7

2.9K 238 9
                                    

"Siapapun bisa tersesat. Yang kamu butuhkan adalah keberanian untuk berjalan di jalan yang asing dan menakutkan lagi"--Jeonghan of Seventeen

---
Makan malam yang kesorean bulan lalu membuat keadaan makin canggung. Baik Sena maupun Agnes tidak berniat membuka obrolan apapun, tapi seperti sudah saling sepakat mereka kompak menutup mulut.

Namun hal itu menimbulkan kecanggungan yang lebih kentara, Sena tidak lagi menggoda Bea seperti biasanya. Laki-laki itu tampak lebih menjaga sikap yang terlihat menjaga jarak. Agnes juga melakukan hal yang sama, sesekali ia masih mengajak Bea makan siang tapi bagaimana gadis itu tidak pernah menggoda --yang lebih kearah mengejek Bea, akhirnya membuat Bea gerah.

Kebetulan malam ini mereka lembur dan yang tersisa hanyalah Bea, Agnes dan Sena. Ketiganya sedang membahas beberapa project yang bisa mereka ambil dalam beberapa waktu kedepan.

"Lo berdua jangan jadi berubah sama gue,"

Sena mengangkat wajah. Menatap Bea lalu menoleh pada Agnes yang sudah meringis.

"Gue pikir lo yang berubah, Be."

Cicitan Agnes membuat Bea menghela napas.

"Lo sekarang jarang lembur. Jarang ikut kita hang out. Gue pikir lo gak nyaman sama gue sejak hari itu,"

Bea menggeleng dengan cepat. "Gue pikir lo yang gak nyaman, Nes. Makanya gue gak pernah ikut,"

"No!"Agnes berseru kaget. Membuat Bea langsung terkekeh geli.

"Gue ngerti kalo lo gak mau cerita soal kejadian waktu itu. Toh itu hal yang sangat privasi. Gue gak tahu alesan lo bohong selama ini, tapi gue yakin lo punya alasan yang kuat."

Bagaimana Agnes sangat pengertian membuat Bea menghela napas panjang.

"Kalo aja lo tahu siapa gue sebenarnya--"

"Gue tahu mereka siapa, Bea.."

Bukan hanya Bea, Agnes juga menatap Sena dengan mulut menganga.

"Gue khawatir sejak hari itu. Gue kenal siapa ibu-ibu yang manggil dirinya Mama sama lo. Waktu gue cari tahu, gue kenala mereka siapa."

Jika Agnes menatapnya heran, Bea hanya menatapnya frustasi.

"Mereka beneran keluarga lo?"

Agnes mengulurkan tangan dan menggenggam jemari Bea yang perlahan dingin.

"Lo gak perlu cerita kalo lo gak mau. Sena gak akan maksa lo buat cerita,"

Sena mengangguk setuju. Tangannya terulur untuk menepuk puncak kepala gadis manis itu.

"Gak akan ada yang berubah juga kalo lo beneran klan keluarga itu. Toh selama ini lo cuman jadi Bea Edina, kan. Selamanya akan tetap begitu,"

Kalimat menenangkan yang dituturkan oleh sena membuat Bea tersenyum tenang.

"Tapi gue penasaran, kakak lo kok kenal sama Gavin?"

Hal itu sebenarnya juga mengusik Bea, tapi ia tidak ingin tahu lebih jauh juga terlibat dengan laki-laki itu apalagi jika sudah bertalian dengan Aruna.

"Gue gak kenal dan gak tahu apa-apa soal itu, Mas. Gue juga gak mau tahu kenapa dan gimana mereka kenal."

Untuk urusan Gavin, Sena sebenarnya ingin lebih banyak tahu tapi sepertinya memang Bea tidak mengenal Gavin sebelumnya. Juga penolakan langsung dari Bea membuat Sena paham bahwa Bea tidak ingin membahas apapun jika menyangkut keluarganya.

Tepat setelah itu, pintu ruangan Gavin terbuka dan laki-laki itu keluar dari sana. Sudah melepaskan jas yang sedari pagi memeluk tubuh tegapnya menyisakan kemeja hitam yang tiga kancing teratasnya sudah lepas.

Sontak melihat kemunculannya membuat Bea dan Agnes saling tatap dengan gusar, takut jika pembicaraan mereka sebelumnya didengar oleh laki-laki itu.

"Gue pikir lo udah cabut dari tadi,"

Sena tampak lebih santai, ia ikut bangkit dari kursinya.

"Mau gabung gak?"

Gavin langsung menggeleng.

"Gilang udah duluan di sana bareng anak-anak. Ayo ikut aja,"

---

Bea mengumpat berkali-kali. Jika tadi ia bisa melepaskan genggaman tangan Agnes, ia tidak akan mabuk lagi malam ini. Siapa yang menyangka tadi Sena mengajak Gavin nongkrong sekaligus dengan dirinya dan Agnes.

Agnes si anak manis tentu saja tidak bisa menolak karena tidak enak hati, namun dirinya yang sudah menggeleng tegas juga tidak bisa kabur begitu saja ketika tangannya sudah digenggam dengan erat oleh gadis itu.

Dirinya memang berhasil pulang ke apartemen dengan selamat, tapi jika sudah dalam keadaan setengah sadar seperti ini kebodohan sering menyapanya. Dan lagi, Bea tidak bisa mencari akses apartemennya. Jadi yang ia lakukan sekarang adalah berjongkok di depan pintu. Berharap ada seseorang yang akan membantunya.

Doanya terkabul tidak sampai lima menit kemudian, pintu unit di sebelahnya berdebam terbuka. Seorang laki-laki keluar dari sana membuat Bea yang sudah limbung berlari sekuat tenaga menahan pintu yang akan menutup.

Tidak hanya berhasil menahan pintu, Bea bahkan berhasil menubruk laki-laki itu hingga akhirnya keduanya jatuh berdebam di lantai yang dingin.

"Shit!"

Bea buru-buru bangkit lantas duduk bersimpuh menatap sang pemilik apartemen dengan putus asa.

"Gue mau minta tolong,"

Laki-laki itu mengernyit.

"Izinin gue tidur disini malam ini. Di sofa ruang tengah gak apa-apa. Cuman sampai besok pagi."

"No!"

Bea membelalak. Ia menyatukan tangan didepan dada. Menatap dengan tampang paling mengenaskan.

"Gue gak akan repotin. Gue cuman numpang tidur doang. Akses kamar gue ilang. Kalo harus nyari officer gak bisa cepet dan akan makan waktu. Gue cuman--"

Belum sempat menyelesaikan kalimatnya. Bea sudah terdiam sebelum memuntahkan seluruh isi perutnya.

Pria yang berada di hadapannya itu tampak kaget dan langsung mengumpat pelan.

"Lo!"

Bea mengedipkan matanya. Kepalanya semakin pusing, sebelum bisa menjawab dan meminta maaf tubuhnya limbung. Kegelapan sudah menguasainya.

Kalimat terakhir yang ia ucapkan adalah kalimat paling menyakitkan yang pernah di dengar laki-laki itu.

Setelah menguasai dari kekagetan, laki-laki itu bangkit. Membawa Bea ikut serta dengannya untuk ia taruh di sofa ruang tengah. Sambil terus mengumpat kesal dan menghela napas berkali-kali, ia mengambil kaos miliknya untuk mengganti pakaiàn terluar milik Bea. Beruntung sekali gadis itu melapisi kemejanya dengan sebuah sweater merah maroon sehingga ia tidak perlu menelanjangi Bea malam ini.

Dengan penuh kekesalan, ia lantas mengusap seluruh bekas muntahan gadis itu di wajah dan beberapa rambutnya. Ketika sudah selesai dengan Bea, ia lalu merapikan lantai tempat Bea ambruk. Mengganti bajunya sendiri sebelum kembali keluar apartemen untuk menyelesaikan keperluannya yang sudah menunggu.

---

Love

--aku

So Do I [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang