Bab 12

421 26 0
                                    

Tiga hari belakangan, Rey rutin berkunjung ke rumah sakit untuk menjenguk Lily. Mengajak balita itu mengobrol seraya mengamati perkembangannya.

Lily tentulah senang karena merasa punya teman selain Ayana; Rey sendiripun tampak nyaman saat bermain dengan Lily, dasarnya dia suka anak kecil.

Namun, bukan hanya Lily dan Rey saja yang dekat, melainkan Ayana juga tambah dekat dengan Rey. Mereka mengobrol, bercerita dan melakukan banyak hal. Makin hari Rey dibuat jatuh akan pesona Ayana.

Walaupun Rey tahu bahwa Ayana sudah pernah menikah dan kemungkinan untuk menikah dengannya kecil. Akan tetapi hati Rey sudah memilih. Dia ingin Ayana untuk menjadi istrinya.

Pagi ini Rey dan keluarganya tengah sarapan bersama di meja makan, hari ini Rey akan pergi ke rumah sakit. Tapi, tetap menggunakan setelan kerjanya karena siang nanti ada rapat dengan para komisaris.

Sementara itu Reno bertanya soal perkataan Rey beberapa hari yang lalu mengenai pernikahan. "Katanya mau bawa calon kamu ke sini. Mana?" tagih Reno.

Melinda dan Shakila langsung menatap Rey, sedang pria itu nampak santai menikmati sarapannya. "Nanti, Pi. Aku masih sibuk ngurusin hotel baru, nanti kalau udah saatnya juga aku bawa ke sini, sabar aja," ucap Rey.

"Bohong kali, ya Kak? Mana bisa sih lo cari cewek dikala sibuk sama pekerjaan lo itu." Shakila menimpali. Sedari awal adiknya itu memang meragukan sang kakak.

"Terserah kalau gak percaya, gak maksa," balasnya cuek.

"Kamu bilang cewek baik-baik, siapa keluarganya?" tanya Melinda gantian.

Rey langsung mendongakkan kepalanya menatap Melinda. "Baik-baik menurut aku sama menurut kalian beda sih kayaknya."

"Maksudnya?" tanya Melinda tak paham.

Kali ini Rey diam, memilih menyudahi makannya karena dia pikir belum waktunya untuk membicarakan hal ini.

"Aku pergi dulu, nanti kita bicarain lagi," kata Rey pamit, namun sebelum benar-benar pergi Rey bilang pada Melinda. "Jangan nyuruh Si Kikil buat ikutin aku lagi, aku bukan penjahat." Setelahnya pergi tanpa menghiraukan teriakan sang adik.

"NAMA GUE SHAKILA BUKAN KIKIL!"

"MAMI!"

***

"Mum, kita mau ana?" tanya Lily saat Lily tengah mengganti bajunya.

"Mau pulang, Sayang. Kan Lily udah sembuh," jawabnya seraya mengecup pipi Lily. Wangi bayi, Ayana sangat suka wanginya.

"Mmm ..., Om ana?" tanyanya lagi.
Akhir-akhir ini Lily tambah bawel, terkadang membuat Ayana kelimpungan sendiri menanggapinya.

"Mungkin masih bobo, kan ini masih pagi," kata Ayana mengarang, dia saja tidak tahu kalau Rey mau kemari. "Lily mau minum gak?"

"Ndak aus," jawab Lily. "Aih, Mum! Liat ntu, ada uda poni!"

Lily nampak heboh saat boneka berwarna putih itu memasuki ruangan.

"Selamat pagi, Cantik," sapa Rey seraya duduk di sebelah Lily.

"Itu, una sapa?" tanya Lily malu-malu seraya menunjuk boneka di tangan Rey.

"Ini punya Lily, suka nggak?" kata Rey.

"Suka!"

Lily langsung mengambil alih boneka tersebut dan memeluknya. Boneka itu seukuran tubuhnya, Lily sempat kesusahan sendiri.

"Bilang apa, Sayang?" kata Ayana mengingatkan.

"Makaci!" sahut Lily dengan senyum gemasnya.

Rey ikutan tersenyum lalu mengusap kepala Lily lembut. "Udah siap, kan? Yuk, pulang," ujarnya.

"Eh, gak usah, kita pulang sendiri aja," kata Ayana menolak.

"Sendiri gimana? Aku ke sini mau nganterin kalian kok, udah ayo." Rey bangkit lalu memanggil Lily. "Sini, Sayang, gendong Om."

Gadis kecil itu langsung bangun seraya merentangkan kedua tangannya pada Rey. "Mum, bawa bonekanya, yah?" ujar Lily saat sudah digendong Rey.

Mau tidak mau Ayana menurut untuk diantar oleh Rey, padahal dia pikir pria itu akan pergi bekerja. Akan repot jika nanti mengantarkan mereka berdua ke rumah, apalagi jaraknya jauh. Ayana masih merasa tak enakan, padahal hubungannya dengan Rey saja sudah semakin dekat. Apalagi mengingat malam itu.

"Ay, ayo! Lily udah gak sabar nih mau pulang."

Ayana pun beranjak dan mengambil boneka serta tas sedang berisi pakaian. Lalu menghampiri kedua orang itu.

***

Rey menatap tempat tinggal mereka dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Sebuah kontrakan yang terbilang kecil menurut Rey. Hanya ada tiga ruangan; kamar tidur, ruang tamu serta dapur yang terhubung dengan kamar mandi.

Halaman depannya juga kecil, hanya muat untuk motor atau pejalan kaki karena posisi rumahnya yang berdempetan dengan rumah lain; macam komplek. Rey saja memarkirkan mobilnya di jalan besar yang sering dilalui mobil, kontrakan Ayana memang berada dipinggir jalan. Namun, bukan jalan raya. Hanya jalan besar yang biasa dilalui warga.

Ayana lalu menyuruh Rey masuk, sebelumnya dia membuka sepatunya dulu baru masuk. Dalam gendongannya Lily nampak tertidur pulas, Rey sampai sangat berhati-hati saat memindahkan Lily ke kasur.
Setelah memastikan Lily aman dan nyaman di kasurnya, Rey beserta Ayana pun keluar dan beranjak ke ruang tamu.

"Makasih ya, aku gak tahu mesti gimana kalau gak ada kamu," ujar Ayana membuka obrolan karena dari tadi hanya duduk diam.

Rey yang duduk di hadapannya tersenyum. "Kamu udah berkali-kali bilang makasih lho, aku sampai bosen dengernya."

"Serius," balas Ayana.

"Aku juga serius sama kamu," kata Rey tanpa beban. Membuat Ayana terdiam.

"Aku mau nanya sesuatu boleh?" tanya Rey kemudian, mendadak ekspresinya jadi serius.

"Apa?"

"Kamu lagi menjalani hubungan sama seseorang?" tanya Rey dengan tatapan yang dalam.

"Kenapa nanya gitu?" Jantung Ayana mendadak berdebar.

"Jawab aja," kata Rey.

Karena tak mampu berkata, Ayana memilih menjawabnya dengan gelengan kepala yang berarti tidak. Seketika Rey membuang napasnya lega, dia tersenyum pada Ayana.

"Kamu mau tahu?" Rey kembali bicara dan membuat Ayana mau tak mau membalas tatapannya.

"I never kiss a stranger," ungkap Rey kemudian.

"Terus?" tanya Ayana tak mengerti. Ah, lebih tepatnya pura-pura tak mengerti, karena dia tahu kemana arah pembicaraan ini.

"Artinya, kalau waktu itu aku ci—"

"Gak usah dilanjut," potong Ayana, tak tahan sendiri mendengarnya. Pipinya bahkan mulai bersemu merah.

"Emang kamu tahu aku mau ngomong apa?" pancing Rey.

"Enggak, tapi aku tahu kamu mau bahas apa," katanya, "Aku minta maaf soal itu, anggap aja itu ucapan terimakasih aku."

Rey tak mempedulikan ucapan Ayana, dia berkata, "You're not a stranger, Aya. I've been falling to you."

Ayana mengerjapkan matanya seraya tergagu berucap, "Ka ... kamu serius?"

"Aku gak minta jawabannya sekarang kok, kamu bebas berpikir. Aku kasih kamu waktu supaya benar-benar siap," ujar Rey.

Setelah mengatakan itu Rey kemudian pamit pada Ayana. "Aku pulang dulu ya, mau ada meeting. kalian hati-hati di rumah, kalau ada apa-apa telpon aku aja, oke!" ujarnya seraya mengusap-usap kepala Ayana.

Saat sampai di pintu Rey kemudian berbalik. "Oh iya, kamu bilang yang kemarin itu sebagai ucapan terimakasih? Hmm ... menarik. I like it!" kata Rey seraya mengedipkan sebelah mata.

Baru setelah itu benar-benar pergi, meninggalkan Ayana yang masih terdiam di tempat memikirkan ucapan Rey padanya tadi.

Babalik | Revisi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang