"Just a little bit reminder, you're precious. Don't ever thinking that you're useless. You're amazing. That's it."--Seventeen
---
Banyak hal yang tidak bisa diukur di dunia ini. Terlebih pada sesuatu yang tidak tampak namun nyata adanya. Seperti udara. Keberadaannya tidak terlihat namun sangat dibutuhkan. Tidak terlalu dipedulikan tapi bisa sangat mematikan.
Begitu juga perasaan.
Bagi sebagian orang, sebuah kata bernama rasa bukanlah hal yang perlu dipikirkan. Keberadaannya terkadang justru melelahkan hingga sering diabaikan.
Padahal juga, keberadaannya juga bisa menjadi salah satu sumbu yang bisa menyebabkan kematian.
Pagi ini, Gavin baru saja keluar dan menatap koridor apartemennya ramai. Beberapa orang tampak panik berlarian, beberapa lagi tampak sibuk dengan ponsel di tangan mereka.
Mengejutkan adalah pintu unit sampingnya terbuka lebar. Dengan langkah lebar Gavin berusaha mendekat dan menerobos masuk. Lebih mengejutkan lagi, tetangganya yang juga merupakan bawahannya tergeletak tidak sadarkan diri dengan kondisi yang menyayat hati.
Langkah Gavin perlahan mundur. Matanya nanar menatap gadis yang beberapa hari ini jarang ia lihat karena kesibukan keduanya dan kini tampak tak berdaya di lantai apartemennya.
Memori tentang hal menyakitkan berputar bagai film dalam kepala. Sebelum disadari siapapun, ia jatuh terduduk beberapa meter dari tubuh pucat tersebut.
Kesadaran Gavin melayang. Napasnya langsung memburu ketika seseorang datang dan menggapai tubuhnya.
"Pak Gavin bisa tolong jamin Mbak Bea untuk sementara? Kami belum tahu harus menghubungi siapa."
Laki-laki itu masih mematung. Tubuhnya gemetar.
"Pak Gavin?!"
Pemandangan di hadapannya tidak bisa membuatnya berkedip.
"Pak Gavin!"
Kepalanya mengangguk otomatis. Tubuhnya dipapah dan diseret mengikuti beberapa orang yang membopong gadis itu keluar lalu menuju ambulance yang sudah menunggu di lobby apartemen.
---
Sukri, salah satu staf apartemen tersebut telah menyampaikan seluruh kejadian. Satpam yang berjaga melihat Bea ribut dengan seorang perempuan yang belakangan suka mencari gadis itu. Lalu karena khawatir melihat wajah pucat Bea, sang satpam mengikuti atau lebih tepat mengantar gadis itu sampai ke unitnya.
Namun belum tertutup sempurna pintu tersebut, tubuh Bea ambruk terlebih dahulu dan langsung tidak sadarkan diri.
Karena khawatir, sang satpam langsung mencari bantuan dengan memanggil beberapa orang dan saat itulah Gavin muncul di sana.
"Dia mabuk?"
Dokter yang menangani menggeleng pelan. "Memang ada kadar alkohol dalam darahnya tapi tidak sampai membuatnya tidak sadarkan diri."
Laki-laki itu mengangguk pelan.
"Ada yang perlu saya bicarakan dengan serius karena kondisi pasien cukup mengkhawatirkan. Apakah bapak memang sebagai penjamin?"
Pertanyaan itu menggelitik hatinya. Gavin sempat terdiam untuk mengukur sejauh mana ia harus mengambil bagian dalam mengurus Bea karena mereka tidak sedekat itu. Kedekatan mereka memang untuk saling memanfaatkan.
"Jika bukan, saya bisa bicara dengan siapa kalo boleh tahu?"
Nama Ditta atau Gerry sudah muncul dalam kepalanya. Sejak sampai di rumah sakitpun Gavin sudah menghubungi mereka. Tapi mereka masih terjebak di jalanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
So Do I [FIN]
ChickLitWARNING : TRIGGER WARNING, SUICIDAL THOUGHT, MENTAL ISSUE. -- JANGAN BACA KALO KAMU GA NYAMAN ATAU PUNYA ISSUE YANG BISA KE TRIGGER YA. -- KONTEN DEWASA : 21+ -- Bea Edina adalah manusia paling absurd. Kecintaannya pada semua hal aneh sudah tidak b...