50

2.2K 153 6
                                    

"Remember, we're always together. I won't let go of your hand."--Circle by Seventeen

---
Wajah yang penuh air mata itu terangkat ketika pintu lift terbuka. Tubuhnya melemas. Sebelum menghantam lantai rumah sakit yang dingin, seseorang yang tadinya berada dalam lift berlari cepat untuk menangkap tubuh itu. Membawanya ke dalam pelukan.

"Hei, sayang? Kenapa?"

Ditta menggeleng. Air matanya tidak berhenti meleleh. Pun ia tahu bahwa sekarang ia sudah berada dalam pelukan suaminya, ditemani empat orang lainnya membuat Ditta semakin terpuruk. Bagaimana mungkin ia bisa menjelaskan hal-hal yang baru ia dengar pada mereka. Bagaimana ia bisa mengatakan seluruh hal yang sudah dilakukan Bea tanpa terdengar menyakiti hatinya sendiri?

"Sebaiknya kita pindah ke tempat yang lebih tertutup, kak?"

Rubi yang sedari tadi terpana di belakang Naka akhirnya mendekat. Menyentuh bahu Ditta dengan lembut untuk mengajak mereka semua pindah tempat sebelum menjadi tontonan orang-orang yang berlalu-lalang. Beberapa staf rumah sakit yang mengenalnya tentu saja menjadi penasaran apa yang sedang terjadi saat ini.

Digiring oleh Rubi, Ditta yang masih menangis dalam pelukan Gerry melangkah diikuti Naka, Sena dan Gilang yang sudah berjalan selangkah di belakang. Walaupun sempat kaget karena tempat yang dimaksud oleh Rubi adalah ruangan yang biasa digunakan untuk istirahat oleh sang pemilik rumah sakit.

"Ini ruang istirahat Mamaku sama Arsen, jadi memang agak mirip ruang keluarga kalo kita suka ngumpul disini. Tapi karena itu juga akan dipastikan tidak akan ada yang bisa mengakses selain anggota keluarga."

Mereka mengangguk. Mengambil tempat  di sofa yang tersedia dengan tatapan masih berfokus pada Ditta yang sudah mulai bisa menguasai dirinya. Walaupun kini wanita itu masih diam dalam pelukan Gerry.

"Dit, gue mau minta maaf sebelumnya gak izin sama lo dulu. Tapi berita soal kecelakaan itu naik lebih cepat. Mungkin beberapa waktu akan banyak sekali yang mencoba menghubungi kita sebagai orang-orang terdekat dengan Gavin."

Mata Ditta mengerjap pelan. Ia ingat soal berita yang tadi sempat ia dengar di televisi sebelum sesi terapi Bea. Dan lagi kenyataan bahwa ternyata Bea mengetahui semua itu tentu saja membuatnya hatinya kembali nyeri. Bagaimanapun ia menyembunyikan hal itu, sahabatnya tentu saja mengingat semuanya.

"Kalo lo mau tahu, Galih udah mundur dari kursinya. Keadaan politik kini jadi bergejolak. Tidak sedikit yang mulai mencari tahu siapa Gavin dan mulai menghubung-hubungkan Bea dengan berita yang sempat muncul dua puluh enam tahun silam. Mungkin juga Miranda akan ambil langkah setelah ini."

Jika boleh jujur, Ditta malah mengharapkan bahwa Bea akan beneran lupa. Benar-benar lupa semuanya sehingga hal ini akan lebih mudah. Ia dan Gerry akan membawa Bea menjauh dari semua ini dan tidak akan kembali. Mereka akan menjalani hidup dengan lebih baik. Setidaknya untuk Bea.

"Venny dan Aruna sudah dipanggil kepolisian sejak dua hari yang lalu. Semua bukti yang kita punya sudah diserahkan ke penyidik. Lo sama Gerry bisa pergi lebih cepat sama Bea kalo mau. Biar gue sama Naka yang bakal nyelesaiin ini semua."

Mendengar nama Naka membuat Ditta akhirnya menarik napas panjang. Matanya lalu menatap laki-laki itu sebelum air mata kembali meleleh dari sudut matanya.

"Jangan."

"Dit?"

Bagaimana mungkin ia membiarkan Naka terlibat lebih jauh setelah mengetahui bahwa Bea tidak pernah lupa, bahwa Bea juga akan selalu ingat bahwa dirinya pernah begitu mencintai Naka.

"Jangan sampe Bea tahu kalo Naka terlibat."

Naka mengernyitkan dahi. Ia menatap Ditta dengan bingung. Tapi gadis itu malah kini memalingkan wajah untuk menatap suaminya yang juga sama bingungnya.

So Do I [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang