"Jangan hidup untuk ekspektasi orang lain dan jangan pedulikan tatapan orang lain, yakinlah dengan diri sendiri"-Hoshi of Seventeen
---
Bea berlari tergesa menuju lift sebelum pintu itu tertutup. Tangannya berhasil menekan tombol dan menyelip masuk di antara banyaknya manusia di kotak besi tersebut.
Napasnya memburu akibat berlarian. Di tangannya memegang tumblr berisi kopi yang sempat ia beli di GF. Sedang tangannya yang lain memegang laptop.
Kantornya berada di lantai 13. Ketika lift berhenti dan pintu membuka, Bea keluar dari sana bersama beberapa orang lainnya.
Setelah mencapai ruangannya dan menaruh seluruh barang bawaan, Bea langsung menuju ruang rapat karena tadi pagi Gilang mengabarkan akan ada rapat dadakan.
Ketika masuk ruang rapat, Gilang sudah duduk di bagian paling ujung bersama seorang laki-laki yang tidak Bea kenal.
"Kenalan dulu, Be."
Bea mengambil tempat di samping Gilang. Lalu mengulurkan tangan ke arah pria itu dan memberikan senyum terbaik.
"Bea Edina."
Laki-laki itu hanya mengangguk. Tidak tertarik untuk menyambut uluran tangan Bea membuat gadis itu menarik kembali tangannya.
"Ini Gavin Janardana. General Manager kita yang baru. Yang lo ga bisa ikut buat nyambut dia kemaren,"penjelasan Gilang dijawab anggukan oleh Bea dengan malas. "Bea ini finance juga, Gav. Kalo soal duit dia paling pinter deh. Lo gak perlu khawatir apapun selama semua project di tangan Bea."
Lagi-lagi pria bernama Gavin itu hanya mengangguk membuat Bea menatapnya tak suka. Kali ini lebih terang-terangan. Ia berbisik pada Gilang dengan volume suara yang bisa didengar oleh siapapun.
"Temen lo yang ini bisu ya, pak?"
Gavin sama sekali tidak bereaksi. Ia masih menatap layar laptopnya dengan fokus. Ketika Gilang akan menjawab, sebuah suara menginterupsinya.
"Mau lo jungkir balik tuh manusia juga gak akan bereksi, Be. Anggep hantu aja,"
Bea menoleh. Sena, sang project director, baru masuk ruangan sembari mengedipkan sebelah matanya yang dibalas Bea dengan cengiran. Di belakang Sena muncul Suci, Via, Agnes, dan para lelaki lainnya.
"Kalo dianggep hantu jadi serem dong?"
Baru saja Sena akan membalas, Gilang sudah berdiri. Mengambil alih atensi semua orang.
"Karena udah pada kumpul, kita langsung mulai meeting-nya ya?"
Via langsung berpindah di samping Gavin. Mengambil alih laptop yang sedari tadi ditekuri pria itu. Via menghidupkan seluruh peralatan dan menyambungkannya pada proyektor sehingga topik utama yang akan mereka bahas terpampang nyata.
"Pagi semuanya. Seperti yang gue share di grup tadi pagi, kita ada klien baru. Besar dan terkenal. Mereka baru selesai hotel baru di Sudirman. Gede dan mewah. Targetnya memang kelas atas. Dan mereka sebar undangan untuk nyari EO yang bisa handle buat bikin opening ceremony-nya. Tanggal 1 Januari."
Penjelasan dari Gilang membuat semua orang melongo.
"Sorry, mas. Berarti acaranya nanti tepat di tahun baru?"
Gilang mengangguk. "Dengan risiko kita gak akan ada libur akhir tahun ini. Pilihannya cuman take it or leave it."
Bea mengangkat wajah dan matanya bertemu dengan Via yang langsung meringis padanya. Membuat Bea akhirnya menatap Gilang.
"Nilai kontraknya berapa emangnya, Pak? Kalo gak worth it mending gak usah gak sih? Itu akhir tahun dan pasti sibuk banget,"
Pertanyaan Bea menarik perhatian semua orang. Gilang menatapnya lama sebelum berdehem pelan.
"Seperti yang udah gue omongin. Ini tender. Lo yang bakal budgeting nanti. Dan report langsung ke Gavin sama Sena. Sena yang akan turun langsung megang ini project kalo tembus."
Sebelumnya tidak pernah seperti ini. Biasanya klien yang akan menghubungi langsung untuk menggunakan jasa mereka. Tidak pernah sebelumnya mereka lah yang akan mengejar si calon klien.
"Gue, Sena sama Gavin sih suka banget sama calon klien ini. Mereka juga membebaskan semua tema dan dekorasi sama EO-nya. Disitu kita bisa nunjukin sekreatif apa kita dan sekompeten apa kita di bidang ini."
