Bab 27

68 5 0
                                        

***

"Ayah. Apa boleh Hardi jatuh cinta pada Adel?" Hardi yang sedang gundah di teras rumah, nekat menanyakan hal itu kepada Yudhis. Sepulang kantor, Hardi singgah di rumah hadiah orang tuanya di kompleks dekat SCBD. Tentu hanya Yudhis yang berada di sana.

Yudhis sempat mengatur napas sebelum menyeruput kopi buatan sang putra. Barulah setelah itu beliau menatap lekat Hardi dari samping tempatnya duduk.

"Nak. Kenapa ragu-ragu? Apa yang membuat kamu bilang begini pada ayah?"

Hardi hanya menggigit bibir bawah sambil menurunkan pandangan. Bahkan dia tak berani menatap sang ayah.

"Jadi rekan kerja yang kamu sempat bawa di unitmu itu ... beneran ada hubungan?" Yudhis harus memastikan dari mulut Hardi sendiri.

Sempat mendengus, Hardi pun membuka mulut. "Bukan pacaran sih. Tapi hanya rekan kerja. Beneran."

"Terus kenapa kamu bilang, apa bisa jatuh cinta pada wanita yang namanya Adel?" Yudhis bertanya heran.

Salivanya terbawa sampai ke tenggorokan Hardi, lalu kembali menjawab. "Kadang Hardi punya rasa pada dia. Kadang di dekatnya, jantung Hardi seperti berdegup kencang. Tapi ... tanda-tanda itu sama persis dengan apa yang dulu Hardi rasakan ketika jatuh cinta dengan Irma. Hardi nggak pengen ... hal itu terulang lagi."

Sudah lumrah bagi Hardi untuk trauma jatuh cinta. Hardi belum menelaah lagi sifat Adelia lebih jauh. Meski setiap hari dia bertemu wanita itu di kantor, tapi paranoid-nya menggelayuti dirinya. Bagaimana jika Adelia punya dua sifat yang bertolak belakang?

Hardi ingin menyingkirkan pikiran buruk itu, tapi tetap saja Hardi perlu mengawasi hal-hal lebih jauh lagi.

"Kalau memang yakin sama Adel, berusahalah dekati dia. Lihat juga sikapnya seperti apa. Jika memang Adel seburuk yang kamu duga, silakan tinggalkan. Ngapain dipikirkan?" Yudhis mantap memberikan nasihat pada Hardi. Setidaknya menjadi pegangan agar Hardi tidak salah melangkah.

Dua kali pacaran pura-pura tanpa hambatan, apa itu bisa menjadi patokan buat kamu untuk memulai hubungan? Tidak, Hardi. Aku masih harus menimbang keputusan terlebih dulu. Aku nggak mau tergesa-gesa. Batin Hardi seolah memojokkan dirinya sendiri.

***

Esok hari, tepatnya pada pukul lima sore, Hardi sedang membereskan sesuatu di meja besar miliknya. Prinsip 'tenggo' adalah hal yang selalu dia terapkan begitu jarum pendek mengarah ke angka lima.

Hardi mematikan layar komputer dan mengambil tas punggung yang ditaruhnya di bawah meja. Sedetik kemudian, Adelia menerobos masuk ke ruangan bahkan tanpa ketukan sama sekali. Membuat Hardi terkejut.

"Adel? Kamu tuh nggak ketuk pintu dulu?" Hardi protes pada Adelia yang sekarang malah melempar senyum padanya.

"Maaf, Mas. Soalnya mau menunggu Mas beres-beres aja. Tadinya pengen pulang bareng Nabila, tapi kusuruh dia pulang duluan karena ingin pulang sama Mas Hardi."

Aku ingin bicara tentang makan malam, Mas. Harap saja Mas Hardi ingat.

Hardi menumpu tas punggung miliknya di belakang tubuh. "Baiklah. Ayo kita pulang bareng. Sekalian pengen ngantar kamu pulang."

"Aku tunggu di pantry ya." Seperti biasa kata-kata andalan Adelia meluncur dari mulutnya, membuat telinga Hardi seakan terbiasa mendengarnya.

Setelah mengunci ruangan manajer, Hardi memanggil Adelia yang sedang meneguk segelas air di pantry, tak jauh dari ruangan divisi.

"Ayo. Ngapain berdiri di situ?" Hardi melangkah lebih dulu ke area lift, hanya 10 kaki dari pantry.

"Kita biasanya pulang bareng kalau aku menawarkan sesuatu. Tapi ini, malah kamu yang minta pulang bareng." Hardi bersuara saat tahu Adelia berada di sampingnya menunggu pintu lift terbuka. "Apa kita masih pacaran pura-pura? Padahal belum waktunya kita begini."

Mission to be LiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang