Bab 12

84 9 0
                                    

***

Acara makan malam keluarga kebetulan diadakan akhir pekan. Peluang yang begitu besar bagi Adelia. Di Oradi, Sabtu dan Minggu semua pegawai masing-masing divisi libur seperti para pekerja pada umumnya.

Maka, Adelia mengajak Hardi untuk membeli jas di sebuah pusat perbelanjaan dalam mall. Persiapan mereka dalam menjalankan misi hampir matang. Pakaian yang sempurna dan mencolok haruslah menjadi perhatian, agar semua keluarganya terpukau oleh kecantikan Adelia yang tidak boleh diremehkan.

"Setelah beli jas, aku masih ingin ke satu toko lagi. Mau lihat-lihat gaun kayaknya." Adelia menginstruksikan rencananya di depan Hardi. Membuat pria di depannya hanya mengiyakan. Tangannya sibuk memilih jas-jas menarik di gantungan sebelah kanan.

"Kalau aku menggunakan tuxedo, bakal lebih elegan nggak?" tanya Hardi meminta saran. "Sepertinya aku suka dengan jas yang tidak terlalu menonjol. Aku ingin terlihat sederhana namun menarik."

Adelia menoleh, lantas menanggapi permintaan saran tersebut. "Bisa sih, Mas. Pakaian yang paling elegan menurutku adalah tuxedo warna abu-abu terang dan kemeja putih sebagai dalaman. Untuk celananya mungkin perlu senada dengan tuxedo yang Mas pakai."

Hardi sedikit mengerucutkan bibir sembari berpikir. "Apa itu bakal jomplang? Celana harusnya hitam atau agak keabu-abuan, biar seimbang."

Adelia terkesiap mendengar tanggapan Hardi. "Loh. Bukannya itu bagus? Apa Mas Hardi belum pernah ke kondangan atau ke acara resmi? Aku lihat referensi di internet, malah menambah kegantengan seorang pria. Ayolah, Mas. Jangan kudet gitu."

Omelan khas Adelia hanya menumpang dari telinga Hardi kemudian keluar begitu saja. Hardi bahkan tidak mendengar apa pun dari wanita berpakaian blus di sampingnya.

"Ingat loh, Mas. Besok jam 8 malam, kita harus ke hotel tepat waktu biar nggak ditungguin ayahku." Adelia mengingatkan, dibalas anggukan pelan dari Hardi, bahkan pria berkemeja polos itu tak menoleh ke arah Adelia. Justru sibuk memilih jas yang menurutnya sesuai dengan seleranya.

Tiba-tiba, Adelia bersuara protes. "Duh, kenapa milih jasnya begitu sih, Mas?"

Tarikan napas kasar terdengar hingga mengayunkan kaki cepat menghampiri Hardi kemudian mengambil alih untuk memilah tuxedo yang sekiranya cocok dan tidak biasa.

"Mas Hardi ini sungguh nggak tahu style pakaian ya? Rendra aja tahu loh. Jaket denimnya aja stylish banget. Pantas istrinya ikutan modis." Adelia sesekali mengomentari hidup mantannya sambil menyeret gantungan jas beberapa kali. "Apa karena Mas Hardi yang terlalu terpaku pada pekerjaan sampai lupa penampilan?"

Hardi berdeham mengiyakan diikuti tawa kecil. "Kamu kan tahu jabatanku. Jabatan tertinggi di FoodBeary."

"Mas. Kudengar gaji manajer digital marketing tuh kisaran 15-20 juta per bulannya. Masa nggak mau sisihkan uangnya untuk beli baju keren?"

Sekilas Hardi menurunkan pandangannya dan membenarkan perkataan Adelia. Uang hasil jerih payahnya malah ditabung untuk masa depan. Bahkan untuk beli satu unit apartemen, dia lebih mementingkan itu dibanding penampilan. Pakaian sehari-harinya juga kemeja polos, pun hanya satu atau beberapa buah saja di lemari. Celana juga berpatok pada celana jins. Termasuk kaos oblong serta celana pendek yang menjadi pakaian sehari-hari.

"Nih. Aku sudah dapat." Tangan lentik Adelia memegang gantungan jas tuxedo warna abu-abu terang lalu mengarahkannya ke tubuh Hardi untuk mencocokkan. "Tuh, kalau gini kan ganteng. Coba pakai di kamar pas."

Adelia mendorong paksa Hardi membimbingnya menuju kamar pas yang kebetulan berjarak lima kaki dari titiknya berdiri.

"Aku tunggu, ya." Tangan Adelia menarik tirai untuk menutup kamar pas. Sembari menunggu, kedua pergelangan tangannya bersedekap. Tak lama kemudian, keluarlah Hardi dengan tuxedo melekat di tubuh kekarnya. Proporsi tinggi badan Hardi yang menjulang justru satu kemistri dengan tuxedo tersebut.

"Nah, ini baru bagus. Mas Hardi sempurna sekali," puji Adelia sambil menyapukan permukaan bahan tuxedo di bagian bahu.

"Ambil ini, ya. Mas Hardi yang bayar." Adelia iseng menepuk pundak Hardi lalu berjalan menuju kasir, menunggu Hardi melepas tuxedo itu kembali.

Hardi seketika membelalakkan matanya begitu melihat price tag-nya. Hanya satu set tuxedo seharga 700 ribu? Jiwa-jiwa hemat Hardi rupanya kumat di saat seharusnya mempersiapkan tampil maksimal di depan keluarga Adelia.

Lagi-lagi Hardi mengingat ucapan Adelia barusan. Percuma punya penghasilan puluhan juta jika tidak digunakan untuk membeli baju keren. Tidak apa, tabungannya juga masih banyak. Dengan harga 700 ribu harusnya kecil di matanya, namun pakaian yang dia beli hanya sekali pakai. Anggap saja bisa disimpan untuk digunakan pada acara-acara yang dihadirinya kelak.

Setelah menggunakan pakaiannya seperti biasa, Hardi menyerahkan tuxedo tersebut ke kasir lalu memproses pembayaran. Hardi menyerahkan kartu debit warna biru kemudian kasir yang bertugas menggesek kartu dan meminta Hardi memasukkan PIN di mesin EDC.

Paperbag warna biru navy pun di tangan Hardi sekarang. Hardi dan Adelia keluar dari toko. Langkah mereka beriringan. Hardi iseng melirik Adelia yang terus menoleh ke sebelah kiri di mana itu adalah toko skincare.

"Mau beli?" tanya Hardi peka. "Sepertinya pandanganmu tidak bisa lepas dari toko itu."

"Hah?" Adelia sadar Hardi bersuara lalu berbalik menatap pria di sampingnya. "Nggak sih. Skincare-ku banyak di rumah. Ngapain beli lagi?"

"Persiapannya tinggal gaun, kan? Kita mau beli gaun di mana?" Hardi celingukan mencari sekitar toko khusus yang menjual gaun. "Sementara di mall ini, nggak ada."

"Barusan aku dapat WA dari Nabila. Katanya ibuku udah persiapkan gaunnya. Jadi yah, sudah semua."

Adelia mengecek jam di tangannya. Tepat jam 1 siang. Untunglah hari ini libur. Kebiasaannya saat istirahat makan siang kadang dimanfaatkan untuk cuci mata di mall. Kadang pula suka kebablasan membeli berbagai apa yang diinginkan. Tak jarang kembali ke kantor membawa satu atau dua paperbag.

"Mau langsung pulang atau bagaimana nih, Del?" tanya Hardi hati-hati.

"Aku pulang dulu untuk fitting gaun mungkin untuk acara besok," jawab Adelia sambil mengecek jam di pergelangan tangan. "Acara makan malam sebentar lagi tapi persiapannya matang banget."

"Ya kan mau menyambut keluarga besar ayahmu. Jadi sudah sewajarnya keluarga kamu ingin totalitas agar acara berjalan lancar tanpa hambatan," tutur Hardi menanggapi keluhan Adelia.

Hardi juga tentunya harus totalitas supaya Adelia tidak kecewa. Demi pekerjaan, Hardi harus menyiapkan skenario yang pas untuk berakting jadi pacar pura-pura Adelia di acara makan malam.

Mereka berdua menapaki tangga ekskalator lalu setelahnya berjalan cepat menuju pintu keluar mall. Waktu mereka terulur hanya untuk beli sesuatu semacam tuxedo yang akan digunakan Hardi.

Begitu mereka menunggu, Adelia mencoba melirik ponselnya. Saat berjalan beriringan dengan Hardi semenit lalu, wanita itu curi kesempatan untuk memesan taksi online. Tapi baru beberapa menit memesan, kendaraannya belum juga datang.

Hardi masih memegang paperbag di tangan, berusaha mengambil ponsel di saku celana. Ikut memesan taksi online.

"Mas Hardi nggak mau sekalian ikut di mobilku? Rutenya melewati apartemen Mas Hardi, kok." Adelia menawarkan, namun Hardi menolak.

"Aku mau ke tujuan lain." Hardi menanggapi cepat, kemudian memandangi layar ponselnya. Di mana satu buah pesan masuk beberapa menit lalu.

Dari Dani. Dia langsung membukanya dari bilah notifikasi.

(Pak Hardi. Kunci mobil sudah saya taruh di unit 21-5. Cari saja di nakas samping tempat tidur. Bapak bisa pakai mobil saya mulai besok. Karena saya akan berlibur selama seminggu, jadi kembalikan kepada saya setelah urusan Bapak selesai.)

***

Mission to be LiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang