"Where I'm going? What are you watching for? When I'm crying, I go to the skies closer. No one can see my tears."--Circle by Seventeen
---
Suara dari televisi terdengar mengabarkan sebuah kecelakaan yang menyeret nama besar seorang pejabat tinggi membuat Ditta menoleh dengan cepat.
Tangannya meraih remote lantas menekan tombol merah membuat layar datar itu berubah menjadi hitam. Matanya menoleh pada Bea yang menatapnya bingung.
"Hari ini ada janji sama Susan lagi ya, Be. Inget kan?"
Bea mengangguk. Sudah lebih dari seminggu ia dirawat dan hampir setiap hari, setiap pukul tiga hingga empat sore seorang bernama Susan yang dikenalkan sebagai seorang psikiater berkunjung lalu mengajaknya berbicara.
Kadang ditemani Ditta, kadang ditemani Gerry. Bahkan jika keduanya sedang ada kegiatan lain akan ada Naka dan Rubi yang akan menunggunya dari ruang tamu kamar inapnya.
"Semoga sesi ini lebih menyenangkan. Tapi gak usah paksain diri, oke?"
Bea kembali mengangguk. "Nanti ditemenin siapa?"
Ditta sedang merapikan bekas makan siang mereka sehingga melangkah kesana-kemari sembari mengobrol santai dengannya.
"Maunya ditemenin siapa?"
Gadis itu tampak diam sesaat sebelum tersenyum kecil. "Mau coba sendirian, Dit. Boleh?"
Pertanyaan itu membuat Ditta menoleh. Ia tertegun. Pasalnya sejak kejadian Bea histeris setelah ditabrak dari belakang dalam mobil bersama Gavin dan melupakan banyak hal, gadis itu tidak pernah sendirian. Tidak pernah benar-benar sendirian. Selalu ada orang lain bersamanya.
"Gak boleh ya, Dit?"
Ditta menggeleng pelan. "Boleh, dong. Nanti ditungguin di ruang tamu kayak lagi sama Naka atau Rubi?"
Bea menggeleng pelan. "Cuman satu jam. Kamu ngopi di kafe aja. Yang gak jauh dari sini."
"Aku lagi gak pengen kopi."
Bea langsung manyun. "Kamu pasti suka. Kamu kan gak bisa hidup tanpa kopi."
Candaan itu membuat hati keduanya menghangat. Walaupun dalam keadaan seperti ini, Bea bahkan masih mengingat hal kecil dan candaan mereka biasanya.
"Ya? You need caffein."
Tentu saja ia tak sanggup menggeleng. Mungkin memang Bea butuh waktu sendiri dan bagaimana Bea juga memikirkan bahwa dirinya butuh sendiri membuat Ditta tidak bisa menahan senyum.
Ia lalu mengangguk setuju. Membuat senyum di wajah Bea langsung merekah.
---
Seperti biasa. Tepat pukul tiga sore, pintu kamarnya terbuka. Susan tersenyum ke arahnya dengan manis. Bercakap sebentar dengan Ditta yang sudah menggenggam dompet dan ponselnya. Bersiap untuk pergi.
"Titip Bea, Tante."
Panggilan Tante itu sepakat mereka gunakan karena Susan menyuruh begitu. Karena mereka adalah kenalan Rubi yang juga memanggilnya demikian.
Ditta dan Gerry tidak tahu harus berterima kasih seperti apalagi pada gadis cantik yang baru saja merayakan ulang tahun yang ke-dua puluh tahun. Perawakannya yang ceria, wajahnya yang polos dan hatinya yang luar biasa baik banyak membantu mereka khususnya Bea.
Gadis itu memang sering mengatakan bahwa dirinya cemburu pada Bea karena perempuan yang menjadi pujaan hati Naka--laki-laki yang ia cinta, justru mematahkan hati Naka.
Namun dengan sering juga ia mengatakan bahwa dengan memberikan bantuan pada Bea mungkin juga akan membuat Naka bahagia.
Naif. Tapi baik hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
So Do I [FIN]
ChickLitWARNING : TRIGGER WARNING, SUICIDAL THOUGHT, MENTAL ISSUE. -- JANGAN BACA KALO KAMU GA NYAMAN ATAU PUNYA ISSUE YANG BISA KE TRIGGER YA. -- KONTEN DEWASA : 21+ -- Bea Edina adalah manusia paling absurd. Kecintaannya pada semua hal aneh sudah tidak b...