23

1.4K 168 6
                                    

"Take time to catch your breath. After the through and tiring journey, we shall meet each other"--Dino of Seventeen

---

Setelah bersusah payah bangkit, lalu memesan taksi untuk kembali ke apartemen. Bea akhirnya sampai di unit tempatnya tinggal bersama Gavin. Ia baru masuk ketika Gavin tampak semrawut berlari ke arah pintu dan mematung menatapnya.

Laki-laki itu hanya menggunakan celana dan kaos pendek. Di tangannya tergenggam kunci mobil yang langsung meluruh ketika matanya menemukan Bea.

"Oh my god."lirihnya.

Bea membiarkan tubuhnya dipeluk erat walaupun ia langsung meringis membuat Gavin melepaskan dan meneliti wajahnya.

"You okay?"

Lama-lama pertanyaan itu menjadi sebuah template yang akan diutarakan oleh Gavin pertama kali jika beremu dengannya. Pasalnya memang ia selalu tidak baik-baik saja jika bersama laki-laki itu.

"Naka menghubungiku barusan. Katanya kamu hilang gitu aja, dia mau memastikan kamu sudah sampai dengan aman."

Bea hanya mengangguk. Ia masih kesulitan untuk mengeluarkan suara.

"Aku bantu mandi dulu sebelum obatin luka-luka kamu ya?"

Ini aneh. Keduanya tidak tahu kapan mengubah panggilan menjadi aku-kamu. Entah karena Bea yang sengaja memanggilnya demikian di kantor hingga membuat Gavin mengikuti caranya bicara.

Dan ini juga aneh. Gavin tidak menanyakan ia kemana dan apa yang baru saja ia lalui tapi langsung mengatakan untuk mengobati luka-lukanya.

Langkahnya dituntun menuju kamar. Gavin melangkah menuju kamar mandi, menyiapkan air hangat untuknya berendam sedangkan Bea mengambil pakaian tidurnya.

Gavin lalu duduk dipinggiran bathup ketika Bea melepas bathrobe dan duduk membelakanginya. Duduk meringkuk dalam air hangat yang sudah disediakan laki-laki itu. Ia mengamati punggung yang penuh baret dan lebam dimana-mana.

Bagaimana mungkin perempuan di hadapannya ini tidak menangis sedikitpun?

"Tadi aku makan bareng Naka,"

Sebenarnya bukan ini yang ingin didengan Gavin. Tapi melihat Bea yang akhirnya membuka mulut mau tak mau membuatnya tetap merasa bersyukur.

"Aku bilang kita tinggal bareng. Sorry."

"It's okay. Kita memang tinggal bareng, kan?"

Seharusnya saat ini Bea malu. Ia tidak memakai sehelai benangpun dan berada dalam satu ruangan bersama laki-laki yang sudah menyelamatkannya berkali-kali. Terlebih lagi tubuhnya saat ini penuh luka dan lebam.

"Cuman itu satu-satunya cara untuk membuat dia mundur."

Gavin berdehem. "Naka orang baik. Mungkin menjalin hubungan sama dia tidak akan seburuk--"

Ucapan itu menggantung di udara. Gavin hanya bisa kembali berdehem.

"Aku tunggu di luar."

---

"Sakit, gak?"

Gavin menggeleng pelan. Melepaskan jemari Bea yang tadi menyentuh pipinya. Memeriksa bekas pukulan Naka tadi sore.

Setelah mandi dan membersihkan diri, Bea sudah tampak lebih cerah mengenakan hotpants dan kaos kebesaran. Gavin lalu menarik tungkai itu untuk ia periksa sebelum dioleskan salep meredakan lebam yang ada disana.

Mata Bea memanas melihat bagaimana laki-laki itu dengan tekun menyentuh hati-hati setiap lukanya. Biasanya jika ia mengalami hal tersebut, jika tidak bersama Ditta yang akan mengomelinya sepanjang malam, Bea hanya mengobati dirinya asal-asalan walau seringkali mengabaikannya dan izin sakit dua sampai tiga hari sampai luka-luka itu sembuh.

So Do I [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang