"I will protect you. So, you don't get exhausted anymore."--Joshua of Seventeen
---
"Gak mungkin."
Tidak Gerry. Tidak juga Gavin. Mereka tidak pernah membayangkan akan sedemikian rumit hidup seorang perempuan yang begitu berarti untuknya.
Hidup Gavin memang tidak berjalan baik seperti yang dilalui oleh Gerry. Tapi dari semua kejadian yang ada, Bea benar-benar definisi hidup yang paling rumit.
"Gue udah memastikan kalo Aruna tidak di Jakarta hari itu. Pun dengan Miranda. Mereka berdua sedang menemani Galih ke luar negeri. Lo tahu gosip tentang dia yang gak akan maju lagi di pemilu depan, kan?"
Sungguh. Gavin sangat tidak peduli dengan semua problematik politik negeri ini. Tidak ada yang mampu membuatnya tertarik. Tidak sampai Bea hadir.
"Terus?"
Gerry mengulurkan iPad yang sedari tadi dipegangnya untuk memperlihatkan sebuah artikel pada Gavin. Artikel yang menunjukkan sebuah foto dan berita tentang keharmonisan keluarga terpandang itu.
Tentu saja artikel itu tidak berbohong. Aruna memang terlihat tertawa bersama Galih dan Miranda. Mengatakan bahwa keluarga itu tampak harmonis. Miranda dipuji-puji sebagai ibu sambung yang sangat baik karena begitu dekat dengan Aruna.
Telunjuk Gerry langsung menggulir dan menunjukkan sebuah berita baru. Kali ini membahas tentang perusahaan milik keluarga Miranda.
Tidak hanya keluarga yang harmonis, ternyata bisnis keluarga Miranda Purwanto--istri Galih Purwanto, juga sudah melandai di bursa efek setelah membantu masyarakat dengan tanggung jawab sosialnya yang membantu banyak masyarakat
"Politik memang kendaraan untuk bisnis semakin lancar."
"Dan pendekatan keluarga harmonis adalah cara paling jitu."
Gerry kembali menggulir layar. Kini terpampang sebuah foto yang memperlihatkan Aruna dan Miranda tengah tersenyum sembari menanam sebuah pohon. Tampaknya salah satu kegiatan sosial yang mereka lakukan. Keduanya tampak begitu cantik bersanding dengan masyarakat yang juga turut meramaikan kegiatan tersebut.
Setelahnya, Gerry mengangkat wajah. Menatap Gavin sebelum menghela napas pelan.
"Aruna benar-benar tidak ada di Jakarta dalam beberapa hari itu. Kita memang gak bisa akses lebih jauh, tapi gue rasa ini udah jadi bukti yang kuat."
"Itu kenapa dia gak pernah ngungkit juga setiap ketemu Bea?"
Keduanya lalu sama-sama terdiam. Berusaha mencerna semua yang terjadi. Pun petunjuk mereka berhenti dan tidak tahu harus melakukan apapun lagi.
"Gue sudah minta tolong Sena."
Dahi Gerry langsung berkerut. "Sena yang lo maksud ini Sena di Abhyakta?"
Laki-laki itu mengangguk kecil.
"Senandika Putra Qalandar maksud lo?"
Mendengar nada tidak terima dari Gerry membuat Gavin membuang napas cepat. "Ger--"
"Lo kan juga tahu keluarga mereka kayak gimana. Kalo lo gak bisa nyari solusi yang lebih baik, lo mending biarin gue sama Ditta bawa Bea. Kita udah dapet psikiater yang bagus di Singapore. Kebetulan juga setelah nikah gue sama Ditta berencana menetap di sana. Bea bisa--"
"Maksud lo apa?!"
Suara Gavin langsung terdengar dingin. Matanya menatap sang sahabat dengan tajam. Rahangnya perlahan mengeras membuat Gerry mendengus kesal.
"Lo gak berhak nentuin hidup dia begitu!"
"Dan lo juga gak berhak melibatkan orang-orang yang cuman akan menyusahkan Bea di hidup dia!"
"Brengsek!"
Jemari Gavin mengepal. Matanya lari dari tatapan tajam Gerry.
"Terus kenapa tiba-tiba ke psikiater? Cewek lo yang bilang Bea gak--"napas Gavin tersengal."--cewek lo yang gak mau bahas ini sebelumnya."
Gerry meninju bahunya pelan sebelum berucap. "Walaupun kita gak pernah bahas, kita sama-sama tahu kalo Bea butuh bantuan. Lo jangan nutup mata sama apa yang terjadi belakangan ini. Lo gak sadar semua ucapan yang keluar dari mulut dia itu gak ada yang bener."
Kenyataan itu ditumpahkan tanpa penyaring. Semua ucapan Gerry memang benar adanya hingga membuat Gavin kehilangan kata-kata. Tapi satu yang ia tahu bahwa Bea tidak pernah berbohong padanya. Pada mereka.
"Dia gak bohong, Ger."
Melihat sang sahabat mulai kalut membuat Gerry menurungkan suaranya. Ia menghela napas panjang dan pelan sebelum kembali bersuara.
"Kita tahu kalo dia gak bohong, Gav. Kita tahu. Tapi kita juga tahu kalo dia bukan Bea yang kita kenal. Semuanya terlalu rapi. Tidak terdengar mengada-ngada. Kita tahu sekali apa yang dia rasakan itu tulus dan memang begitu adanya. Hanya saja--"
Ia sendiri tidak juga sanggup melanjutkan. Ia berdehem lalu meraih kopinya yang mulai dingin. Membasahi tenggorokannya yang mengering.
"Maksud lo, Bea--"
Gerry menggeleng dengan cepat. "Gue gak berani ambil kesimpulan. Lagipula bukan kita juga yang bisa mengambil kesimpulan. Makanya gue dan Ditta sepakat untuk ngajak dia pindah. Bea juga setuju untuk dikenalkan."
Gavin langsung mengangkat kepalanya. Menatap Gerry dengan pias. Tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
"Beberapa hari yang lalu, dia ngomong sama Ditta kalo dia pengen banget lihat kita nikah. Ditta mengiyakan tapi dia ngebujuk Bea untuk ikut ke Singapore. Gue gak ngerti kenapa mereka bahas itu, tapi Ditta tampak sangat berharap, Gav. Toh dipercepat satu-dua bulan gak akan masalah. Gue sama Ditta juga sepakat cuman akan ada pemberkatan tanpa pesta ini-itu."
Apa yang dilakukan Ditta dan Gerry untuk Bea memang tidak bisa dibandingkan dengan apapun. Keduanya menjaga gadis itu dengan sangat baik selama ini. Gavin bahkan masih tidak percaya bahwa Ditta dan Gerry bahkan mau pindah ke apartemen miliknya ini dan berbagi tempat tinggal hanya karena permintaan Bea.
Gavin memang tidak tahu sedalam apa persahabatan yang mereka jalani selama ini, tapi jika dibandingkan ketika dirinya melihat Gerry, Sena atau Gilang terluka mungkin Gavin akan melakukan hal yang sama.
Mungkin seperti dirinya yang tidak punya keluarga sebagai tempat pulang, bagi Bea hanya ada Ditta dan Gerry yang menjelma sebagai rumah. Pun itu yang menjadi penyebab dengan semua langkah yang mereka ambil selama ini.
"Soal menikah. Lo berdua yakin?"
Ditanya seperti itu membuat Gerry tersenyum. Gavin adalah sahabatnya. Dan pasti laki-laki itu tetap memikirkan segala hal yang berkaitan dengan mereka.
"Bahkan sebelum memutuskan untuk tunangan, gue sama Ditta memang cuman mau pemberkatan. Bokap nyokap gue udah puas dengan pesta pora sewaktu pernikahan Gabriel. Bokap nyokap Ditta juga begitu. Ada juga enaknya jadi anak bungsu, lo gak perlu memenuhi ekspektasi orang tua soal pernikahan."
Gerry tidak mungkin berbohong. Toh memang sepertinya dua sejoli itu tidak peduli dengan apapun itu asalkan mereka tetap bisa bersama dalam keadaan apapun.
"Gue sudah daftarkan pernikahannya. Mungkin tiga atau empat minggu dari sekarang. Ditta berharap tidak akan ada yang terjadi dalam rentang waktu itu. Dia pengen Bea tetap jadi dirinya yang sekarang. Yang ceria, pemberani dan menyenangkan."
Diberitahu seperti itu membuat Gavin menganggukkan kepala. Keduanya lalu terdiam beberapa saat sebelum Gerry kembali membuka suara.
"Gue punya satu asumsi soal tabrakan itu, Gav."
Keduanya bersitatap. Seolah paham dengan apa yang dipikirkan oleh Gerry, Gavin langsung menggeleng pelan.
"Kita tunggu informasi dari Sena sebelum memutuskan apapun."
---
love
--aku
KAMU SEDANG MEMBACA
So Do I [FIN]
ChickLitWARNING : TRIGGER WARNING, SUICIDAL THOUGHT, MENTAL ISSUE. -- JANGAN BACA KALO KAMU GA NYAMAN ATAU PUNYA ISSUE YANG BISA KE TRIGGER YA. -- KONTEN DEWASA : 21+ -- Bea Edina adalah manusia paling absurd. Kecintaannya pada semua hal aneh sudah tidak b...