36

1.3K 147 6
                                    

"I'll become your umbrella in the rain. I'll protect you on all your days."--All My Love by Seventeen

---

Pintu kotak besi berukuran seribu enam ratus kali seribu empat ratus milimeter terbuka. Perempuan yang sedari tadi menunduk menatap lantai itu menangkat wajah untuk terkejut pada dua orang yang saling bergandengan tersebut. Tidak sampai lima detik perubahan ekspresi itu menjadi senyuman lebar yang teramat lebar hingga terlihat menyeramkan,

Aruna. Tidak bisa menahan rasa gembira melihat sepasang manusia yang mungkin juga kaget melihatnya muncul hari ini. Benar-benar sesuatu yang tidak direncanakan. Namun takdir memang seolah-olah selalu membuat mereka saling berhadapan.

Dengusan langsung keluar dari mulutnya ketika sang lelaki mendekat pada wanitanya dengan lebih posesif. Dilihat dari wajahnya yang mengeras dan genggamannya yang menguat.

Gavin menahan napas ditempatnya. Ingatan tentang kejadian terakhir yang melibatkan ketiganya adalah pengalaman yang paling tidak menyenangkan. Ia langsung melirik gadis manis yang tampak tidak terganggu bahkan kakinya sudah melangkah masuk ke dalam lift yang mau tak mau membuat Gavin juga ikut melangkah.

"Wow. A killer and bitch. What a perfect couple."

Gavin sudah berusaha mengabaikan ejekan itu ketika Bea menoleh dan menatap Aruna dengan heran. Pelukannya pada lengan Gavin bahkan sudah terlepas.

"Beberapa hari yang lalu kita juga ketemu dan kamu juga konfrontasi aku. Memangnya kita ini saling kenal? Ada masalah?"

Tidak hanya Gavin, Aruna juga bahkan menganga ditempatnya. Matanya menatap Bea terkejut sebelum kembali mendengus geli. Seolah yang diucapkan Bea memang hanya omong kosong tak berguna.

"Kita saling kenal. Sangat mengenal satu sama lain. Karena kita berbagi darah yang sama."

Secepat kilat Bea menggeleng. Menatap Aruna dari atas sampai bawah. "Maaf sekali kalo kesannya saya tidak sopan. Tapi kita tidak saling mengenal apalagi memiliki hubungan darah."

Kalimat itu ditandaskan tanpa keraguan. Matanya juga menatap tajam namun tenang. Seolah-olah memang Bea yakin sekali tidak mengenal perempuan di hadapannya itu.

"Jadi saya minta untuk kita saling menghormati dan tidak mencari masalah satu sama lain."

Tepat dengan kalimat itu dilontarkan, pintu lift kembali terbuka. Bea melangkah keluar sembari diikuti oleh Gavin yang masih tampak takjub dengan yang baru saja terjadi.

Tepat dilangkah kelima, bahu Bea ditarik dari belakang dengan kasar membuat keduanya menoleh bersamaan. Di hadapan keduanya, Aruna tengah menatapnya dengan marah dan wajah memerah. Menatap Bea dengan tajam seolah siap mencabik-cabik perempuan itu jika saja restoran tersebut tidak ramai saat ini.

"Lo gak akan bisa bertingkah seperti ini setelah apa yang akan gue lakuin, you bitch. Lo pikir gue akan diem aja?!"

Gavin tidak lagi menahan diri. Ia membawa Bea ke belakang tubuhnya dan memberikan Aruna tatapan peringatan.

"Gak usah sok jadi pahlawan. Lo lupa Felix mati karena siapa?! Dia akan berakhir sama."

"Don't you dare! Setelah kejadian kemarin gue gak akan diam aja. Seujung kuku lo nyentuh dia, yang bakal lo lihat cuman dinding penjara setelah ini."

Ancaman itu tidak membuat Aruna mundur. Ia malah tertawa lalu bergerak maju. Mendorong dada Gavin dengan ujung telunjuknya.

"Darah selalu lebih kental dari air. Biar gue ingatkan sekali lagi,"Perempuan itu mengerling ke bahu Gavin, tempat Bea menyembulkan kepala untuk melihatnya. Bertemu tatap. "cewek yang sedang lo belain ini adalah adik gue satu-satunya. Anak bungsu Galih Purwanto."

Jemari Gavin mengepal kuat. Jika saja yang dihadapannya ini bukan perempuan, kepalan itu sudah melayang dan menghantam mulut yang baru saja balik mengancamnya itu. Napasnya mendengus menahan emosi.

"Gav--"

Tangan Bea menarik lengan Gavin mundur. Menatap Aruna dengan heran sebelum menggelengkan kepala pelan.

"Ditta udah nungguin, Gav."

Meninggalkan Aruna yang kini terpaku ditempatnya. Menggenggam jemarinya sendiri sangat erat hingga terasa menyakitkan.

---

Makan malam itu berlangsung hangat. Ditta dan Bea tidak henti-hentinya membahas apa saja yang menurut mereka menarik lalu mentertawakan hal tersebut. Seolah semua hal yang terjadi bisa berubah menjadi komedi yang dapat menghibur keduanya.

"Harusnya lo lihat tampangnya waktu lo tolak, Ditt. Lo bayangin si prince charming ditolak oleh seorang Ditta yang bahkan ujian aja lima puluh persennya masih remed."

Ditta sudah tidak bisa membalas karena dirinya terlalu sibuk tertawa. Gerry juga tidak bisa menyembunyikan tawanya melihat tingkah kedua gadis tersebut. Hanya Gavin yang sedari tadi sedikit menarik ujung bibirnya karena pikirannya masih berkelana kemana-mana.

Dirinya masih berusaha mencerna pertemuannya dengan Aruna bersama Bea. Seperti yang pernah diceritakan oleh Ditta, Bea benar-benar seperti tidak mengenal Aruna sedikitpun. Bahkan perempuan itu langsung menciptakan jarak dengan cepat sehingga tidak ada celah untuk Aruna melakukan banyak hal

Gavin menyandarkan tubuhnya di punggung kursi, memperhatikan Bea yang tengah tertawa bersama Ditta dan Gerry. Tangannya tanpa sadar terangkat untuk mengusap rambut Bea dari belakang, lalu menuruni punggungnya hingga berhenti di pinggang gadis itu.

Pergerakan yang membuat Bea menoleh lalu menatapnya penuh tanya. Seolah tersadar Gavin langsung menggeleng pelan namun tidak juga menarik tangannya dari pinggang gadis itu.

Ketika ia menoleh tidak sengaja matanya menemukan Ditta yang juga tengah melihat ke arahnya. Dirinya tidak melakukan apapun tetapi Ditta mengangguk seolah paham apa yang sedang ia pikirkan. Hanya sepersekian detik sebelum Ditta kembali sibuk meladeni semua lelucon yang dilemparkan oleh Bea.

"Terus Sana tuh ternyata suka banget sama Joshua. Awalnya dia tertarik sama Mingyu waktu Mingyu sama Seungkwan main voli di Menteng itu, Ditt. Eh penasaran mulai nontonin tuh konten-konten Seventeen sampe dia jatuh cinta sama Joshua."

Ditta tergelak. "Gak heran sih. Joshua tuh kalem, manis, penyabar, kaya lagi. Gue juga mau kali sama dia."

Mendengar hal itu membuat Bea tertawa karena kini Gerry justru bersungut di sebelah sahabatnya itu. Memang ketika Bea sudah mulai membahas band kesukaannya itu, Ditta akan selalu memuji seorang anggotanya yang bernama Joshua. Salah satu jajaran anggota paling tua. Lagipula hanya Joshua yang diingat oleh Ditta namanya.

"Aku cuman tahu Joshua, Yang. Kamu pikir aku hafal itu anggota band lebih dari selusin."dengusan Ditta membuat Gerry lalu tertawa.

"Aku tahu Wonwoo yang mana."

"Tuh. Gerry aja tahu Wonwoo, Ditt. Lo malah suka kebalik terus sama DK. Mereka beda tahu. Yang satu kalem banget begitu, yang satu pecicilannya luar biasa."

Ketiganya lalu kembali tergelak ketika Gerry bercelutuk bahwa mereka terlalu putih dan kadang wajahnya belang dengan leher. Katanya ketika melihat video yang diambil Bea sewaktu konser di GBK akhir tahun lalu, make up mereka mungkin sudah luntur sehingga para laki-laki yang hobi menari di atas panggung lebih manusiawi. Ketimbang make up yang menyamarkan semua noda di wajah mereka.

Ditta lalu bercelutuk membuat Gavin menegang ditempatnya. Tidak percaya bahwa pertanyaan itu akan dilontarkan. Ia lebih penasaran dengan jawaban apa yang akan diberikan oleh Bea.

"Kalo disuruh milih, Wonwoo atau Gavin?"

---

Love

--aku

So Do I [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang