"I won't cry. Even through it's so sad and unclear. I'll still smile for you."--Pinwheel by Seventeen
---
"Sakit!"jeritnya pelan. Jeritan yang menyadarkan semua orang. Gavin langsung meraih tubuh Bea, mendorong Aruna hingga jambakannya pada rambut Bea terlepas. Dirinya ikut mundur beberapa langkah atas gerakan Gavin membuatnya semakin marah.
"Gak usah ikut campur!"
Jika Bea masih meringis dengan seluruh kebingungan dimatanya, Gavin justru menggeram. Berusaha menahan tangannya tidak terangkat untuk balas memukul perempuan itu.
"Gue udah peringatkan sebelumnya. Seujung kuku aja lo nyentuh Bea lagi, gue sendiri yang akan bikin perhitungan."
Ancaman itu membuat Aruna tergelak. Ia mendengus dengan senyuman miring. "Gak heran. Lo memang berpengalaman menghilangkan nyawa orang."
Jika Sena memang mengerti setelah permintaan Gavin tempo hari, lain dengan Gilang dan Naka yang tampak sama bingungnya. Bolak-balik keduanya menatap Venny yang masih bergetar, Bea yang menatap bingung diantara kekagetannya, serta Gavin dan Aruna yang saling tatap seolah siap saling bunuh satu sama lain.
Karena tidak ingin adalagi keributan, Gilang akhirnya maju ke tengah-tengah mereka. Mendorong bahu Gavin pelan untuk mundur, lalu menatap Aruna dengan penuh peringatan. Pasalnya kini ia tahu bahwa perempuan inilah yang menyewa beberapa laki-laki berbadan kekar untuk membuat kekacauan di Abhyakta tempo hari.
"Sebelum saya panggil petugas, saya harap kamu segera angkat kaki dari sini. Saya masih menyimpan rekaman cctv ketika kamu menyuruh orang-orang yang mengacak-acak kantor saya tempo hari."
Tatapan Aruna berpindah. Ia menatap Gilang dengan menantang. Seolah tak takut dengan ancaman itu. Pun dengan Gilang yang juga akhirnya menyadari bahwa perempuan yang berdiri dihadapannya ini bukanlah orang sembarangan. Satu dua kali ia melihat wajah itu di media sehingga itulah kenapa ia merasa familiar.
"Bisa saya simpulkan alasan anda mengacau tempo hari bukanlah karena Naka tapi karena Bea--karyawan kesayangan saya?"
Semua orang tahu bahwa itu adalah ancaman. Namun yang diterima Aruna adalah kesimpulan lain. Ia mendengus sekali lagi. Dengan senyuman miring ia menatap Gilang dari atas hingga bawah dengan meremehkan.
"Setelah menjual diri ke pemilik perusahaan, lalu melemparkan tubuh ke Denaka Gautama yang terhormat--"Aruna menatap Naka dengan senyuman miring."--yang bikin keluarga brengsek itu berpaling dari Galih Purwanto setelah tahu sisi kelamnya, lo lebih milih berakhir sama pembunuh ini, adik tersayang?"
Matanya kembali menemukan Bea. Gadis yang kini akhirnya mengalihkan tatapan dari genggaman tangan Gavin. Matanya yang penuh rasa ingin tahu menatap Aruna sama berangnya.
"Gak usah mengada-ada. Saya gak ada hubungan apapun sama kamu. Dan apapun yang kamu ucapkan tentang saya tidak benar. Saya tidak pernah menjual diri kepada siapapun."
Tentu saja Aruna tertawa mendengar hal itu.
"Biar gue kasih tahu. Biar semua orang disini juga tahu apa yang sedang lo coba sembunyikan."
Gavin melangkah maju. Telunjuknya menukik para Aruna dengan tajam. "Don't you dare--"
Belum selesai kalimat itu, Aruna sudah kembali tertawa. "Pelacur kecil ini gak perlu pura-pura lagi. Lo pengen itu kan?"tangannya mendorong dada Gavin. Melangkah mendekati Bea yang tampak juga menunggu kalimat selanjutnya.
"Nama lo Beatrice Edina Purwanto. Lo itu anak haram hasil hubungan gelap Galih Purwanto dan selingkuhannya. Lo anak yang tidak diinginkan sejak lahir dan karena itu nyokap lo memilih mati."
Semua kalimat itu terdengar amat menyakitkan. Semua orang disana tentu saja tetap terkejut mendengarnya, kecuali Bea yang tampak masih penasaran dengan semua bualan yang keluar dari mulut perempuan itu.
"Miranda berhasil menyingkirkan lo tepat waktu. Walaupun akhirnya dia tetap ngebawa lo lagi karena takut kecium media, dan sejak lo kembali seluruh hidup Purwanto berubah. Semua orang hidup dalam ketakutan. Semua orang menginginkan lo menghilang selamanya dari dunia ini. Tidak ada yang menginginkan lo lahir. Bahkan lo bikin kakak gue meninggalkan seluruh keluarganya."
Aruna terengah.
"Dalam ilmu psikatri, yang lo lakuin ini namanya defense mechanism. Disebut displacement. Lo punya banyak kemarahan. Ke orang tua, kakak, diri lo sendiri, tapi lo cuman menumpahkannya ke satu objek. Bea. Hanya karena dia yang paling lemah. Bahkan kemarahan lo soal kematian Felix juga lo tumpahkan pada Bea hanya karena dia adalah wanita yang dicintai oleh Gavin, laki-laki yang dicintai oleh Felix, yang justru lo cintai sampai dia mati tanpa berani mengungkapkan."
Kalimat Sena terdengar sangat datar, pelan, namun penuh tekanan. Kalimat-kalimat itu membuat semua orang tercenung kecuali Aruna yang kini justru tertawa. Ia mendongak untuk menatap Sena beberapa saat seolah menilai laki-laki yang berdiri di samping Bea itu.
Bea berdiri di tengah, di samping kiri dan kanannya ada Senda dan Gavin, lalu di hadapannya ada Gilang. Ketiga laki-laki itu tampak seperti baricade yang menjaga Bea dengan ketat. Kenyataan yang membuat hatinya nyeri.
Telunjuknya lalu terangkat, mengarah pada sang ibunda yang masih duduk menunduk di samping Naka yang berdiri. Hatinya serasa diremas. Semua sakit hati dan dendamnya bermulai dari sana. Dari tangisan ibunya.
"Wanita itu. Nyokap gue--"bisiknya sebelum menghela napas panjang."--di penjara rumah sakit jiwa puluhan tahun hanya karena kelahiran pelacur ini. Kalau saja dia gak pernah lahir, kalau saja dia dilenyapkan saat itu juga, semua ini gak akan terjadi. Nyokap gue gak akan jadi stress dan berujung gila. Nyokap gue gak akan disingkirkan dari keluarga, nyokap gue gak akan kehilangan---"
"Aaaaaaa!"
Kalimat Aruna ridak rampung. Venny sudah menjerit sekeras-kerasnya, mengamuk pada apa saja. Menjambak, mencakar, memukul Naka berada disebelahnya. Dan sebelum semua orang kembali berkumpul, pintu lobby kembali terbuka.
Miranda muncul dengan beberapa orang bodyguard yang langsung menuju Venny dan menarik tubuh wanita itu lepas dari Naka. Langsung membopongnya dari sana tanpa mengatakan apapun.
Sedangkan Miranda melangkah menuju Aruna dan Bea. Mengulurkan tangan untuk merapikan rambut Bea yang berantakan sembari tersenyum lebar. Sangat lebar.
"Maaf ya bikin kamu bingung. Kejadian hari ini bisa kita lupakan aja?"
Permintaan itu terdengar tidak ingin dibantah. Bea yang ditatap seperti itu mengangguk kaku. Tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Namun anggukan itu membuat senyum di bibir Miranda semakin lebar.
Ia lalu menatap Gilang dan Sena dengan senyum sopan. "Saya berjanji kejadian ini tidak akan terulang lagi."
Hanya kalimat itu yang ia ucapkan. Miranda lalu menoleh pada Naka untuk bertanya basa-basi. "Ada yang luka?"
Naka menggeleng pelan. Menatap perempuan itu dengan heran. Memang mereka belum pernah bertemu sebelumnya diluar acara formal yang melibatkan keluarga mereka. Pun bertemu hanya saling sapa dengan sopan sehingga membuat Naka menjadi canggung. Walaupun banyak pertanyaan kini ingin ia tumpahkan.
Miranda lalu menoleh pada Gavin. Mengulurkan tangan untuk menyentuh lengan laki-laki itu dengan pelan. "Titip Bea, ya. Saya janji tidak akan ada yang mengganggu hidupnya lagi setelah ini."
Aruna mendesis marah. "Mama yang paling menginginkan dia gak ada. Mama yang buang dia ke panti asuhan, mama juga yang bawa dia pulang."
Tentu saja Aruna tidak terima. Namun tatapan Miranda menoleh dan menatapnya tajam. "Kamu mau di penjara karena kasus penganiayaan? Jangan bilang mama gak tahu apa yang sudah kamu lakukan selama ini, Aruna."
Ternyata ancaman Miranda lebih membuat Aruna terdiam. Perempuan itu hanya diam ketika tangannya ditarik oleh Miranda lalu membawa mereka keluar dari sana. Meninggalkan lima orang yang masih diliputi kebingungan.
Terlebih Bea yang kini sudah menjatuhkan tubuhnya di sofa.
"Apa yang baru saja terjadi?"bisiknya pelan.
---
love
--aku
KAMU SEDANG MEMBACA
So Do I [FIN]
ChickLitWARNING : TRIGGER WARNING, SUICIDAL THOUGHT, MENTAL ISSUE. -- JANGAN BACA KALO KAMU GA NYAMAN ATAU PUNYA ISSUE YANG BISA KE TRIGGER YA. -- KONTEN DEWASA : 21+ -- Bea Edina adalah manusia paling absurd. Kecintaannya pada semua hal aneh sudah tidak b...