Jully yang membawa baskom berisi potongan buah itu memejamkan matanya, sebuah suara melengking terdengar dari belakang rumah. Perasaan tadi masih tidur setelah lelah mencari keong, kini bagai full charge dia berteriak bagaikan lengkingan Dimash Kudaibergen dan Vitas yang tinggi-tinggian notes. Sejak kapan anak itu bangun.
"Aleccia, your voice please ... !" seru Finn dari dalam.
"Sorry Uncle ... !" balasnya yang segera kabur ke belakang mencari bapaknya.
"Aleccia, shoes on ... !" teriak Jully meletakkan baskom.
"Sokeyyy Mommy," balasnya ngacir.
"Sokey ngawur saja. Itu di belakang banyak tai ayam. Kena kotoran bisa cacingan." Jully meraih alas kaki berwarna pink milik putrinya itu.
Hanya berteriak jelas tidak akan digubris. Meski sudah SMU, tapi dia yang paling kecil di sini dan dia dihujani perhatian. Jadi terkadang tingkahnya memang melebihi seorang balita. Jully meletakkan sepasang sepatu itu di dekat kaki anaknya yang hanya tertawa. Perasaan sewaktu kecil Jully tidak begini amat kenapa anaknya menguras emosi.
"Dia sangat berbeda dari sewaktu masih di Melbourne. Kamu harus segera disiplinkan Aleccia Jul. Sejak di Indonesia tingkahnya tidak karuan." Finn menggeleng setelah Jully kembali masuk.
"Aku sudah berusaha, dan kamu lihat sendiri bukan? Seringnya dia malah lebih mendengarkan Alec daripada aku." Jully kembali melirik keluar, kaki itu sudah memakai sepatu, syukurlah.
Finn berjalan pelan menuju jendela, dari sana jelas sekali terlihat papanya sedang bicara dengan Alec, dan tidak lupa ada biang kerok yang nangkring di pangkuan. Anak itu tampak riang bicara panjang lebar, tidak lupa kopi bapaknya juga diminum. Papa dan Alec sepertinya menjadi pendengar setia bocah yang sedang mendongeng menceritakan tadi main ke kebun bersama uncle dan mendapat keong 3.
"Dia, dekat banget sama Alec," gumam Finn.
"Ye begitulah," balas Jully.
Papanya masuk ke dalam, tampaknya pusing setelah mendengarkan dongeng yang sepertinya tidak ada ujung. "Anak kamu itu, kamu beri makan apa? Kalau bicara panjang bener. Papa sampe capek jawab. Sudah papa biarkan saja dia dengan bapaknya," ucap lelaki tua itu.
"Cuma sarapan bubur ayam dengan taburan kripik kroto Papa," jawab Jully sekenanya.
"Anak kamu itu, sayang banget sama Alec sepertinya, mereka begitu dekat." Papa mengambil sepotong buah dan menatap keluar lewat jendela.
"Mereka memang amat sangat dekat," balas Jully.
"Apa Alec juga sayang anaknya?" tanya papa menyapa Jully dengan serius, iya terlihat kalau mereka saling sayang, papa hanya ingin memastikan.
"Amat sangat sayang juga." Jully membalas pertanyaan papanya.
"Papa bukannya mau menolak, papa cuma mau pastikan saja. Apa kamu sudah yakin dengan jalan yang kamu ambil?" tanya papa serius.
Jully menyibak rambutnya dan dengan percaya diri menjawab, "Jully sudah menghabiskan banyak waktu untuk berpikir Papa. Dan jawaban itu tetap sama, Jully masih menginginkan dia."
"Oh baiklah, kalau kamu bicara begitu, papa bisa apa. Lakukan saja apa yang menurut kamu baik untuk kami dan anak kamu." Papa dengan senyum teduh memberi ijin.
Jully menggulir sedikit senyum. Tentu saja, hanya Aleccia yang paling berharga baginya. Yang terbaik adalah, seperti apa yang telah dia minta sebelumnya, berada di sebuah keluarga yang utuh.
***
"Uwahhhh ... !"
Gadis itu tertawa senang di atas balon bebek. Swimwear yang agak kekecilan itu menempel di tubuhnya. Sebuah kacamata yang kebesaran itu nangkring sempurna di atas hidungnya meski beberapa kali melorot. Ketika dikata hidungnya pesek dia memprotes kesal, ya memang itu kacamata ngembat punya emaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mommy, Please Say Yes !
RomanceProses terbit. Red Diamond Publisher. Open PO, Oktober 2024. * * * * * Mencicipi dosa ketika masih di bangku SMP menjadikan Alec dan Jully menjadi orang tua di usia yang masih belia. Pernikahan terlalu dini yang digelar tidak menyelesaikan masalah...