28

1.4K 172 7
                                    

"I'm getting tired of the dream I'm dreaming alone. I'm so sick of it. I want to quit. I told myself, that to my yesterday's self. I don't want to be an embrassing tomorrow. Even it's a hopeless promise."--Fuck My Life by Seventeen

---

Dua puluh sembilan tahun hidup, Gavin tidak pernah merasa begitu sakit hanya karena melihat sebuah bantal. Sejak kecil, baginya hanya bantal sebagai teman. Setidaknya bantal tidak akan mengeluarkan suara yang menyakitkan. Setidaknya bantal akan tetap menemaninya tidur walaupun esok hari menyebalkan akan datang lagi.

Malam ini untuk pertama kalinya, ia memilih menjauhkan semua bantal. Membiarkan kepalanya menyentuh kasur secara langsung. Lalu membiarkan lengannya menjadi bantal untuk seseorang.

Tangannya tidak berhenti mengusap sedari tadi. Tubuh Bea benar-benar sudah melemas dalam pelukannya. Tidak ada lagi napas memburu. Tidak ada lagi tubuh bergetar. Gadis itu tampak begitu tenang. Amat tenang hingga Gavin merasa bahwa Bea sudah kembali tertidur.

 "Waktu itu kamu tanya aku belajar boxing dari mana terus aku gak bisa jawab."ucapnya pelan. Ia tahu sekali bahwa sebenarnya ia tidak perlu membagi ini kepada Bea apalagi kondisi gadis itu juga tidak dalam keadaan stabil. Tapi ia juga tahu bahwa dirinya ingin sekali membuka diri setidaknya pada gadis dalam pelukannya ini.

"Bapakku narkoba. Juga pecandu judi. Setiap kalah judi dan mabok, yang jadi sasaran kemarahannya itu cuman ibu karena aku selalu ngumpet dalam lemari."

Suaranya sumbang. Jemarinya menarik Bea semakin dekat.

"Lalu suatu hari aku baru aja pulang les. Belum sempat sembunyi waktu bapak pulang. Akhirnya aku juga kena pukul. Waktu itu aku masih kelas tiga sd. Ibu juga gak bisa ngelawan dan ngebela aku. Akhirnya kita berdua dipukul malam itu."

Ingatannya mengudara pada masa-masa ia masih sekolah dasar. Ketika kehidupannya mulai terlihat kelam. Karena sebelum itu Gavin hanya mengingat bahwa dirinya adalah anak kesayangan. Bapak dan Ibunya saling mencintai. Kadang sesekali menjemputnya bersama ke sekolah. Gavin seperti anak-anak lainnya. Punya orang tua yang harmonis dan keluarga penuh cinta.

"Sampai akhirnya kelas enam sd ibu meninggal. Gak tahu kenapa katanya HIV. Aku masih belum mengerti itu penyakit apa. Kelakuan bapak makin parah. Intensitas mabuknya sudah tidak berpola. Siang bolong bahkan juga masih aja mabok dan sejak ibu meninggal juga sasaran kemarahan bapak cuman sama aku. Aku harus siap jadi lawan yang seimbang kalo bapak tiba-tiba bikin rumah jadi arena tinju."

Gavin menghela napas panjang. Ia menghirup aroma yang menguar dari rambut Bea sebelum kembali melanjutkan.

"Sampai kelas dua smp aku akhirnya belajar tinju beneran. Awalnya cuman buat ngeladenin bapak kalo mabuk eh malah keterusan. Ternyata ikut tawuran antar sekolah bikin kemampuan aku berkembang. Aku bahkan bisa melumpuhkan bapak."

Jemari Gavin berhenti sesaat sebelum kembali mengusap punggung Bea.

"Terus kejadian itu sangat cepat. Di pagi hari nenek anter makanan seperti biasanya, bapak yang biasanya masih tidur gak tahu kenapa bangun. Aku sudah biasa dipukuli jadi pagi itu gak beda dari hari-hari lainnya, yang beda cuman karena ada nenek di sana. Nenek marah. Bapak ikut marah lalu mukul nenek. Untuk pertama kalinya aku ngerasa pengen bunuh seseorang. Dan itu bapakku sendiri."

Laki-laki itu terkekeh pelan. "Tapi lagi-lagi aku memang pengecut. Yang aku lakuin saat itu adalah lari dari rumah. Aku datengin kantor polisi terdekat. Ngadu kalo bapakku baru saja pukul nenek. Terus ngasih tahu polisi kalo dia suka mabuk, judi dan narkoba. Hari itu juga semua orang tahu keadaan dirumahku. Aku diungsikan nenek kerumahnya. Tinggal bersama dengan tante dan beberapa sepupu lainnya. Hari itu juga aku tahu, bapak akhirnya di penjara."

Gavin tidak tahu. Bahwa sedari tadi Bea tidaklah tertidur. Telinganya terbuka lebar walaupun matanya terpejam dan ia tidak bergerak sedikitpun. Sampai ketika suara Gavin tidak lagi terdengar dan ia rasa cerita itu sudah berakhir. Bea mengangkat tangan. Melingkari tubuh tegap itu dengan erat. Membenamkan wajahnya dalam pelukan.

"Be?"bisiknya pelan. Bea hanya mengangguk pelan. Tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Hanya membiarkan dirinya memeluk semakin erat. 

Napas Gavin terhenti sesaat. Ia tidak menyangka bahwa Bea tidak tidur. Bahwa ceritanya barusan didengar seluruhnya oleh gadis itu. Tubuhnya menegang. Apa yang akan dipikirkan Bea setelah ini. Apa yang akan diucapkan oleh mulut gadis itu setelah tahu hidupnya juga sama kacaunya. Gavin menelan ludah kasar. Bagaimana jika Bea melarikan diri setelah ini? Bagaimana Bea akan menatapnya setelah tahu apa saja yang sudah dilaluinya selama ini?

Setelah mengetahui bahwa dirinya menjadi penyebab kematian Felix, Gavin baru saja mengatakan bahwa dirinya juga yang menjebloskan bapaknya ke penjara.

Ketakutan itu meluruh ketika tangisan Bea mulai terdengar pelan. Jemari yang memeluk tubuhnya itu meremas semakin kuat. Kali ini ia tahu bahwa tangisan Bea adalah untuk dirinya.

"I'm okay."bisiknya memenangkan. Namun Bea justru menggeleng.

"Bagaimana mungkin kamu baik-baik saja setelah mengalami itu semua? Bagaimana mungkin kamu tetap bisa waras setelah semua itu terjadi?"

Pertanyaan itu terdengar amat menyayat hati. Dirinya tidak lebih dari seonggok manusia tidak berarti.

"Bagaimana mungkin--"

Jemari Gavin terangkat. Ia mengelus pipi yang penuh air mata itu. Mengucapkan kalimat yang ia juga tidak tahu apakah bisa ia tunaikan nanti.

"Sekalipun dunia ini memusuhi kita berdua, sekalipun yang kita inginkan adalah kematian, sekalipun tidak akan ada lagi hari esok, we'll never be alone like before."bisiknya penuh perasaan."Kita akan punya satu sama lain."

Lagi-lagi kalimat-kalimat itu terdengar seperti janji. Baik Bea atau Gavin sendiripun tidak tahu apa yang akan terjadi ketika mereka membuka mata besok pagi. Keduanya bahkan tidak tahu kejutan seperti apalagi yang menunggu mereka diujung hari.

Bea sadar sekali sejak kecil ia tak punya harapan. Sejak kecil ia bahkan tidak berani mengharapkan sesuatu. Baginya tetap hidup juga tidak tahu harus didefenisikan sebagai berkah atau tidak. Bea tidak tahu untuk apa ia tetap menjalani hari selama ini. Bea tidak tahu apakah dirinya benar-benar ingin 'hidup' sampai kalimat-kalimat tadi membuat dadanya nyeri karena ia tahu bahwa baru saja dirinya menginginkan sesuatu.

Bahwa kalimat-kalimat tadi membuatnya bisa mengenal sebuah kata yang sebelumnya untuk dimimpikan saja ia tidak cukup berani.

Sebuah kecupan kembali menghampiri puncak kepalanya sebelum menyentuh dahinya dengan lembut. Sentuhan yang tidak hanya menyapa kulitnya namun juga sebuah perasaan yang sebelumnya tidak pernah ia duga akan ada.

"Gavin?"bisiknya pilu.

Gavin tidak menjawab. Laki-laki itu hanya mempererat pelukannya. Kembali mengusap punggung dan lengan Bea dengan lembut. Menggumamkan kalimat bahwa mereka butuh tidur. Menggumamkan bahwa kali ini tidak akan ada yang mengganggu Bea dalam tidurnya.

Dan untuk pertama kalinya, dalam pelukan seorang laki-laki yang memeluk dan menjaganya semalaman, Bea tidak lagi mimpi buruk.

---

Karena ini minggu, jadi double update.
Happy weekend, guys.

Love

--aku

So Do I [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang