30

1.5K 156 5
                                    

"Everything is cold but I have you, so I'm not lonely."--Kidult by Seventeen

---

Setelah menemui instansi terkait, kepolisian dan yang lainnya untuk mendapatkan informasi, Gavin dan Gerry akhirnya terdampar di warung kopi yang tidak jauh dari kantor rumah dinas Galih Purwanto. Orang nomor satu di provinsi ini.

Keduanya masih berusaha mencerna dari semua yang mereka dapatkan hari ini. Bagaimana mungkin kendaraan hitam yang mereka cari karena sudah menabrak mobil Gavin tempo hari adalah milik Galih Purwanto, ayah biologis dari Bea Edina. Keduanya masih mencoba menarik benang merah yang terjadi saat ini.

Kenyataan bahwa Galih tidak pernah menemui Bea selama ini saja sudah menjadi poin yang paling dipertanyakan keduanya karena tidak mungkin tiba-tiba laki-laki itu berusaha membuat Bea celaka. Meraka bahkan tidak meyakini bahwa Galih tahu keberadaan Bea saat ini.

"Sialan!"

Gerry akhirnya tidak bisa menahan umpatan. Rahangnya yang tegas mengeras. Mencengkeram kotak rokok yang berada dalam genggamannya. Mendengus sebelum kembali mengumpat.

"Keluarga psikopat!"

Gavin reflek mendesis. Tidak ingin Gerry lepas kendali di sana karena sejak tadi si pemilik warung sudah berkali-kali menatap mereka ingin tahu.

"Menurut lo mungkin gak Aruna bawa kabur mobil bokapnya malam itu terus sengaja nabrak Bea?"

Mata Gerry langsung menemukan Gavin yang tampak pias. Hipotesa itu juga meluncur dari kepalanya menilik hal-hal gila yang sudah Aruna lakukan selama ini.

"Lo tahu soal Alby?"

Gavin mengangguk. "Kakaknya yang kabur ke Aussie gara-gara gak direstuin sama ceweknya?"

"Lo tahu apa yang terjadi sama mereka?"

Bea tidak bercerita sejauh itu jadi yang ia lakukan adalah menggeleng pelan. Siap mendengar cerita lebih jauh.

"Waktu itu gue lagi main ke rumah Ditta, mereka baru masuk kuliah kalo gak salah. Lo tahu kan Ditta itu tetangga gue, jadi gue sering lihat mereka di rumah Ditta. Alby sering antar jemput Bea saat itu."

Gavin membasahi tenggorokannya yang kering dengan kopi hitam yang mereka pesan.

"Lo juga tahu kan gue selalu pulang kalo kita lagi libur. Tiap liburan gue selalu ngelihat mereka main bareng, pernah satu kali gue diminta untuk jemput Ditta. Lo tahu gue jemput dia kemana?"

Tentu saja Gavin tidak tahu.

"Rumah sakit. Mereka baru aja kecelakaan. Mobil yang dikendarai oleh Alby hari itu ditabrak dan sepertinya sengaja karena cuman ngincar bagian kiri mobil. Tepat ditempat ceweknya duduk dan Bea yang juga kebetulan duduk di sisi yang sama. Alby dan Ditta baik-baik aja. Mereka cuman luka dan lebam, Bea juga enggak begitu parah. Ceweknya Alby bahkan harus amputasi kaki kirinya."

Mata Gavin langsung melebar.

"Gue marahin Ditta dan larang dia main sama Bea lagi kalo ternyata gadis itu selalu mengalami hal-hal buruk dalam hidupnya. Yang gue tahu saat itu mungkin keluarga Bea memang seberbahaya itu karena bisnis atau apalah lo paham kan gimana hidup orang kaya secara ibunya aja punya tambang yang entah berapa ratus hektar di pedalaman sana. Tapi Ditta ngamuk. Dia pukulin gue sampai babak belur dan ngomong nyesel udah minta tolong sama gue. Dia lebih milih mati bareng Bea dibandingkan kenal sama orang kayak gue."

Hubungan keduanya sudah sedekat dan sedalam itu. Gavin yang mendengarnya langsung mengusap wajahnya dengan kasar.

"Sampai akhirnya gue ikut dimarahin nyokap. Ternyata nyokap lebih tahu banyak karena mungkin sering ngobrol sama nyokapnya Ditta. Gue jadi tahu kenapa Ditta segitu marahnya waktu gue suruh dia jauh-jauh dari Bea. Sampai akhirnya yang gue lakukan setiap pulang adalah memastikan mereka hidup dan baik-baik aja."

Gerry itu meraih gelas kopinya lalu menyesap pelan.

"Ditta awalnya gak mau menerima permintaan maaf gue. Justru Bea yang lebih dulu membuka diri. Dia yang akhirnya bikin Ditta juga menerima keberadaan gue setelah pulang dari Berlin. Sampai disaat gue tahu kalo yang membuat Bea menderita selama ini adalah Aruna, cewek yang sama yang bikin lo juga menderita. Gue pikir gue gak bisa diem aja."

Keduanya bertatapan sejak lama sampai akhirnya Gerry menghela napas.

"Kalo lo gak sanggup, biar gue aja. Biarin gue yang akan jaga Bea setelah ini. Dia butuh bantuan profesional. Gue gak bisa membiarkan Bea mengalami ini lebih jauh lagi."

Gavin bukannya tidak sanggup. Hanya saja jika ia memperpanjang permasalahan ini, identitas Bea akan diketahui oleh publik. Hal-hal fatal bisa terjadi nantinya. Apalagi di tahun-tahun seperti ini sedikit cela akan mampu memutar segala hal dengan mudah.

"Ger, Galih Purwanto ini bukan orang sembarangan. Kalo sampe Bea muncul dihadapan publik, gue takut--"

"Lo takut karir bokapnya akan hancur karena keberadaan Bea?"

Tentu saja bukan. Gavin tidak peduli sama sekali.

"Bukan begitu. Tapi semua orang akan menyorot Bea nantinya. Semua orang akan berlomba-lomba untuk dapat 'makanan' paling segar yang bisa ditaruh di piring masyarakat. Belum lagi kalo Gautama--"

Omong-omong soal keluarga yang katanya menyokong Galih selama ini juga bisa menjadi bagian paling menyakitkan bagi Bea.

"Kenapa sama Gautama?"

Gavin menelan ludahnya kasar. Ia tidak  ingin menyebutkan ini tapi tidak mungkin juga menyimpannya dari Gerry.

"Lo tahu cowok yang selalu bareng Bea di Abhyakta gak? Yang nemenin dia nonton konser?"

Cowok yang dihebohkan oleh Ditta karena merasa dikhianati oleh Bea namun juga disyukuri oleh keduanya karena Bea terlihat sangat bahagia saat itu.

"Dia Denaka Gautama. Anak bungsu Decakra Gautama."

"Shit! Adiknya Detara yang katanya hilang itu?"

Gavin sebenarnya tidak mengikuti polemik keluarga terkenal itu apalagi soal politik di negeri ini. Hanya sepintas jika memang harus mendengar. Namun ia tetap mengangguk.

"Itu kenapa dia gunain lo buat jauhin itu cowok?"

"Lo tahu dari mana dia gunain gue?"

Laki-laki itu mendesis. "Dan karena itu akhirnya lo jatuh cinta sama Bea?"

Pertanyaan sulit lainnya. Jika ditanya kenapa ia bisa jatuh cinta pada gadis itu tentu saja Gavin tidak bisa menemukan alasan yang tepat. Semua hal baik rasanya terpatahkan jika sudah menyangkut keduanya. Gavin tidak tahu harus menjawab seperti apa.

"Sejak kapan, Gav?"

Matanya lari dari tatapan Gerry. Pertanyaan yang rasanya pernah ditanyakan juga oleh sahabatnya itu atau oleh Ditta. Dan entah kenapa kini Gerry kembali menanyakannya.

Beruntung ponsel Gerry bergetar menandakan panggilan masuk. Laki-laki itu langsung mengangkatnya dan berbicara dengan seseorang di ujung sana. Membuat Gavin lalu menatap jalanan macet di hadapan mereka. Bunyi klakson yang nyaring bersahutan membuat pikirannya berkelana pada hari-hari dimana Bea menempel padanya hanya karena keberadaan Naka di sekitar gadis itu. Lantas ketika Naka sudah menghilang, Bea kembali melepaskannya lalu bertingkah seperti tidak pernah ada yang terjadi.

Pun tahu dimanfaatkan seperti itu, Gavin hanya diam mengikuti semuanya. Tidak bertanya apalagi membantah. Ia tetap seperti biasanya. Hingga kejadian malam itu dan bagaimana ia melihat sendiri tangan-tangan kurus itu melesakkan bantal membuat tubuhnya menggigil.

Dirinya sadar ada hal lain yang ia rasakan. Dirinya senang dan juga berdebar tiap Bea bergantung padanya. Dirinya merasa bahwa dengan keberadaannya Bea merasa lebih baik. Dan dirinya juga merasa bahwa bersama Bea walau tanpa satu katapun, sebuah perasaan aneh muncul dan menjelma menjadi kata yang sebelumnya bahkan tidak pernah ia duga akan ada.

Bersama Bea ia bisa merasakan sebuah hal tumbuh dalam dadanya. Harapan.

---

Love

--aku

So Do I [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang