27

1.4K 162 4
                                    

"When I was young, I wondered why I can't be the main character in a animated movie. My hearth was so black, is there anyone who could switch hearts with me for one day?"--Fuck My Life by Seventeen

---

Ditta datang bersama Gerry ketika Gavin baru saja menidurkan Bea di kasurnya. Laki-laki itu menarik selimut hingga dada. Merapikan rambut yang menutupi wajah pucat itu sebelum mengelus pipinya pelan. Sangat lembut seolah dengan satu sentuhan saja Bea bisa hancur berantakan.

"Gavin?"

Laki-laki itu menoleh mendapati Gerry yang masuk bersama Ditta. Ia memang memberikan satu lagi akses apartemennya pada Gerry dan Ditta hanya untuk berjaga-jaga jika suatu hari dibutuhkan.

"Sorry, kita masuk gitu aja."

Gavin menggeleng pelan. Ia bangkit dari duduknya di samping Bea untuk mengiring keduanya keluar dari sana. "Gue tahu yang mencet bel kalian. Gue masih mastiin Bea dulu tadi,"

Seperti yang Bea ceritakan pada Ditta. Hubungan keduanya sudah terlampur jauh. Sepertinya bukan hanya Bea yang jadi semakin bergantung pada Gavin, laki-laki itu juga tampak semakin luwes memainkan peran menjadi tumpuan.

Dua buah minuman dingin ia ulurkan pada Gerry dan Ditta sebelum duduk di sofa sebelah mereka. Keduanya tampak masih sepakat untuk diam menunggu cerita yang juga ingin mereka ketahui. Pasalnya ini kali pertama Gavin meminta Ditta untuk menginap disini sejak mereka memutuskan untuk tinggal bersama.

"Mobil gue ditabrak dari belakang. Lumayan keras. Dan gue yakin itu sengaja."

Napas Ditta langsung tercekat. Tangannya langsung terkepal erat, tubuhnya terlonjak bangkit sebelum suara Gavin menahan langkahnya.

"Bea udah tidur--kalo itu yang lo cemaskan."Mata laki-laki itu menatapnya muram. Seolah memohon untuk Ditta membuka semuanya sekarang.

"Apa yang sudah dia alami selama ini? Sejauh apa dia menerima perbuatan kakak kandungnya sendiri?"

Tepat seperti yang sudah diprediksi oleh Gavin. Rahang Ditta langsung mengeras. Perempuan itu mengusap wajahnya lelah sebelum mengumpat pelan. Ia lalu menatap Gerry dengan pilu.

"Apa kubilang? Ini bukan solusi yang tepat. Bea--"

Belum selesai gadis itu mengomel, kalimat selanjutnya membuat keduanya bungkam.

"Dua minggu lalu dia pulang babak belur. Seluruh tubuhnya luka dan lebam. Dia dipukuli pake tongkat baseball."bisik Gavin lirih."Gue bantu dia mandi dan tubuhnya kurus banget."

Tubuh Ditta langsung lunglai. Ia kembali terduduk sebelum selanjutnya terisak. Gerry tidak mendekat untuk membawa perempuan itu dalam pelukan. Matanya justru menatap Gavin dengan nyalang.

"Mana janji lo untuk bisa jaga dia, Gav? Gue mempertaruhkan semua ini bukan untuk bikin Bea semakin menderita. Lo tahu kan dia sudah seperti adik gue sendiri?!"

Kalimat itu tajam. Dikeluarkan dengan emosi yang tertahan.

"Gue menahan Ditta untuk berhenti membujuk Bea untuk tinggal bareng kami hanya karena gue tahu dia gak mau terus-terusan merasa kami terbebani dengan keberadaan dia. Gue mengalah untuk membiarkan lo mengumbar janji akan bikin dia happy  dan jaga dia agar gak disentuh oleh wanita ular itu. Sekarang lihat apa yang lo perbuat!"

Isakan Ditta makin terdengar putus asa. Gavin tidak juga mengeluarkan suara untuk membalas.

"Kasih tahu gue, kenapa lo bersikeras untuk Bea tinggal sama lo disini?! Kenapa lo bersikeras akan menjaga dia walaupun nyawa lo taruhannya?! Kalo cuman untuk membalas Aruna, jangan sekali---"

So Do I [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang