Bab 5

114 6 0
                                    

***

(Setia adalah satu prinsip yang harus diteguhkan. Tapi bagaimana jika kesetiaan justru tak ada artinya lagi?)

Tulisan di insta story Irma ternyata telah di- highlight oleh si pemilik akun. Tentu, tulisan tersebut menjadi pemicu di mana Hardi dihujat terus-terusan oleh warganet bahkan yang dia dengar juga oleh pegawai FoodBeary.

Irma merasa puas dengan tindakannya. Secara tak langsung dia membuat Hardi dipojokkan dan membuat hidupnya sengsara. Irma tak mau reputasinya sebagai influencer redup gara-gara kesalahan yang dia perbuat pada Hardi di masa lalu. Setidaknya dia harus menyelamatkan karir dan mengesampingkan hidup sang mantan.

"Jadi kamu akan ke FoodBeary?" tanya Rafli sambil memegang kedua setir. Pria berkaos garis-garis biru terang itu penasaran dengan Irma yang sedang memasang senyumnya.

"Tentulah, Rafli sayang. Aku mau perpanjang lagi kontrak di sana. Aku ingin membuat Hardi lebih tersiksa lagi dengan keberadaanku di sana," jawab Irma sangat percaya diri.

"Tersiksa seperti apa? Dengan terus berada di sekitarnya dan mengganggu pikirannya?" Rafli menebak disambut jentikan jari kuat dari Irma.

" Bingo. Kemungkinan besar Hardi akan merasa tidak nyaman. Entahlah nanti bagaimana. Harap saja Hardi bisa tahan bila aku ada di situ."

Mungkin saja Irma enggan berurusan dengan Hardi, tetapi sekali lagi demi menyelamatkan karir sebagai seorang influencer, dia melakukan berbagai macam cara agar Hardi tidak berbuat yang jauh bahkan berdampak pada karirnya. Irma harus menahan Hardi dengan terus menyakitinya.

"Cepetan lajukan mobilnya," pinta Irma menendang jok belakang sambil menaikkan satu kakinya.

"Iya, iya." Rafli langsung mempreteli gigi mobil lalu menginjak gas hingga kendaraan tersebut melaju kencang.

Sementara itu, di kantin FoodBeary. Dua pria berkemeja duduk saling berhadapan, menikmati makanan mereka masing-masing.

Hardi terus menyendok seblak komplit miliknya ke dalam mulut. Rendra juga begitu pada nasi padang miliknya, sembari memilih lauk yang berada di ujung piring.

"Bahkan di kantin pun, masih banyak yang membicarakan lo, Di," tutur Rendra menoleh ke kiri dan kanan. "Nggak ada habis-habisnya ya mereka menghujat lo karena ulah mantan istri lo itu. Sungguh, kalau gue yang ada di posisi itu, gue bakal minggat dari kantor ini dan mencari kantor baru. Biar gue nggak dengar celetukan mereka. Emang pada dasarnya mereka ngeyel."

Tawa renyah Rendra menghiasi. Hardi masih mengadukkan seblaknya.

"Dan aku sudah melakukan itu."

Rendra spontan terpaku dengan ucapan tersebut. Mendadak Rendra menaruh sendoknya di piring. Apa tidak salah dengar? Padahal yang dia katakan barusan hanya bercanda, sekadar mencairkan suasana.

"Tunggu, maksud lo apa? Sudah melakukan itu?" tanya Rendra bingung.

"Aku sudah mengajukan surat resign ke Pak Umar," ungkap Hardi lalu menyendok bakso keju ke mulut. "Mungkin, dalam sebulan ... aku akan pergi dari kantor ini."

Tangan Rendra bergetar sejenak. Rendra sungguh tidak salah dengar, bahkan dari ucapan Hardi barusan begitu serius. Tidak ada niat main-main. Dari intonasi bicara Hardi yang rendah, Rendra jadi tahu niat sahabatnya itu.

"Nggak. Nggak mungkin kan lo bakal pergi dari sini?" Rendra mendadak tersulut amarah, tampak deru napas yang tidak beraturan. "Cuma karena rekan kantor kita menghujat lo, apa lo seenaknya meninggalkan kantor ini tanpa memikirkan siapa yang menggantikan jabatan itu? Kenapa lo nggak bilang dulu ke gue kalau lo mau resign, hah?"

Mission to be LiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang