"Ingat ini. Hidup yang tidak sesuai harapan bukan hidup yang gagal. Dan hidup yang memenuhi harapan belum tentu hidup yang sukses. Lakukanlah yang terbaik untuk apa yang kamu lakukan sekarang itu sudah cukup"--Joshua of Seventeen
---
Malam sudah sangat larut. Karena ada beberapa hal yang harus ia kerjakan, Bea baru bisa meninggalkan kantornya hampir pukul sebelas malam. Sudah tidak ada siapa-siapa lagi ketika ia akhirnya turun menuju lantai dasar untuk menemui taksi online yang sudah ia pesan.
Setelah berkendara lebih dari lima belas menit karena memang jalanan yang tidak begitu ramai, Bea turun dari taksi setelah mengucapkan terima kasih.
Dengan lunglai kakinya melangkah menuju lift yang akan membawanya menuju lantai dua puluh lima.
Namun langkahnya berhenti ketika matanya menemukan seorang perempuan yang tengah bersandar di samping pintu unit kamarnya. Bea sangat mengenal perempuan itu.
Pintu sebelah unitnya terbuka, kali ini dengan penuh kesadaran, Bea berlari menuju apartemen tersebut dan menutupnya cepat, sebelum perempuan yang dipastikan sedang menunggunya itu sadar.
"Heh!"
Bea menoleh dan langsung membeliak kaget. Di hadapannya berdiri seorang laki-laki menggunakan celana pendek dengan kaos hitam. Rambutnya acak-acakan namun wajah laki-laki itu lah yang membuat Bea menganga.
"Ini unit lo?"
Pria itu mendengus. Tangannya bergerak mengusir Bea.
"Gue gak mau nampung lo lagi."
Bea merutuk. "Plis, Pak Gavin. Bantu gue kali ini."
Gavin menatapnya aneh.
"Lo dalam keadaan yang sangat sadar dan gak dalam kondisi butuh bantuan. Sana keluar!"
Bea menangkupkan tangannya. Menahan pintu yang bersiap dibuka oleh pria itu.
"Kali ini aja. Setelah malam ini gue gak akan ngerepotin lo lagi,"
Laki-laki itu tetap menggeleng tegas. "Gue pikir kita sepakat untuk gak saling terlibat apalagi saling bergantung."
Gavin sudah menyingkirkan Bea dari pintu. Tangannya sudah bersiap membukanya ketika pekikan Bea menghentikan langkah dan pergerakan Gavin.
Tidak. Dirinya langsung membeku di tempat.
"Aruna!"Bea menjerit. "Ada Aruna di luar. Di depan unit gue,"
---
Bea kaget ketika bangun di pagi itu. Bukan karena dirinya tidak sadar jika ternyata alih-alih kembali ke apartemennya, Ia malah tertidur di sofa yang sama, tapi keberadaan Gavin yang sedang membuat sarapan dengan bertelanjang dada. Dapat dilihat juga bagaimana keringat masih mengucur di seluruh tubuh tegap dan liat tersebut.
Setelah berdehem yang tidak menimbulkan reaksi pada pria itu, Bea akhirnya menghela napas dan melangkah menuju pintu.
"Terima kasih tumpangannya. Sorry gue ketiduran jadi gak sempet pindah semalam."hanya ada hening."Gue balik dulu,"
Bea lalu melangkah keluar. Menatap sekitarnya untuk memastikan tidak ada orang sebelum ia benar-benar keluar dan menuju unitnya sendiri.
Setelah masuk dan membersihkan diri untuk bersiap ke kantor, Bea akhirnya menghubungi Ditta.
"Pagi banget lo nelfon gue. Kenapa?"
Bea menghela napas. Lalu menceritakan kejadian semalam pada Ditta tanpa terkecuali.
"Apa gue pindah apartemen aja, Dit?"
Di seberang sana, Bea dapat mendengar helaan napas lelah dari sahabatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
So Do I [FIN]
ChickLitWARNING : TRIGGER WARNING, SUICIDAL THOUGHT, MENTAL ISSUE. -- JANGAN BACA KALO KAMU GA NYAMAN ATAU PUNYA ISSUE YANG BISA KE TRIGGER YA. -- KONTEN DEWASA : 21+ -- Bea Edina adalah manusia paling absurd. Kecintaannya pada semua hal aneh sudah tidak b...