18

1.7K 150 4
                                    

"In the middle of this fucking world, you're not allowed to be happy, but you deserve to be happy"
--Seventeen

---

---

Hanya satu malam yang dibutuhkan oleh tubuhnya untuk kembali merasa bugar. Ketika dokter mengatakan bahwa ia sudah membaik, yang pertama kali dilakukan Bea adalah mengurus kepulangannya keesokan harinya. Ditemani Ditta dan Gerry yang menyelesaikan semua administrasi dan keperluan pribadinya, Bea akhirnya duduk dengan nyaman di atas kasur dalam kamar apartemennya.

Menatap pada sahabat satu-satunya yang ia punya. Yang kini sibuk menata pakaian dan perlengkapan lainnya dalam beberapa koper yang berbeda.

"Dit—"

Telinganya menuli seolah tidak bersedia menerima suara apapun yang berasal dari Bea. Perhatiannya justru kini beralih pada pintu kamar yang membuka dan memunculkan Gerry bersama seseorang yang paling dihindari oleh Bea.

Gavin Janardana.

Karena kini laki-laki itu juga tahu rahasianya.

"Semua udah selesai?"

"Sebentar lagi."

Bea mendengus sebelum akhirnya berdehem cukup keras. Berusaha menarik perhatian Ditta.

"Hanya ada satu kamar Ditta. Gue gak mungkin disana terus-terusan karena gue gak mau tidur di sofa setiap hari."

Sebelum Gerry membuka mulut, Bea sudah berdesis menyuruhnya diam.

Ditta langsung balik badan. Melipat tangannya lalu menatap Bea dengan tegas.

"Gue udah kasih lo pilihan. Lo yang pindah atau gue yang pindah kesini."

"Lo punya Gerry, Ditta—"

"Dan lo punya gue Beatrice Edina."

Dari semua manusia yang ada di galaksi bima sakti ini, bagi Bea memiliki seorang sahabat seperti Ditta sudah cukup untuknya. Ia tidak membutuhkan apa-apa lagi jika Ditta masih ada disisinya. Bea tidak peduli mau hujan badai sekalipun ia tidak akan kenapa-kenapa jika Ditta masih ada untuknya.

Itu sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya. Namun Bea menyadari bahwa keberadaan Ditta pun tidak serta merta menyembuhkannya. Bagian paling menyakitkan dari persahabatan mereka adalah Bea selalu merasa bahwa ia terlalu banyak merepotkan Ditta.

Dulu sebelum bersama Gerry, Ditta akan menghempaskan setiap orang yang mendekatinya jika dirasa orang tersebut tidak akan bisa memahami Bea sebaik dirinya. Atau ketika ia memutuskan pacarnya karena merasa waktu Ditta terlalu banyak dihabiskan dengan Bea.

Pernah juga ketika mereka baru saja wisuda, Ditta menolak lamaran seseorang yang menjadi pacarnya kala itu hanya karena laki-laki itu memintanya untuk ikut pindah dengannya ke Surabaya. Dan lagi-lagi Bea tahu bahwa alasan Ditta adalah tidak ingin meninggalkan dirinya.

"Setelah menabrakkan diri, lompat dari jendela rumah sakit, lo pikir gue akan baik-baik aja waktu tahu sekarang obat yang seharusnya menyembuhkan justru akan bunuh lo pelan-pelan?!"

Desisan itu terdengar sangat marah. Bea langsung tercekat. Ditta tengah menatapnya dengan tajam namun penuh sorot ketakutan juga kekecewaan.

Sekali lagi, dirinya hanya akan jadi beban untuk Ditta. Dan Bea tidak mau hidup sahabatnya itu hanya dihabiskan untuk mengurusnya yang tidak berguna.

"Lo sama Gerry mau nikah."bisiknya pelan.

Gerry menghela napas panjang. Ia merasa harus ambil bagian sekarang jika tidak ingin kekasihnya mengamuk lagi. Dan Bea tidak dalam keadaan yang waras untuk bisa menangkap maksud yang ingin diungkapkan oleh Ditta.

So Do I [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang