"The blowing wind is so lonely. Even on a summer day with a cold nose, the season that passes by a year. As if nothing."--Circle by Seventeen
---
Tiga hari sudah berlalu. Seperti kematian lainnya, yang tertinggal hanyalah kenangan. Kenangan yang juga tidak mudah untuk diceritakan.
Tidak ada yang berniat membahas bagaimana kejadian itu terjadi. Tidak juga ada yang bertanya apa yang mereka lakukan malam itu. Pun ketika disemayamkan, telinga yang tidak tertutup mendengar beberapa bisikan tentang ketidakwajaran tentang apa yang sudah dilewati hanya dianggap sebagai angin kecil yang bertiup.
Wajah yang tidak dipoles apapun itu menoleh ketika pintu terbuka. Menatap bingung pada sosok yang baru saja datang.
"Bea, ini Naka, temen kantor lo waktu masih di Abhyakta."Naka menampilkan senyum."Kalo ini Rubi Sanjaya. Yang punya rumah sakit dan bantuin kita untuk cepat ditangani."
Bea mengangguk mendengar ucapan Ditta. Ia hanya tersenyum sopan pada dua orang itu sebelum kembali menatap langit dari jendela yang terbuka.
"Gimana kabarnya, Be? Udah enakan?"
Ia kembali menoleh. Menatap Naka yang bertanya lalu menangguk pelan. Matanya lalu menatap Ditta sebelum berucap pelan. "Gerry mana, Dit? Aku mau Bubur Tiger yang di Blok M."
Baik Naka ataupun Rubi telah diperingatkan oleh Ditta sebelumnya. Sekali lagi, Bea seperti tidak mengenal semua orang kecuali Ditta dan Gerry. Tingkah gadis itu jauh lebih berbeda. Jika sebelumnya ia lebih ceria walaupun melupakan banyak hal, kini gadis itu benar-benar seperti hidup di dunia yang lain.
Bea seperti berada dalam sebuah lingkaran yang hanya ada dirinya bersama Ditta dan Gerry. Tidak ada orang lain. Tidak ada satupun yang Bea kenali ketika ia pertama kali bangun tepat sehari setelah ia di rawat di rumah sakit.
Beruntung sekali mereka dilarikan ke Sanjaya, yang kebetulan juga bertemu dengan Rubi yang langsung menjadi penjamin mereka saat itu. Bea langsung mendapatkan pertolongan. Sedangkan Gavin sudah meregang nyawa bahkan ketika mereka belum mencapai pintu unit gawat darurat.
Bea tidak menyinggung apapun tentang kecelakaan itu. Tidak sekalipun Bea menyebut nama Gavin. Pun ketika Gerry dengan gemas mencoba memancingnya dengan menyebut bahwa Gavin sudah dimakamkan, Bea sama sekali tidak bereaksi. Ia hanya mengernyitkan dahi sembari bertanya Gavin siapa.
Melihat hal itu membuat Ditta akhirnya menahan Gerry untuk memaksakan diri. Bea benar-benar seperti tidak tersentuh. Dengan tetap mengenal mereka saja sudah membuatnya bersyukur.
"Gerry lagi ngurus beberapa berkas. Sebentar lagi dia kesini, kok."
Bea lagi-lagi hanya mengangguk. Naka mengambil tempat di sebelah Bea lalu berusaha mengajak wanita itu mengobrol.
"Aku dengar Seventeen akan konser di Tokyo Dome. Kamu mau nonton, Be?"
"Seventeen siapa?"
Napas Naka tercekat. Bea bahkan juga tidak mengenali band favoritnya itu. Wajahnya yang polos dan matanya yang tampak linglung benar-benar membuat laki-laki itu membatu.
"Wonwoo. Kamu gak tahu?"
Bea menggeleng pelan. Matanya lari dari pandangan Naka lantas kembali menatap jendela.
Rubi yang melihat hal itu menggigit bibirnya pelan. Hatinya teriris melihat bagaimana Naka tampak sangat terluka saat ini. Pun dia mengerti apa yang sedang didera oleh pujaan hati laki-laki itu. Ia lalu mendekat ke arah Ditta untuk menawarkan sebuah bantuan lagi.
"Mamaku punya temen psikiater. Kak Ditta gak mau coba buat Kak Bea?"
Mata Ditta langsung berkaca-kaca. Ia mengambil jemari Rubi untuk digenggamnya dengan erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
So Do I [FIN]
ChickLitWARNING : TRIGGER WARNING, SUICIDAL THOUGHT, MENTAL ISSUE. -- JANGAN BACA KALO KAMU GA NYAMAN ATAU PUNYA ISSUE YANG BISA KE TRIGGER YA. -- KONTEN DEWASA : 21+ -- Bea Edina adalah manusia paling absurd. Kecintaannya pada semua hal aneh sudah tidak b...