11

2.3K 208 3
                                    

"Kamu tidak pernah tahu apa yang mungkin terjadi saat ini. Jadi kamu harus menemukan yang terbaik dalam situasi ini."--Seungkwan of Seventeen

---

Dulu sekali ketika baru kenal pertama kali, tidak ada yang tahu bagaimana seorang Beatrice bisa terlempar jauh ke sudut kota bekasi. Menjadi salah satu siswa yang seperti dibuang oleh orang tuanya.

Bukan karena sekolah itu tampak kumuh, hanya saja karena penampilan dan semua barang yang melekat di dirinya membuat Bea ditatap aneh oleh orang-orang. Apalagi kepindahannya diujung kelas tiga yang tidak sampai sebulan lagi sudah harus ujian kelulusan.

Ajaibnya, Bea lulus dan diterima di salah satu SMA bergengsi di Jakarta. Hal yang tentu saja juga membuat teman-temannya kaget. Siapa sebenarnya gadis itu.

Yang pertama kali sadar adalah Ditta. Anak perempuan pintar dan tidak banyak teman sewaktu sma, terpaksa terjebak dengan Bea karena gadis itu menjadi teman sebangkunya sewaktu kelas satu.

Seolah tahu bahwa hanya Ditta yang bisa mengimbangi Bea, guru-guru seolah sepakat bahwa kedua anak perempuan itu tidak perlu dipisahkan hingga kelulusan. Sehingga satu-satunya manusia yang membuat Bea tetap datang ke sekolah dan mengikuti setiap pelajaran adalah Ditta.

Puncak komedi adalah ketika Ditta mendaftar di sebuah kampus terbaik dan lulus dengan nilai memuaskan, Bea ikut berkuliah di sana. Entah menggunakan jalur apa. Tidak ada yang tahu. Kecuali Bea sendiri.

Ditta yang tidak lagi bisa menahan rasa penasaran, akhirnya melalukan konfrontasi dan untungnya berhasil.

Didalam apartemennya, Bea membuka lapis demi lapis topeng yang selama ini menutupi wajah dan seluruh tubuhnya. Bea membuka seluruh pakaian yang menyilaukan selama ini. Bea untuk pertama kalinya membuka diri di hadapan orang lain.

Sejak saat itu, yang dilakukan Ditta hanyalah menjaga gadis itu agar tetap memiliki kewarasan.

Jadi ketika ada seseorang yang meragukan setiap hal yang dilakukannya untuk Bea atau membuat Bea merasa menjadi pihak yang jahat, Ditta tidak bisa menoleransi. Siapapun itu, termasuk kekasihnya.

Namun Bea paham sekali bahwa dirinya tidak mungkin membuat Ditta melakukan hal yang menyakiti Gerry hanya untuk dirinya. Bea tidak akan mau melihat Ditta mengorbankan apapun untuk dirinya.

Selain kematian yang damai, hal yang diinginkan Bea hanyalah kebahagiaan Ditta.

Yang mana bisa ia lihat dengan kebersamaan sahabatnya itu dengan sang kekasih.

Jadi, yang bisa dilakukan Bea adalah meminimalisir hal-hal yang mungkin akan menyakiti Ditta nantinya.

---

Seperti yang sudah ia duga, Aruna kini sedang duduk di lobby kantornya dengan pakaiannya yang serba minim tersebut. Di tengah ruangan terbuka itu, Aruna bahkan menggunakan kacamata hitamnya. Yang terlalu mencolok dan tidak cocok digunakannya saat ini.

Bea menghela napas panjang sebelum mendekat.

"Kan gue udah ngomong ketemu di jam pulang kantor,"

Aruna mendongak. Tangannya bergerak melepas kacamata lalu bibirnya tersenyum lebar. Sangat lebar.

"Takut aja adik manis gue ini langsung kabur. Jadi kenapa gak sekalian gue tungguin,"

Bea mendengus mendengarnya. Ia lalu melangkah diikuti oleh Aruna yang kini bersiul girang. Tangannya bahkan melingkari bahu Bea dan sedikit mencengkeram.

"Mau makan dimana? Atau mau pulang ke rumah?"

Pertanyaan itu jelas hanya untuk menyulutnya.

"Starbucks."

Aruna berdesis. "Kopi gak baik untuk kesehatan. Kalo lambung lo makin parah, gerd lo kambuh gimana? Gak ada yang sedih kalo lo mati."

"Justru bagus."

Bea melangkahkan kakinya menuju starbucks yang ada di lantai dasar gedung tersebut. Banyak meja yang sudah terisi. Beruntung ada satu yang berada paling sudut.

"Lo tunggu disana. Gue pesen dulu."

Aruna mengangguk senang. "Greentea Latte, ya. Grande."

Setelah mengantri hampir lima belas menit, Bea mendapatkan pesanannya yang langsung dibawa gadis itu menuju Aruna yang tampak sibuk dengan ponsel pintar keluaran terbarunya.

"Thank you, baby."Ucapan itu tidak benar-benar tulus. Apalagi setelah kalimat selanjutnya. "Kenapa minum lo americano? Hidup lo kurang pahit ya?"

Bea menghela napas lelah. Ia menyeruput minumannya sejenak sebelum benar-benar meladeni keinginan wanita di hadapannya.

"Dia sebelumnya stay di Berlin sebelum move kesini. Ambil double degree. Dia temennya yang punya kantor gue, kayaknya partner bisnis juga."

Aruna mencibir. "Basi. Gue usah tau. Gue pengen tahu hal-hal lebih pribadi. Tempat tinggal? Pacar, mungkin?"

Bea mendengus. "Gue gak mungkin tahu hal privacy atasan gue sendiri,"

"Lo bisa deketin HR, intip dikit juga tahu rumahnya dimana."

Hal itu tentu saja membuat Bea mual. Tapi melawan perempuan gila seperti Aruna harus sama gilanya.

"Kenapa gak lo sewa detektif yang lo gunain buat mata-matain gue aja?"

Aruna tentu saja tergelak.

"Bukan mata-mata, baby. He's your bodyguard,"

Tentu saja Bea tidak membutuhkannya. Bea tidak butuh siapapun untuk menjaganya. Toh yang paling berpotensi menyakitinya justru dari orang-orang yang menyewa penjaga untuknya.

"Apalagi info yang udah lo dapetin?"

"Lo kenal dia di Berlin."

"Itu pertanyaan atau pernyataan?"

Bea mendengus. "Dan dia juga menghindar dari lo."

Wajah Aruna langsung menegang. Tatapannya berubah tajam. Bea dapat merasakan aura dingin langsung menguar dari wanita itu.

"Kalo lo mau menempatkan gue di antara kalian, lo gak akan berhasil. Gue gak akan terpengaruh apa-apa soal apa yang terjadi sama kalian,"

Gadis itu bangkit. Aruna menatapnya tajam.

"Lo akan menyesal."

Bea mengangguk. "Memangnya apalagi yang gue dapetin selain itu?"

Setelahnya, ia langsung beranjak. Membuang gelas yang telah kosong lalu melangkah keluar dari warung kopi tersebut. Tidak berniat menoleh lagi pada Aruna yang masih terpaku di tempatnya.

Satu hal yang dia dapatkan sore itu. Sesuatu yang besar sudah terjadi di antara kakaknya itu dengan Gavin, atasannya.

Dari tatapannya, Bea tahu bahwa Aruna bisa melakukan apa saja pada laki-laki itu. Keinginan Aruna pada Gavin bukanlah soal hal baik. Dan jika memang hal buruk itu terjadi suatu hari nanti, Bea tidak menginginkan dirinya terlibat sedikitpun.

---

Ponselnya berbunyi menandakan panggilan masuk, Bea mengerang di atas kasur. Berusaha kembali tertidur karena ia tahu hari ini ia tidak perlu bekerja.

Namun seseorang yang sedang menghubunginya itu tampak tidak sabaran membuat Bea akhirnya bangkit dari posisinya.

Tangannya meraih ponsel, melihat siapa yang menghubunginya pagi buta. Ketika nama Ditta yang muncul, mau tak mau Bea mengangkat panggilan tersebut.

"Buruan bangun. Cuci muka, sikat gigi, ganti baju olahraga. Lima menit lagi gue sampe apartemen dan lo udah harus siap."

"Ha?"

"Oke? Bye."

Panggilan langsung terputus. Bea menatap layar ponselnya dengan bingung.

"Gue mimpi ya?"

---

Love

--aku

So Do I [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang