Bab 14

400 25 0
                                    

"Aya," panggil Rey.

Ayana menoleh, dia tengah menyisir rambut Lily setelah tadi mandi sore. Sementara putrinya tengah memainkan boneka kelinci yang Rey berikan untuknya sebagai oleh-oleh. Lily tersenyum pada Rey dan pria itu membalas senyumnya.

"Aku mau ngomong sama kamu." Rey lalu menunggu di ruang tamu, selagi Ayana mendandani Lily.

"Lily mau keluar apa di sini?" tanya Ayana.

"Mau sini, main ama boneta!" jawab Lily antusias.

Ayana tersenyum. "Ya udah, Mama sama Om di ruang tamu ya," pamit Ayana pada Lily.

Dia lalu menghampiri Rey yang duduk anteng dengan ponsel di tangan. Ayana merapikan mainan Lily yang berantakan di lantai lalu duduk di single sofa, berhadapan dengan Rey.

"Mau ngomong apa?" tanya Ayana langsung.

Rey diam sebentar, menilik ke wajah Ayana yang masih tampak sembab bekas tangis, lalu dia tersenyum. "Kamu lucu," celetuknya.

Ayana sudah serius mendengarkan, tapi pria itu malah bercanda. "Ish, kamu mau apa? Aku belum mandi nih, udah sore. Kamu juga gak pulang apa?" tukasnya.

"Iya, kamu jangan marah-marah mulu nanti cantiknya ilang," goda Rey dengan kekehannya.

Ayana tak membalas, sampai akhirnya tangan Rey menepuk sofa di sebelahnya.

"Apa?" tanya Ayana tak mengerti.

"Sini, aku mau ngomong sama kamu," titahnya.

Ayana awalnya enggan karena malu, tapi tatapan Rey membuatnya mau tak mau berpindah duduk ke samping pria itu. Ayana sedikit menjaga jarak, karena jantungnya kerap kali berdegup kencang jikalau berada terlalu dekat dengan Rey.

"Jauh banget Ay, kayak lagi marahan," ledek Rey.

Tapi, Ayana tak peduli. Dia duduk sila menghadap Rey dengan bantal sofa di atas pahanya. Rey tak langsung bicara, dia memerhatikan wajah Ayana dulu dengan seksama.

"Selama aku gak ada kamu ngapain aja sama Lily?" Rey bertanya. Tangannya terulur menggenggam satu tangan Ayana.

Wanita itu tentu saja gugup, tapi berusaha tenang dengan menatap ke arah lain. Tak memandang Rey
"Ngapain aja," jawab Ayana kemudian.

Jari Rey mengusap-usap punggung tangan Ayana, memberinya ketenangan. "Maaf udah bikin kamu nangis, lain kali aku bakal bilang dulu ke kamu kalau mau pergi."

Ayana lalu menunduk, dia merasa bersalah juga atas perasaannya yang berlebihan ini. "Aku benci perpisahan," lirih Ayana. "Tapi, lebih benci lagi kalau pergi gak bilang-bilang."

"Maaf ...," Rey berkata tulus.

"Besok malam ke rumah aku, ya? Malam ini aku mau istirahat dulu," pinta Rey.

Ayana mendongak, menatap manik mata Rey. "Mau apa?"

Tangan Rey berpindah ke pipi Ayana, mengusapnya. "Ketemu orang tua aku," ujarnya, "Aku udah janji sama mereka mau bawa kamu ke rumah, tapi gak sempet mulu. Kali ini harus jadi, aku pengen mereka kenal kamu."

Sementara Ayana terdiam, apakah Rey secara tak langsung tengah melamarnya? Kalau tidak, untuk apa memperkenalkannya kepada orangtua Rey?

"Kenapa mukanya gitu?" tanya Rey seraya mencubit pelan pipi Ayana.

"Aku kan udah kasih kamu waktu lama, sekarang aku minta jawaban kamu. Mana?" tagih Rey pada Ayana.

"Kamu ... serius ya?" Ayana terlihat tak percaya.

"Aku udah umur segini, mana mungkin main-main," jawab Rey jujur apa adanya, "Apalagi sama kamu."

"Kamu yakin mau sama aku?" tanya Ayana memastikan.

Babalik | Revisi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang