29

1.4K 154 5
                                    

"Laughing over it like an adult and crying like a child later. Let's love even our hidden sadness."--Kidult by Seventeen

---

Dulu sekali ketika ia baru saja selesai dari sebuah kelas, Ditta menghampirinya sembari mengatakan bahwa dirinya butuh ke seorang psikolog. Bagi Ditta setelah mengenalnya sejak sekolah menengah pertama, dirinya butuh bantuan seorang profesional.

Umurnya masih delapan belas tahun saat itu. Setelah lulus sma, ia sama sekali tidak tahu harus melakukan apa. Begitu tahu Ditta mengambil bisnis di salah satu kampus swasta di Jakarta, ia mengikuti langkah gadis itu. Tidak benar-benar tahu bahwa ia juga menginginkan jurusan yang sama.

Semua kelas yang ia ambil persis sama dengan yang diambil Ditta. Ditta awalnya sangat senang karena dengan begitu perbedaan jam kelas tidak akan menjadi masalah untuk mereka. Keduanya tetap bisa melakukan segala hal secara bersama.Tidak perlu repot berjanji untuk sekedar bertemu.

Namun memasuki semester tiga, Ditta mulai cemas. Bea benar-benar tidak melakukan apapun untuk hidupnya. Semua kelas dan tugas yang ia kerjakan bukan serta merta karena gadis itu inginkan, tapi hanya karena Ditta melakukan hal itu.

Ingatan itu masih segar dalam kepalanya. Pertama kali ia menyadari bahwa Bea butuh bantuan profesional. Orang tuanya Ditta juga menawarkan berbagai bantuan jika Bea merasa tidak sanggup seorang diri.

Namun yang dilakukan Bea adalah tertawa. Gadis itu lalu memeluk sahabatnya itu sembari berkata: "Gue tuh emang gini aja, Dit. Gak usah dipikirin. Ke psikolog-pun gak akan merubah apapun juga. Gue tetap anak haram yang tidak diinginkan lahir ke dunia. Datang ke psikolog tidak serta merta membuat dunia ini bakal nerima gue."

Sejak saat itu Ditta bungkam. Tidak pernah menyinggung soal psikolog sedikitpun pada Bea. Namun yang ia lakukan saat itu adalah mendatangi psikolog tanpa membawa Bea. Ia teratur datang untuk bercerita tentang Bea, menerima banyak sekali advice yang bisa ia terapkan pada sahabatnya itu. Dan semakin hari semakin ia sadar, bahwa bukan hanya dirinya yang butuh semua itu.

Bea lebih membutuhkannya.

Kini ketika matanya menemukan Bea yang keluar dari kamar dengan rambut berantakan dan piyama yang lecek, mata Ditta langsung memanas. Dengan cepat ia balik badan untuk mengusap kedua matanya sebelum kembali menatap sahabatnya itu.

"Gue bikin nasi goreng."

Bea terdiam sebentar. Menatap Ditta lama sebelum kembali melangkah menuju pantry, tersenyum sangat lebar.

"Ih mimpi apaan tiba-tiba ada ibu peri masakin gue pagi-pagi?"

Ditta mematung sesaat. Tidak percaya bahwa gadis ini tampak baik-baik saja setelah apa yang terjadi tadi malam. Bea memang sering pura-pura namun matanya tidak pernah berbohong. Namun yang kali ini dilihat Ditta sungguh berbeda. Bea benar-benar seperti orang yang tidak mengalami hari buruk sebelumnya.

"Gue nginep disini tadi malam. Di kamar Gavin."

Bea mengerjap. Lalu kembali tersenyum lebar. "Sama Gerry juga?"

Pertanyaan itu dibalas dengan anggukan. Ia membawa dua piring nasi goreng ke atas meja. Mendorongnya satu ke hadapan Bea.

"Mau suapin gue ga, Dit?"

Hal itu tentu saja membuat Ditta kembali terpana. Bea hampir tidak pernah minta disuapi olehnya. Bahkan ketika sakit, gadis itu bersikeras ingin makan sendiri. Lalu mereka akan bertengkar dan tidak jarang Ditta yang akan mengalah.

"Lo mau gue suapin?"

Gadis itu mengangguk antusias. Matanya mengerjap penuh harap. Ditta menelan ludah. Perasaannya mendadak tidak enak. Namun permintaan Gavin tadi pagi untuk menjaga sahabatnya itu membuat hatinya nyeri.

So Do I [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang