24

1.4K 169 6
                                    

"It was hardtime without you. I was scared. I was scared of being alone. So I spent my time foolishly. Didn't even know how time was passing."--Without You By Seventeen

---

Bea tahu bahwa semua ini sudah terlalu jauh dari apa yang mereka sepakati. Menerima tinggal bersama Gavin bukan hanya untuk membuat Aruna 'senang' tetapi juga membuat Ditta dan Gerry tenang. Setidaknya jika bersama Gavin, kedua sahabatnya itu tidak akan mengkhawatikannya terus-terusan.

Tapi ini sudah keterlaluan.

Tidak seharusnya Bea menerima perbuatan baik Gavin untuk mengobati tiap ia terluka atau terlibat masalah dengan Aruna. Tidak juga seharusnya Bea meminta pelukan yang berujung dipangku semalaman.

Apalagi dengan keadaan setengah telanjang!

Ia menghela napas pelan. Memejamkan matanya guna menenangkan pikiran.

Gavin memang tidak melakukan apapun. Seperti yang disebutkan, laki-laki itu memang hanya memangkunya. Memberikan pelukan yang ia butuhkan. Lalu entah bagaimana mereka akhirnya tertidur semalaman dengan posisi tersebut.

Bea yang pertama kali sadar di pagi hari. Dan gerakannya membuat Gavin juga membuka mata saat itu. Ia langsung salah tingkah ketika matanya menemukan Gavin yang menatapnya lembut. Jadi yang ia lakukan adalah segera bangkit dan menuju kamarnya. Tidak mengucap satu katapun.

Kini setelah mencoba menghindari laki-laki itu berhari-hari, berbicara seperlunya. Bea menginginkannya lagi. Bea ingin dipangku dan dipeluk dengan lembut seperti itu lagi.

Jadi yang ia lakukan saat ini adalah berdiri canggung menatap Gavin yang tengah mencuci piring setelah mereka selesai dengan makan malam.

Ketika laki-laki itu selesai dan membalikkan tubuh, ia tidak bisa tidak kaget menatap Bea yang tampak gelisah ditempatnya.

"Need something?"

Bea mengangkat wajah. Menemukan Gavin yang tengah mengelap tangannya yang basah. Laki-laki itu seperti biasa hanya menggunakan celana pendek dan kaos tanpa lengan. Lengannya yang kekar membuat Bea bersemu karena menginginkan untuk melingkari tubuhnya erat.

Melihat Bea yang masih bungkam membuat Gavin berdehem. Menarik perhatian.

"Ada masalah?"

Gelengan kepalanya terlalu cepat membuat laki-laki itu mengernyit. Namun akhirnya hanya mengangguk singkat. Gavin melangkah pelan menuju sofa untuk kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda karena dirinya sibuk meninggalkan kantor beberapa hari ini.

Melihat hal itu Bea kembali melangkah mendekat. Duduk di sofa paling ujung. Menatap Gavin yang sudah memangku laptop miliknya sembari menatap selembar kertas yang ada di tangannya.

Sudah hampir satu jam, Gavin akhirnya mengangkat wajah. Menatap Bea yang sudah mulai bersandar dengan mata terpejam. Ia menaruh laptop di atas meja untuk mendekat pada perempuan itu.

"Hei--"Panggilnya pelan. Bea membuka matanya dan langsung bersitatap dengan Gavin."Kayaknya ada yang mau diomongin?"

Ditanya seperti itu tentu saja membuat Bea manahan napas. Ia tidak tahu bagaimana mengutarakan maksudnya dengan baik agar Gavin tidak salah paham. Lagipula ia sedang tidak sakit dan butuh pelukan. Ia hanya menginginkan pelukan.

"Aku--"

"Hm?"

Mata Bea lari menghindari Gavin ketika ia berucap sangat pelan."Aku mau peluk."

Tentu saja Gavin tidak memprediksi hal ini. Bagaimana mungkin perempuan itu menginginkan pelukan. Darinya?

Namun melihat Bea yang salah tingkah membuatnya sadar bahwa Bea benar-benar minta dipeluk.

So Do I [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang