ALLARA'45

1.6K 92 5
                                    

haiii anyeeongggg

semakin dekat mendekati endingg huhuuuu

jangan lupa vote dan komen yaaaa

terimakasihhh

eh iya, sebelumnya aku mau nanya, kira-kira kalian setuju ngga kalo cerita ini terbit di e-book?

     
Happy reading

       Berita perceraian kaiden dan allara kembali terkuak ke media. Kabar itu menjadi validasi atas isu perselingkuhan kaiden. 

Halen memeluk erat Allara. Sebagai seorang perempuan dan ibu, ia tahu betul bagaimana rasanya menjadi allara. Dimadu serta harus kehilangan anak pertama nya.

Malam ini orang tua kaiden mengundang allara datang ke kediaman mereka, tak lain untuk meminta maaf dan sedikit bernegosiasi tentang perceraian.

Kendati allara renggang dengan kaiden, tapi bukan berarti harus memutus silaturahmi dengan keluarga laki-laki itu. 

Sepulang dari rumah Aariz, allara langsung menuju kediaman montefalco. Allara sendiri tidak tahu kenapa ia berlama-lama dari sore sampai malam di rumah Aariz. Mereka bahkan tidak berbincang. Entah, allara merasa Aaris selalu menghindar berinteraksi dengan nya. 
“Mama bener-bener ngga nyangka sama kelakuan anak mama sendiri, allara. Kamu mau memaafkan mama, kan? Mungkin dia gitu karna kurang edukasi dari orangtua” Halen melepas pelukan, menatap allara penuh kasih.

“No, mama ga perlu minta maaf.  Aku yakin mama udah cukup baik mendidik kaiden, tapi mama tau, kan, gimana manusia kalo udah kenal cinta? Allara yakin kaiden sadar sama kelakuan nya, cuma namanya sayang sama zoe, kan?”

“Kamu yakin mau cerai sama kaiden? Apa masalah ini ga bisa dibicarain dan diperbaiki lagi?”

“Aku udah ngomong sama kaiden. Mama, om mahat sama keluarga aku juga udah musyawarah, kan?” Allara menjeda.  “Aku rasa ini demi kebaikan kita berdua terutama aku. Setiap orang berhak bahagia, right? Bukan berarti aku ga bahagia sama kaiden, tapi—kejadian kemaren bener-bener ngga bisa aku tolerir lagi, ma”

“Aku anterin kamu pulang”

Allara menoleh, hanya sepersekian detik kemudian kembali mengalihkan pandangan. Di dekat gerbang kediaman kaiden, keduanya berdiri bersisian.

“Ngga usah, udah pesen taksi”

“Aku masih suami kamu, allara. Kamu masih jadi tanggung jawab aku”

“Gue gamau, paham?”

“Engga” balas kaiden. Perkataan laki-laki itu selalu menyulut emosi allara. “Jangan kemana-mana, aku siapin mobil dulu”

Laki-laki itu kemudian berbalik, pergi menuju garasi.

“Mas ezar, bisa jemput aku?”

Allara mengetuk-ngetuk jari ke permukaan sling bag seraya menatap jalanan melalui jendela mobil. Bersyukur Aariz siap menjemput nya, jika tidak, ia pasti sedang bersama kaiden sekarang. Sikap kaiden akhir-akhir ini membuat allara bingung. Apa allara akan benar-benar siap berpisah? Bagaimana kalau perkataan kaiden soal menerima zoe hanya untuk menjaga nya itu benar, bukan omongan semata? Allara mendadak ragu.

Namun, ia juga tidak melupakan fakta jika kaiden telah berperilaku sedemikian rupa kepadanya. Rasa sakit itu masih membekas, tidak mungkin allara bisa lupa begitu saja, kan?

“Kamu mikirin apa?”

Allara mengalihkan pandangan, tersenyum pada Aariz yang tengah menyetir. “Engga. Ga mikirin apa-apa kok, Mas.” Sekilas, ia melirik lengan berurat milik Aariz yang terpampang jelas karna lengan jaket laki-laki itu terangkat hingga mendekati siku. Jadi pengen pegang, astagfirullah astagfirullah astagfirullah, allara.

Perempuan itu menggeleng menepis pikiran nya. Bagaimana bisa ia berpikiran demikian dengan seorang laki-laki alim seperti Aariz? Berdosa sekali.

“Yang tadi itu rumah suami kamu?”

“Iya. Mas ezar tolong sematkan kata 'mantan' ya, karna aku sama dia udah mau cerai”

“Tapi status kamu masih istri dia. Kenapa kamu lebih milih dijemput saya daripada dianter suami kamu sendiri?”

“Kok kamu nanya gitu, kamu keberatan nganterin aku? Kenapa ga bilang aja biar aku naik taksi”

“Engga, bukan kaya gitu, allara” balas Aariz. Ia takut allara salah paham. “Saya ga keberatan kamu minta dijemput, tapi status kamu masih jadi tanggung jawab suami kamu. Apa ngga aneh kalo malah saya yang anterin kamu pulang, dan berduaan di mobil kaya gini?”

“Ya selagi ga ngapa-ngapain harusnya gapapa, dong? Lagian aku gak deket-deket—turunin aku disini aja, Mas”

“Ngga, saya harus anter kamu sampe rumah”

“Aku tuh cuma ngga mau lama-lama interaksi sama kaiden. Setiap ngeliat dia aku selalu kebayang-bayang gimana sikap nya kemarin-kemarin. Bukan dendam atau ngga maapin, aku udah sepenuhnya maapin dia, kok. Cuma, untuk lupa dan nerima semuanya itu susah, Mas. Tapi kayanya aku terlalu lebay deh”

Aariz memelankan laju mobilnya. “Engga. Kamu paling paham soal perasaan kamu sendiri. Jangan pikirin asumsi orang lain. Maaf, allara. Saya ngga berniat menyinggung”

“Gapapa. Aku juga maaf”

Aariz mengangguk. Hening setelahnya, hanya terdengar suara kendaraan. 

“Mas ezar”

“Iya?” jawab Aariz tanpa menoleh, fokus menatap jalanan malam ini.

“Kamu yakin mau nikahin aku? Kamu tau kan kaya gimana aku barusan, kamu pasti emosi kan?”

“Saya yakin. Setiap orang pasti punya kekurangan, allara. Tapi itu bukan alasan untuk saling menolak dan saling ngga suka. Suami itu membimbing dan menuntun. Sudah kewajiban bagi saya, buat mendidik kamu setelah kita menikah nanti. Dan kamu jangan khawatir tentang kekurangan kamu, karna keputusan saya menikahi kamu itu murni dari hati saya. Artinya, saya sudah siap, saya menerima semua yang ada dalam diri kamu, kelebihan ataupun kekurangan”

Speechles. Allara tidak pernah mengira sebelumnya, ada laki-laki seperti Aariz. Bohong atau tidak, hanya Aariz yang tahu, tapi perkataan laki-laki itu membuat ia yakin dengan keputusan menerima perjodohan mereka.

801 word

ALLARA [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang