"Even if it takes a long time, I'm still here waiting for the day you find me."--Pinwheel by Seventeen
---
"Gue bahkan sekarang gunain dia bukan ngusir Naka."Ia tahu ia salah. Kelakuannya belakangan ini tentu saja sangat salah. Tidak seharusnya ia menggunakan Gavin disetiap kesempatan hanya agar tidak berdekatan dengan Naka.
Tapi Bea tidak tahu harus melakukan apa selain itu. Karena hanya dengan keberadaan Gavin, Naka bisa mundur selangkah. Jika sedang bersama yang lain, Naka tetap akan maju berusaha untuk berbicara dengannya walaupun itu Gilang sekalipun.
"Harusnya sekalian lo omong kalo lo tinggal bareng."
Sialan, Ditta.
Wanita itu bahkan tergelak. Ia mengetuk dahi Bea dengan pelan sebelum kembali menyuapkan bakso ke dalam mulutnya sendiri.
Gavin dan Gerry yang tadi pergi untuk mencarikan minuman dingin untuk mereka sudah kembali duduk ditempatnya masing-masing.
Jika Gerry mengambil tisu untuk mengusap rambut Ditta yang terkena saus sambil mengomel, Gavin dalam diam mengambil karet gelang dari kantung celananya lalu mengikat rambut Bea menjadi sebuah cepolan agar tidak menganggu gadis itu makan.
Lalu membukakan sebuah botol minuman dingin sebelum mengulurkannya pada Bea. Perlakuan yang membuat Gerry dan Ditta langsung terdiam dan saling pandang.
Yang terjadi antara keduanya sudah terlalu jauh.
"Lo berdua gak tidur bareng kan?"
Serta merta pertanyaan itu meluncur dari Ditta yang membuat Gerry mengetuk kepala kekasihnya. Sedangkan Bea dan Gavin hanya menggeleng pelan.
"Kan gue udah cerita, Dit. Kenapa lo nanya lagi. Gak ada yang terjadi antara kita."
Gavin lalu berdehem singkat. Meneguk minumannya sendiri.
Keempatnya tadi berjanji akan makan malam bersama, karena Ditta merengek sudah jarang jalan dengan Bea berdua. Namun entah apa yang terjadi sebelumnya, Gavin dengan posesif berkata akan ikut kemanapun mereka pergi yang tentu saja membuat Gerry juga turun tangan.
Ternyata yang diinginkan keduanya hanyalah makan bakso di dekat kampus langganan mereka. Bakso kaki lima yang walaupun tidak meyakinkan namun ternyata sangat nikmat. Membuat Gerry tidak menyesal setelahnya.
"Lo kenapa jadi posesif gini sih? Kalo lo lupa biar gue ingetin sekali lagi. Satu-satunya orang yang gak mau lihat Bea sakit adalah gue, Gav. Lo gak berhak jadi ngatur hidup dia begini hanya karena dia milih tinggal bareng lo dibandingkan tinggal bareng gue."
Gavin tidak menjawab. Ia hanya meraih lengan Bea lalu menyingkap blazernya untuk memperlihatkan lebam membiru di lengan gadis itu.
Bea langsung menurunkan lengannya.
"Gak apa-apa. Kemaren gue jatuh--"
"Aruna."
Satu kata itu membuat Bea bungkam. Gavin mengusap wajahnya sebelum mendongak menatap Gerry putus asa.
"Dia benar-benar gunain Bea untuk ngancurin gue."
Gerry langsung melotot. Ditta bahkan membanting gelasnya dengan kesal ke atas meja.
"Gue harus apa? Apa memang seharusnya Bea gak usah deket-deket gue?"
Pertanyaan putus asa itu membuat Bea ikut menunduk. Ia ingin menyampaikan ketakutannya namun semua tertahan di ujung lidah.
"Kalo dia tahu Bea gak deket sama lo, dia gak akan ada tujuan lagi selain bunuh Bea atau membuat Bea membunuh dirinya sendiri."
Gavin menggeram. "Dan membiarkan Bea tetap deket sama gue cuman untuk bisa dia sakitin?"
KAMU SEDANG MEMBACA
So Do I [FIN]
ChickLitWARNING : TRIGGER WARNING, SUICIDAL THOUGHT, MENTAL ISSUE. -- JANGAN BACA KALO KAMU GA NYAMAN ATAU PUNYA ISSUE YANG BISA KE TRIGGER YA. -- KONTEN DEWASA : 21+ -- Bea Edina adalah manusia paling absurd. Kecintaannya pada semua hal aneh sudah tidak b...