"Kalo lo bertiga udah suka, kita-kita gak bisa nolak juga kan, Pak?"
Celutukan Suci disambut tawa dari seluruh ruangan. Gilang mengangguk cepat.
"Gak ada pilihan. Minggu depan RAB dan konsepnya udah gue terima. Gue mau Sena dan Gavin bakal kawal ini dari awal."
Dua laki-laki itu mengangguk.
"Agnes sama Bea gue pengen kalian bener-bener merhatiin tiap detailnya nanti. Gak apa-apa kita pasang rate tinggi kalo memang konsepnya sebagus itu nanti. Pras, Suci, Naka bakal megang project ini langsung di bawah Sena. Lo bertiga yang akan bertanggung jawab gimana seluruh konsep dan acaranya."
Semua orang mengangguk pada arahan Gilang. Setelah banyak berdiskusi tentang calon klien dan acaranya yang tentu saja harus mewah dan berkelas, mereka mulai membubarkan diri.
"Btw namanya siapa tadi, Mas? Yang punya?"
Gilang menoleh pada Agnes.
"Lo kenal keluarga Sanjaya, gak?"
"Sanjaya Hospital?"
Gilang mengangguk cepat. "Sanjaya EPC juga. Nah mereka bikin hotel namanya Sanjaya Hotel. Lini bisnis mereka yang baru. Gue dikasih tahu temen soal ini dan udah sempat contact manajer hotelnya. Mereka masih persiapan dan nyari EO yang bisa megang dan tentu aja terpercaya."
Bukan hanya Agnes, yang lain ikut berdecak mendengarnya.
"Yang hotel tinggi itu ya? Kemaren gue lewat sana emang posisinya strategis banget. Tapi bukannya itu bangunan lama yang udah dihancurin?"
Kali ini Sena yang menjawab. "Kalo lo ikutin sepak terjangnya Raka Sanjaya, lo gak akan heran dia bisa ngancurin dan bikin hotel baru dengan segitu mewahnya. Yang jadi kontraktor juga perusahaannya sendiri."
"Dia nyari istri muda gak ya?"
Celutukan Bea membuat semua orang tertawa. Suci bahkan mengetuk kepala gadis itu.
"Gak level sama lo, Be. Istrinya aja yang megang Sanjaya Hospital. Dokter spesialis jantung lagi. Terkenal banget gitu juga,"ejekan Sena juga membuat semua orang kembali tertawa.
"Tapi kalo lo tahu cerita mereka, istrinya itu juga rakyat jelata kayak kita, Be. Ketemunya di kuburan lagi. Kali aja lo tongkrongin kuburan ntar ketemu sama Raka Sanjaya,"
Bea tentu saja mencibir mendengar godaan Gilang.
"Yang ada gue dikira kunti sama orang-orang. Biarin dah gak jadi istri mudanya Raka Sanjaya daripada harus tongkrongin kuburan,"
"Lagian mau-maunya jadi istri kedua. Kayak gak laku aja,"
"Bea kan emang gak laku, Mas Sena. Cowok impiannya itu kan cowok-cowok yang joged di panggung dengan make up setebal jalan tol."
Mendengar hal itu Bea mendelik pada Pras.
"Yang penting banyak duit. Daripada lo udah miskin, dekil, cewek bertebaran dimana-mana, ngeselin, idup lagi."
Pras tertawa mendengar hal itu. Ekspresi Bea ketika membela cowok-cowok koreanya itu memang menggemaskan. Bukan hanya Pras, tetapi hampi semua orang jadi suka menggodanya padahal mereka tidak berniat sungguh-sungguh menghina pada boygroup tersebut.
"Tolak ukurnya selalu uang ya?"
Pertanyaan pelan dari Gavin membuat semua orang terdiam dan menoleh pada pria itu.
Bea menatapnya bermusuhan, ia baru saja akan menjawab ketika lengannya ditahan oleh seseorang.
Bea menoleh. Naka menyentuhnya lembut dan menggelengkan kepala pelan. Membuat Bea akhirnya hanya menghembuskan napas kesal.
---
Love
--aku
KAMU SEDANG MEMBACA
So Do I [FIN]
ChickLitWARNING : TRIGGER WARNING, SUICIDAL THOUGHT, MENTAL ISSUE. -- JANGAN BACA KALO KAMU GA NYAMAN ATAU PUNYA ISSUE YANG BISA KE TRIGGER YA. -- KONTEN DEWASA : 21+ -- Bea Edina adalah manusia paling absurd. Kecintaannya pada semua hal aneh sudah tidak b...