---
"Realita selalu lebih kejam dari imajinasi kita. Tapi, kita lebih kuat dari apa yang orang bayangkan"--The 8 of Seventeen
---
"Uang adalah segalanya ya?"
Bea mendelik.
Hari ini ia sedang menemui Sena dan Gavin untuk membicarakan perihal calon klien yang ingin mereka gaet.
Dua hari ini ia bersama Agnes, Suci, Pras dan Naka sudah nenyusun seluruh konsep acara yang ingin mereka buat. Tentu saja proposal itu dibarengi dengan perintilan yang dibutuhkan serta anggaran yang mereka ajukan.
"Ini kan tender, mas. Kalo memang ada yang harus kita pangkas, bisa diomongin aja."
Naka menjawab Gavin terlebih dahulu. Suci yang biasanya banyak omong kini lebih banyak diam. Sepertinya kedatangan Gavin dan bergabungnya laki-laki itu di perusahaan mereka membawa atmosfir perubahan.
"Gue suka sama konsepnya. Apalagi tepat di malam tahun baru. Tapi apa pelepasan lampion ini benar-benar dibutuhkan?"
Pertanyaan Sena ditujukan pada tim kreatif. Pras, Suci dan Naka saling tatap. Belum sempat mereka menjawab, Gavin sudah menyela.
"Murahan."
"Sorry?"
Pria itu hanya mengangkat bahu. Tidak berniat menjelaskan lebih banyak. Tangannya lalu mencoret banyak hal di atas kertas apalagi soal lampion yang dicoretnya berkali-kali.
"Ini keluarga Sanjaya. Mereka pasti gak masalah soal biaya,"Suci akhirnya berani angkat suara."Lo kan bisa tanya dulu--"
"Gak masalah kalo memang konsepnya berkelas. Ini semua murahan tapi overbudget. Buang-buang uang. Mereka mau open ceremony lini bisnis baru, bukan acara perpisahan anak sma."
Sena tampak setuju dengan ucapan Gavin dilihat dari caranya yang mengangguk.
"Mungkin lo punya ide biar terlihat lebih berkelas?"pertanyaan Pras dijawab dengan tatapan aneh dari Gavin. Laki-laki itu mendengus.
"Bukan terlihat tapi benar-benar berkelas. Lagipula kalo gue yang mikir ide apa gunanya lo dibayar sama Gilang di sini?"
Bangsat!
Bea yang sedari tadi hanya diam akhirnya angkat kepala. Mereka memang biasa berdebat banyak hal di kantor apalagi jika ide mereka tidak menemukan titik tengah. Tapi cara atasan barunya itu mengeluarkan pendapat membuatnya tak suka.
"Lo bisa ngomong baik-baik, Pak Gavin. Gak perlu ngomong ide yang kita bawa ini murahan."
Gavin tersenyum. Tapi entah kenapa Bea tahu bahwa senyuman itu meremehkan.
"Lo sadar kan ini konsep memang murahan? Dan lo dengan sadar bawa anggaran sebesar ini? Gunanya lo jadi supervisor apa kalo review ginian aja gak bisa?"
Wajah Bea memerah. Untuk pertama kalinya ia merasa kesal pernah bekerja di sini.
"Atau memang tujuannya adalah uang?"
"Gav-"
Teguran Sena membuat Gavin berkedip. Ia lalu mengedikkan bahu acuh.
"Kalo memang begitu gue gak bisa join di sini, Sen. Gue gak suka kerja sama orang yang cuman mikirin uang doang."
Laki-laki itu lalu bangkit. Meninggalkan ruangan dan keluar dari sana.
Agnes yang tadi menahan napas langsung menjerit pelan. Ia mengusap dadanya seolah menenangkan jantungnya yang berdebar kencang.
KAMU SEDANG MEMBACA
So Do I [FIN]
ChickLitWARNING : TRIGGER WARNING, SUICIDAL THOUGHT, MENTAL ISSUE. -- JANGAN BACA KALO KAMU GA NYAMAN ATAU PUNYA ISSUE YANG BISA KE TRIGGER YA. -- KONTEN DEWASA : 21+ -- Bea Edina adalah manusia paling absurd. Kecintaannya pada semua hal aneh sudah tidak b...