kandas terlepas dari alasan di balik itu. Mau kamu paksakan gimanapun, ya gak akan bisa. Biarkan mereka bahagia dengan jalan masing-masing. Kamu bisa bantu Vinka buat lupain Rio sepenuhnya."

"Aku sahabat yang buruk ya, Ray?"

"Gak ada yang namanya sahabat buruk, kalau kamu buruk artinya kamu bukan sahabat. Paham?" Tanya Rayhan seraya menarik pelan lengan Kirana agar duduk di sampingnya.

"Aku bodoh." Lirihnya bergetar karena kini, air mata berhasil lolos dari pelupuk matanya. Ditolehkannya kepala pada lelaki di sampingnya, kemudian ia memilih menenggelamkan diri pada pelukan hangat itu. "Aku bukan sahabat yang baik."

"Kamu bisa belajar."

"Ya." Gadis itu mengangguk pasti.

•••

■♡■♡■♡■♡■♡■♡■♡■♡■♡■♡■♡■

Hello! Maaf ya baru sempat upload. Sebagai permintaan maaf, author udah nyiapin extra chapter buat kalian yang udah nunggu lama.

Kedepannya, author akan berusaha lebih giat untuk rajin upload. Thank you yaa sudah setia nungguin The Endless Moment selama dua bulan lebih ini T_T <333

The Endless MomentWhere stories live. Discover now