35

1.4K 153 10
                                    

"I'll be there. I'm always in your heart. When we both having a hard time. Let's be together even more."--Lean on Me by Seventeen

---

Huru-hara permasalahan Abhyakta sebenarnya sudah selesai. Menolak tawaran dari Rubi Sanjaya dan Denaka Gautama, ketiga pemilik perusahaan kecil itu sudah menemukan solusi yang paling baik menurut mereka. Terlebih juga tidak ada perubahan dalam diri Sena sedikitpun. Jadi kekhawatiran untuk pengambilan keputusan yang bias sudah hilang.

Bea sudah mendengar cerita itu secara garis besar dari Gavin tadi pagi. Laki-laki itu mengatakan padanya untuk tidak usah khawatir karena Abhyakta akan baik-baik saja walaupun mereka menolak semua calon klien yang punya motif tersembunyi itu.

Tapi sepertinya yang ini cukup keras kepala. Walaupun sudah ditolak, ia kembali datang lagi. Dengan ekspresi yang sama sekali tidak berubah.

"Kan Kiya udah ngasih tahu kalo Kiya mau pake Abhyakta untuk birthday party."

Suara itu hampir terdengar seperti rengekan. Bea yang duduk bersebelahan dengan Via saling lirik sebelum mengulum senyum. Menatap wajah Naka yang tampak sudah lelah karena harus visit lapangan seharian lalu kini dihadapkan dengan seorang gadis cantik yang luar biasa keras kepala.

"Kiya tahu kan kalo acara itu bakal digunain Aldric jadi bahan cari sensasi?"

Rubi mengangguk cepat. "Makanya Kiya mau bantu."

Naka menoleh sebentar pada Bea dan Via sebelum menatap Rubi dengan lembut. Mencoba mencari celah untuk melelehkannya sedikit.

"Yang terjadi waktu opening ceremony itu memang terjadi. Arsen memang mau menikahi kekasihnya itu. Sedangkan Aldric cuman--"

Kalimatnya menggantung di udara. Seperti sadar bahwa tidak seharusnya hal itu ia bahas di sini. Tidak di hadapan Bea dan Via yang tampaknya sadar bahwa Naka juga hampir saja keceplosan.

Namun gadis cantik di hadapan Naka tampak tidak peduli. "Kiya tahu kok. Kiya juga tahu semua rencana kakak sama asistennya yang galak itu. Kiya juga tahu kalo ini buat bikin Adiwangsa--"

Tidak ingin Rubi berbicara makin jauh. Naka menggeleng cepat. "Ini urusan orang dewasa dan bukan ajang main-main. Biar semua di-handle--"

Rubi tampak berang. Ia langsung bangkit dari duduknya menatap Naka penuh amarah. "Kiya---"kalimatnya terputus karena napasnya yang memburu."---sudah dewasa. Semua orang gak perlu memperlakukan aku seperti ini terus-terusan."

Gadis itu menyambar tas tangannya. Menatap Naka penuh permusuhan. "Mas Naka pikir aku gak tahu apa yang Mas Naka rencanain sama Aldric?"

Sebelum menghilang dari ruangan itu, Rubi menatap Bea dan Via lalu berucap pelan. "Aku gak jadi pake Abhyakta. Memangnya apa bagusnya perusahaan kecil ini sampe terlalu jual mahal untuk pesta ulang tahun?!"

---

Sepeninggal Rubi Sanjaya, ruang rapat itu dimasuki oleh beberapa orang. Gavin, Pras dan Agnes tampak memasang wajah kebingungan.

"Kenapa sampe nangis begitu?"

Naka mengangkat wajahnya lantas menggeleng pelan. Dengan kurang ajarnya, Via yang justru berucap. "Dikatain gak dewasa sama Mas Naka."

Tentu saja membuat semua orang melongo walaupun diselingi celutukan oleh Pras."Memang masih sembilan belas tahun. Memangnya kedewasaan apa yang diharapkan dari anak yang belum dua puluh tahun?"

Naka ikut terkekeh. "Dia bener-bener pengen pake Abhyakta buat pesta ulang tahunnya. Tapi yah, lo tahu kan keluarga mereka kalo gak bikin sensasi kayak kurang berwarna gitu hidupnya. Kalo kita harus ngulang hal yang sama dua kali juga buat apa?"

Gavin menepuk bahu Naka simpati. "Sepertinya yang dia inginkan bukan Abhyakta,"

Rekannya yang lain ikut mengangguk.

Mata Gavin lalu menemukan Bea yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya, seolah tidak tertarik dengan obrolan mereka sore itu. Ia lalu berdehem.

"Mau langsung pulang, Be? Kita ada janji makam malam hari ini."

Bea langsung mengangkat wajah. Melirik sebentar pada Naka sebelum menatap Gavin. Ia lalu mengangguk. Mengatakan pada Via perihal pekerjaan mereka sedikit sebelum angkat pantat dari kursinya.

Meninggalkan rekan-rekannya yang masih sibuk memborbardir Naka dengan segala pertanyaan dan godaan.

---

Jam pulang kantor selalu menjadi waktu yang paling menyebalkan. Jalanan yang ramai, macet, penuh debu, dan teriakan orang-orang adalah makanan sehari-hari. Alasan Bea dan mungkin juga Gavin memilih pulang setelah pukul tujuh malam tentu saja berharap jalanan tidak semacet seperti sekarang ini.

"Ditta udah reserved restorannya. Steak-nya beneran enak. Kamu gak akan nyesel."

Gavin mengangguk. Tangannya kirinya yang sedari tadi memegang setir diambil alih oleh Bea untuk digenggam sebelum menaruh di atas pahanya. Hal itu tentu saja membuat Gavin menoleh dan mengernyitkan dahi. Tidak biasanya Bea begitu.

Namun gadis itu tampak tidak perlu mengeluarkan suara membuat Gavin menarik tipis bibirnya. Jemari panjang itu lalu meremas pelan paha gadis itu sebelum dielus naik turun. Membiarkan tangannya mengambil alih dan melakukan apapun yang diinginkan Bea.

"Be?"

Suara itu lembut. Panggilannya terdengar berbeda. Begitu juga dengan jantungnya yang mulai bertalu.

"Hm?"

Bea mengerjap pelan. Menatap Gavin dengan mata sayu. Kepalanya yang bersandar berputar menoleh pada sosok yang belakangan ini selalu ada untuknya. Selalu memberikan pelukan yang sangat ia sukai.

Kepala Gavin langsung kosong. Ia melirik lampu lalu lintas yang masih berwarna merah sebelum mendekat untuk meraih wajah cantik itu. Mengelus pipinya yang tirus dengan sangat lembut. Teramat lembut.

"You can lean on me from now on. Aku tahu kalo dunia ini hampir tidak pernah berpihak sama kita. Tapi kupastikan, we have each other right now."

Mendengar hal itu membuat senyum dibibir Bea terbit. Ia memajukan wajah untuk memberikan sebuah kecupan di bibir Gavin. Seolah mengatakan bahwa dirinya akan bersyukur dengan keberradaan Gavin dihidupnya mulai sekarang.

Gerakan itu tentu membuat Gavin mematung. Tidak percaya dengan apa yang barusan dilakukan oleh Bea, namun dirinya tetap menarik sebuah senyuman. Sebelum membalas kecupan tadi dengan sebuah ciuman.

Bunyi klakson dari mobil di belakang mereka membuat Gavin menarik wajahnya. Bernapas pelan di depan wajah Bea sebelum ikut menarik tubuhnya mundur. Kembali fokus pada jalanan namun kini tangannya tidak lepas dari paha kanan gadis itu. Meremas pelan dan kembali mengusapnya naik turun.

Gerakan itu tidak berhenti sampai mereka akhirnya meluncur menuju parkiran basement sebuah restoran tempat Ditta dan Gerry yang sudah menunggu mereka.

Tidak butuh waktu lama untuk menemukan ruang kosong. Gavin memarkirkan mobil tidak jauh dari lift berada. Mengambil ponsel dan dompetnya dari dalam tas kerjanya sebelum menyusul Bea yang sudah terlebih dulu turun.

Ia melangkah mendekat untuk berjalan beriringan. Tangan kirinya mengambil alih jemari Bea untuk dibawa dalam genggaman. Mengelus punggung tangan halus itu menggunakan ibu jarinya sendiri.

Awalnya ia pikir Bea akan menarik lepas namun dadanya semakin berdebar ketika yang dilakukan gadis itu justru semakin mendekat. Menempel pada tubuhnya sembari memeluk lengan kirinya dengan lembut. Seolah kontak fisik itu memang sudah biasa mereka lakukan.

Mereka saling tatap dan melemparkan senyum. Senyuman yang memenangkan hati keduanya. Senyuman yang mampu membawa kehangatan lewat sentuhan dan menyentuh dada masing-masing.

Senyuman yang tidak bertahan lama karena ketika pintu lift terbuka, sebuah takdir sudah menunggu mereka di sana.

---

love

--aku

So Do I [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang