"Repeat this. 'I can do this. Whatever happen I believe can do this'"-Seventeen
---
Gavin Janardana baru saja keluar dari mobil ketika tubuh seorang perempuan menabraknya. Lengannya dicengkeram dengan erat hingga terasa sakit. Ia menunduk untuk melihat wajah perempuan itu sebelum menghela napas lelah.
"Gue harus tahu apa yang terjadi di Berlin sebelum jadi sekutu lo."
Tangannya bergerak untuk mendorong tubuh itu menjauh karena beberapa mata sudah menoleh ingin tahu ke arah mereka. Keduanya berdiri terlalu dekat dan ini masih jam delapan pagi. Orang-orang masih ramai.
"Bea?"
Sebuah suara tiba-tiba menginterupsi keduanya. Bea langsung mundur dengan cepat dan melepaskan pegangan pada lengan Gavin. Berdehem sejenak sebelum balik badan untuk menyapa.
"Pagi Mas Naka, baru dateng juga?"
Sapanya disambut dengan senyuman. Naka berjalan mendekat ke arah keduanya. Laki-laki itu lalu menyapa Gavin dengan sopan yang dibalas dengan anggukan kepala.
Gavin lantas berlalu dari sana, tidak menoleh sedikitpun membuat Bea mendengus sebal.
"Kamu gak cari gara-gara sama dia lagi, kan?"
Pertanyaan Naka membuat Bea meringis. Ia menggelengkan kepala dengan cepat.
"Nanti ke Sanjaya Hotel jam berapa, mas?"
Dengan mulus ia lalu membelokkan obrolan sembari melangkah menuju lift yang akan membawa mereka menuju lantai tempat kantor mereka berada.
"Sebelum makan siang. Kamu nanti juga ikut?"
Bea mengangguk singkat. "Sekalian makan siang, ya? Sama siapa aja?"
Naka membiarkan Bea melangkah terlebih dahulu sebelum ia ikut masuk dalam kotak besi itu. Lalu melangkah mundur ketika beberapa orang ikut masuk bersama mereka.
"Sama Gavin, Sena dan Pras. Gilang akan menyusul bersama Agnes. Ditambah kamu kalo mau bareng."
Si cantik itu mengangguk. "Boleh deh."
"Ngomong-ngomong soal pembicaraan sebelumnya di pantry gak usah terlalu masukin hati. Anak-anak kadang memang suka kelewatan becandanya."
Diingatkan begitu tentu saja membuat Bea langsung mencibir. Naka yang tahu suasana hati gadis itu sedang tidak baik langsung buru-buru mengalihkan pembicaraan.
"Soal yang di konser. Aku gak terlalu paham maksud ucapan kamu."
Bea menoleh. Jika menyebut kesukaannya yang itu, Bea pasti akan langsung sumringah.
"Yang mana?"
"Yang cita-cita."
Naka bisa melihat mata Bea meredup beberapa saat sebelum akhirnya kembali tersenyum lebar. "Yang aku bilang kalo dulu aku gak mau mati karena belum bertemu Seventeen, terus karena udah ketemu jadi bisa mati sekarang. Yang itu?"
Laki-laki itu mengangguk ragu. "Kamu gak serius, kan?"
Tawanya langsung berderai. Tidak mengangguk juga tidak menggeleng. "Aku udah sering ketemu mereka. Aku bahkan ikut keliling dunia untuk bisa bertemu mereka."
Ucapan itu seolah pemberitahuan. Naka menebak dari raut wajahnya. Bea terlihat baik-baik saja mengucapkan kalimat tersebut seolah-olah itu adalah hal yang biasa. Ia tidak bisa menebak apa yang sebenarnya ada dalam kepala cantik itu.
"Gak usah dipikirin, Mas Naka. Aku matipun dunia akan baik-baik saja."
---
Makan siang itu memang meeting yang terselubung. Mereka pikir yang akan datang hanya Tito, manajer hotel. Namun Ryan Sanjaya juga datang bersama seorang perempuan yang tampak tidak senang duduk di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
So Do I [FIN]
ChickLitWARNING : TRIGGER WARNING, SUICIDAL THOUGHT, MENTAL ISSUE. -- JANGAN BACA KALO KAMU GA NYAMAN ATAU PUNYA ISSUE YANG BISA KE TRIGGER YA. -- KONTEN DEWASA : 21+ -- Bea Edina adalah manusia paling absurd. Kecintaannya pada semua hal aneh sudah tidak b...