44

1.2K 153 2
                                    

"Even if's a long and tough road. Wherever that is, I'll walk with you until the end."--Dokyeom of Seventeen

---

Setelah memastikan Bea pulang dengan aman setelah dijemput oleh Ditta, yang ternyata juga ditemani oleh Agnes dan Via karena kebetulan mereka ingin makan malam bersama, Gavin melangkahkan kaki menuju mobilnya yang terparkir dengan Gerry sudah duduk dibalik kemudi.

Tujuan mereka dalah sebuah kafe yang tidak jauh dari Abhyakata, karena Sena, Gilang dan Naka sudah menunggu mereka di sana sejak jam pulang kantor. Karena Gavin harus menunggu Gerry dan Ditta untuk menjemput mereka, jadinya mereka baru meninggalkan gedung pencakar langit itu setengah jam setelahnya.

Dentingan bel berbunyi ketika keduanya mendorong pintu dan masuk ke dalam kafe tersebut. Memandang ke segala penjuru untuk menemukan Sena yang tengah melambaikan tangan dari sudut kanan kafe. Sudut yang berisikan tiga buah sofa dengan meja di tengahnya dan tempatnya lumayan private karena jauh dari meja-meja lainnya.

Keduanya lalu memesan dua hot americano dan kukis kering sebagai pendamping. Lalu mengambil tempat di sofa yang kosong, berhadapan langsung dengan Sena dan Gilang yang bersebelahan. Sedangkan Naka duduk di single sofa sendirian.

"Gue berharap lo gak akan menyembunyikan apapun lagi, Gav."

Itu kalimat pembuka dari Gilang membuat Gavin menelan ludah. Gerry yang melirik sahabatnya itu lantas berdehem pelan.

"Sebelumnya, gue boleh tahu apa yang terjadi hari ini dengan lengkap?"

Tidak Gavin ataupun Naka yang bersuara. Melainkan Gilang yang memulai setelah meneguk kopi miliknya sendiri.

"Gue lagi rapat sama Bea dan Sena ngomongin soal budget untuk gathering beberapa bulan lagi waktu denger ada teriakan dari lobby. Akhirnya kita ikut keluar, tiba-tiba Bea digampar sampai jatuh. Gue gak siap dan gak nyangka kalo Bea akan diserang seperti itu jadinya gak gerak cepat. Wanita itu ngamuk-ngamuk dan teriakin Bea anak haram."

Gavin terdengar menggeram kesal. Laki-laki itu tampak merapatkan giginya menahan amarah yang kembali mencuat ke permukaan. Matanya menunduk menatap tangannya yang saling mengepal.

"Sampai akhirnya setelah ditenangkan, ada orang lain yang muncul. Mengaku sebagai anak dari wanita itu dan kakaknya Bea. Lagi-lagi menyebut Bea sebagai anak haram dan kalimat-kalimat yang tidak berguna lainnya. Kalimat-kalimat yang bikin si ibu ke-trigger dan ngamuk lagi, sampai Miranda Purwanto--istri Galih Purwanto, datang dan bawa mereka pergi."

Gerry langsung menoleh menatap Gavin. "Lo udah janji, Gav."

Laki-laki itu ikut menoleh. "Gue gak mungkin maksa, Ger. Lo tahu sendiri Bea seperti apa."

"Gue udah berkali-kali bilang, kalo lo gak sanggup biar gue aja. Biar gue sama Ditta aja yang lakuin semua ini, toh selama ini Bea selalu aman sama kita."

Gavin menatapnya tak suka. "Aman apa yang lo maksud sampe mencoba bunuh dirinya sendiri dua kali?"

Tentu saja hal itu mengagetkan semua orang. Gerry dan Gavin sendiripun kaget dengan kalimat itu, hingga membuat Gavin mengucapkan maaf dengan pelan.

"Sorry banget, bisa kita runut ini dari awal?"

Semua mata lalu menatap Naka yang tampak amat terluka. Laki-laki itu seolah tidak punya tenaga dan begitu frustasi saat ini. Ia menatap Gavin dengan sorot penuh tanya. "Pembicaraan kita tadi itu sepenuhnya sudah lo tahu, kan? Bahkan lo tahu lebih banyak dari yang gue tahu?"

Dengan tidak enak hati, Gavin mengangguk. "Sorry."

"Gav, sorry. Gue gak bisa prediksi ternyata langkahnya secepat ini, detektif yang gue sewa baru mengabarkan pagi ini kalo Venny sudah dipulangkan. Gue belum sempat ngasih tau--"

So Do I [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang