38

1.3K 147 3
                                    

"No matter how much you hide it, you know you can't hide forever. So we can smile together. Don't be sorry. Don't worry. Don't be scared."--Hug by Seventeen

---

"Bea, hei?"

Matanya kembali menemukan Gavin. Tangannya bahkan sudah digenggam oleh laki-laki itu dengan erat. Rambutnya disampirkan ke belakang telinga sehingga kini wajahnya tidak lagi tertutup.

"Aku pikir malam itu aku akan mati. Aku takut kalo Agnes juga kenapa-kenapa."

Jika sebelumnya Bea selalu mengucapkan hal-hal tentang kematian adalah sesuatu yang sudah ditunggu oleh gadis itu, kini Gavin mendengar sendiri bahwa Bea mengatakan bahwa dirinya takut mati.

Kematian itu bukan lagi dijadikan teman olehnya.

"Kamu lihat wajahnya gak malam itu? Menurut kamu dia orang yang sama dengan cewek yang ketemu kita di restoran malam itu?"

Gadis itu langsung menggeleng. "Dia laki-laki. Dan aku rasa dia gak ada hubungannya dengan cewek itu."

"Kamu yakin?"

Bea kembali mengangguk. Kali ini lebih yakin. "Orang ini--"ia berhenti sesaat."--ngancem akan bunuh aku. Apa mereka musuh orang tuaku ya?"

Disebut dengan sesantai itu membuat Gavin mengernyitkan dahi. Ini kali pertama Bea menyebut kata orang tua di depannya dengan ekspresi seperti itu. Seperti hal tersebut tidak akan menyakitinya seperti yang sudah-sudah.

"Orang tua?"

Gadis itu mengangguk pelan. Tangannya balik menggenggam jemari Gavin. "Aku mungkin belum cerita. Orang tuaku meninggal sewaktu aku kecil. Kecelakaan mobil. Satu-satunya peninggalan mereka cuman panti asuhan di daerah Bekasi. Disana aku tinggal dan besar. Memang beberapa kali aku lihat ada yang suka mantau panti, tapi gak pernah deket. Cuman liatin dari jauh."

Gerry benar. Pun Ditta tidak lagi mau mengakui, gadis itu juga benar. Hati Gavin langsung nyeri. Dihadapannya ini memang Bea. Tapi bukanlah Bea yang sebelumnya ia kenal.

Hatinya serasa diremas. Perasaan itu mulai perlahan menjelma menjadi ketakutan yang diselimuti kesedihan. Gavin masih diam mendengarkan Bea menceritakan kisah hidupnya. Kisah hidup yang jauh berbeda dengan apa yang terjadi selama ini.

Walaupun hatinya pilu, Gavin menyadari bahwa Bea benar-benar butuh bantuan.

"Bea--"panggilnya pelan. Gadis itu bergumam sebagai jawaban. "--malam ini tidur sama aku, ya?"

Permintaan itu tidak hanya mengejutkan Bea namun Gavin sendiri juga terkejut mendengar apa yang keluar dari mulutnya. Ia tidak tahu harus bagaimana menghadapi gadis itu. Banyak sekali yang ingin ia paparkan. Kenyataan yang sebenarnya sudah mereka lewati. Hanya saja dirinya tidak sanggup. Ia merasa bahwa dirinya tidak punya kekuatan untuk melakukan itu.

"Di kamar kamu?"

Tidak bisa mundur. Gavin hanya mengangguk pelan. "Aku pengen tidur sambil peluk kamu."

Keinginannya bersambut. Bea tersenyum manis sembari mengangguk pelan.

"Kalo gitu, yuk naik?"

Walau masih dengan perasaan yang tidak karuan, Gavin keluar dari mobil. Melangkah mengikuti Bea menuju lift yang akan membawa mereka ke lantai atas. Di tangannya menggantung totebag berisi makanan dari restoran ayam cepat saji.

Di apartemen, Ditta dan Gerry ternyata juga sudah pulang. Keduanya tengah duduk di ruang tengah dengan kesibukan masing-masing. Ditta yang sedang sibuk dengan sebuah sketsa dan beberapa percak kain sebagai percontohan karena pekerjaannya sebagai designer, sedangkan Gerry duduk di ujung sofa dengan laptop di atas pangkuannya.

So Do I [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang