Bag 5. First meet

1.4K 149 5
                                    

“Arabella!” Langkah Bella terhenti saat seseorang meneriakkan namanya. Ia pun menoleh ke arah sumber suara. “Kayaknya lo ganti nama ya?”

Bella memutar bola matanya malas, niat untuk segera sampai di kelasnya harus ia tunda. Bella terdiam tak menjawab perkataan pria  yang tengah berjalan mendekatinya. “Apa maumu?” tanya Bella langsung.

Pria itu mengulurkan tangannya. “Gue Dion,” ujarnya berniat memperkenalkan diri. Dengan malas Bella meraih tangan pria itu, namun saat Bella hendak melepas, Dion lebih dulu mencengkram telapak tangannya agar tak terlepas. “Gue senang bisa lihat lo lagi, Andin.”

___________

“Aku baru ingat jika dia pernah satu sekolah dengan kita. Kamu pasti tahu cowok kelas sebelah yang terkenal karena sering bikin masalah itu!”

“Dion... Dion... gue lupa Bell. Gak terlalu familiar juga sama anak kelas sebelah.”

“Dulu aku pernah bermasalah sama pacar cowok itu, kamu tahu Lena kan Ra?”

“Lena cabe-cabean itu? Dion pacarnya?” Sera tampak tak percaya. “Dion kan satu tahun di bawah dia, ya gue gak heran sih sama Lena. Jangan bilang lo gulet sama tu cewek gara-gara rebutan si Dion?”

I'm not! Kan aku udah bilang, aku gak ada urusan sama mereka Sera!”

“Iya deh Bell, sorry.” Sera menatap sekilas ke arah jam tangannya. “Eh gue balik sekarang deh, udah jam 5 lebih nih.”

Bella pun mengangguk setuju. Ia harus pulang sekarang sebelum langit semakin menggelap. “Aku lupa!”

“Kenapa Bell?”

“Mobilku kan masih di bengkel,” jawabnya.

“Lah terus, katanya sekarang lo tinggal sama Bang Ben. Lo ke kampus naik apa?”

“Diantar Ben.”

“Ke sini naik apaan?”

“Jalan kaki.” Sera menggeleng tak percaya, “Aku lebih suka berjalan kaki dari pada menggunakan kendaraan roda dua, sepertimu.” Lanjutnya.

“Iya gue tau! Gue emang males buat jalan kaki. Banget malah!” Sera pun bangkit dari duduknya. “Gue pulang ya, lo mau nebeng gak? Gue anterin deh ke bengkel.”

Bella menggeleng, “mending kamu pulang sekarang aja, biar gak kelamaan sampai rumah.” Sera mengangguk mengerti. Mereka berdua berjalan keluar dari cafe.

“Bell, kayaknya lo harus belajar bahasa gaul sama gue. Bahasa lo masih campur formal tau! Aneh jadinya.”

Bella mengerutkan keningnya. “Aneh banget ya?”

“Iya. Yaudah gue duluan ya.” Setelahnya mereka berpisah. Bella kembali melangkahkan kakinya ke sebuah bengkel.

“Huuft... jalan kaki lebih sehat!” Bella mencoba menyemangati dirinya sendiri.

__________

Rupanya langit sudah menggelap dan Bella masih setia melangkahkan kakinya. Sepertinya malam ini akan hujan, karena tak biasanya langit segelap ini, padahal masih sore. Bella memilih melewati sebuah gang perumahan saat rintikan air semakin deras. Untung saja tempatnya sudah dekat dari sini. Saat melewati sebuah gang, Bella tak sengaja menatap sesuatu yang membuatnya mendengus kesal.

Bagaimana bisa dua orang pasangan itu bercumbu di pojok gang. Yah meski pun sepi, tapi kan setidaknya mereka bisa berpikir ini tempat umum, bagaimana jika ada orang yang melihat. Bella mempercepat langkahnya agar ia tak melihat kegiatan menjijikan itu.

Bella meraih ponselnya yang bergetar. “Kenapa Ben?”

Wow your bahasa is good Bella, aku baru pertama kali mendengarnya.” Bella hanya bergumam malas. “Apa kau sudah pulang? Aku hanya ingin memberitahu jika aku masih berada di rumah Stefen. Aku bisa menjemputmu ke kampus, sekalian saja.”

“Tidak perlu, aku akan mengambil mobilku di bengkel. Kau duluan saja.”

“Baiklah, kalau begitu ak–” Bella menjauhkan ponselnya dari telinganya saat mendengar suara teriakan seseorang yang tertahan. Ia pun memutar tubuhnya. Bella melirik ke sana kemari untuk memastikan.

“Bella!” Ia kembali mendekatkan ponselnya pada telinganya saat tersengar suara panggilan yang cukup keras dari Ben.

“Apa kau mendengarnya juga?” ujarnya lebih seperti berbisik.

Bella where are you know? Hindari kesunyian dan pergi ke tempat yang ramai! Kau masih ingat bukan jika mereka kembali berulah di sini.”

Langsung saja Bella melangkahkan kakinya dengan cepat. Persetan dengan hujan, yang penting dirinya selamat. Dengan ponsel yang masih tergenggam dengan erat, Bella terus melangkahkan kakinya, mencari tempat yang cukup ramai. Ia mulai berlari saat mendengar suara derap langkah seseorang di belakangnya kian mendekat.

Tak mempedulikan sepatunya yang basah dan kotor, Bella semakin melajukan larinya. Untungnya hujan tak terlalu besar jadi bajunya pun hanya sedikit basah. Bella menghentikan langkahnya saat melihat sebuah pos, terdapat beberapa orang di sana.

Ia mengedarkan pandangannya ke arah belakang. Tak ada siapa-siapa, sepertinya sosok itu tak lagi mengikutinya. Bella kembali mendekatkan ponselnya ke arah telinga saat Ben kembali menghubunginya. “Aku baik-baik saja, kau tak perlu khawatir Ben.”

Really?

“Ya! Aku–” belum sempat ia melanjutkan kalimatnya. Tubuh Bella lebih dulu di tarik paksa oleh seseorang. Sosok itu membawa tubuh Bella jauh dari keramaian.

Bella tersentak saat belakang tubuhnya mengenai sebuah dinding, cukup keras hingga ia memekik pelan.  Bela mencoba memberontak saat pria di hadapannya ini mencoba mengunci pergerakannya. Bella sedikit heran, kenapa ia tak bisa mencium aroma vampir ini sebelumnya. Sepertinya sosok vampir di hapannya ini tak bisa dianggap remeh.

Bella mencoba membuka tutup kepala yang vampir itu kenakan. Karena pencahayaan yang minim membuatnya tak bisa melihat dengan jelas wajah pria di hadapannya ini. Saat tangan Bella berhasil membuka sebagian penutup kepala itu, saat itu juga tangan vampir itu beralih pada lehernya. Bella mencoba melepaskan tangan vampir itu saat cengkramannya kian mengerat. Napas Bella bahkan sudah terputus-putus, sudut matanya pun mengeluarkan air.

Ia tak sanggup lagi! Bella memejamkan matanya, ia berharap ini adalah mimpi seperti mimpi-mimpi sebelumnya. Saat kesadarannya kian menghilang, di saat itu juga cengkraman tangan vampir itu kian mengendur. Tubuh Bella pun terperosot ke bawah. Di sisa kesadarannya, Bella melihat sosok vampir itu berteriak frustasi lalu pergi begitu saja meninggalkan dirinya yang terkulai lemah. Tak lama setelahnya Ben muncul, ia segera membawa Bella yang tergeletak tak sadarkan diri.

__________

Suara lemparan barang dan pecahan kaca terdengar sangat nyaring di sebuah ruangan yang minim cahaya. Tangan pria itu memukul dan melempar setiap barang yang berada di ruangan tersebut, seakan tengah melampiaskan emosinya.

“Sial! Kenapa bisa begini?!” ujarnya seraya mengacak rambutnya frustasi. “Tapi setidaknya aku mengetahui keberadaanmu, Ben.” Entahlah, apa Lucius harus bersyukur atau justru sebaliknya, saat Ben hampir mengetahui keberadaannya tadi.












Lanjut gak nih, janlup pencet bintangnya dulu yah 😚

{ 03-03-23 }

Red Cold Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang