***
Sepulangnya dari kantor, Adelia langsung beringsut masuk dalam kamar. Dia tak menyapa orang-orang di rumah, hanya menaiki anak tangga dengan lemas.
Tanpa melepaskan pakaian kerjanya, Adelia menyandarkan tubuhnya ke dipan ranjang sambil menggelung kedua kakinya hingga sejajar dengan dagu.
Rasa cemas masih menggelayut dalam diri. Tentu karena Hardi yang sempat menggeram saat menerima sebuah pesan. Ada sesuatu yang mungkin sedang disembunyikan Hardi. Bahkan informasi valid yang Rendra berikan pun tidak cukup baginya. Benar-benar Adelia penasaran dengan perubahan sikap Hardi.
Ketukan pintu memecah hening, seketika mengalihkan atensi Adelia dari lamunan. Adelia menyuruh si pengetuk pintu untuk masuk, kemudian daun pintu warna cokelat terbuka perlahan hingga menampilkan pria paruh baya dengan badan yang tegap melangkah kecil menuju sisi ranjang.
"Ada masalah?" tanya Budi seraya duduk di dekat Adelia yang sedang merenung. "Kenapa kamu datang kayak loyo gitu sih, nak?"
Adelia tak memandang ayahnya di sebelah kanan. Jika berada di posisi tempat dirinya duduk di ranjang, Adelia terus memandang ke sebelah kiri sambil menopang dagunya dengan lengan.
"Nggak ada apa-apa kok, ayah." Adelia berucap biasa. Lantas membuat Budi makin penasaran.
"Apa karena tadi Nabila bilang ada acara makan malam?" tebak Budi. "Lalu masalahnya apa? Hardi tidak punya waktu untuk itu?"
Adelia justru tidak menanggapi, tetap berada di posisi itu selama beberapa menit.
"Kalau memang begitu, ayah atur lagi waktunya. Toh tidak ada pemaksaan sama sekali. Ayah hanya mau lihat kamu bersama dengan Hardi, seperti makan malam di rumah."
Adelia masih saja diam meski ayahnya memberikan kesempatan.
"Ayah akan atur waktu yang tepat jika misalnya Hardi tidak bisa datang." Budi memberitahu sekali lagi. Agar Adelia mau menanggapi satu atau dua kata padanya.
"Mas Hardi memang nggak bisa dalam satu pekan ke depan. Adel juga sudah bilang sendiri padanya," ujar Adelia sedikit mendongakkan kepala menatap lurus Budi. "Ayah atur waktunya saja."
Budi mengangguk mengerti. "Baiklah jika seperti itu. Ayah cuma senang aja lihat kamu pacaran dengan seseorang, makanya ayah ingin lebih dekat dengan calon menantu ayah."
Baru juga diam sebentar, Adelia spontan terkesiap mendengar ujung kalimat itu. Calon menantu?
"Ayah keluar dulu ya." Budi langsung berdiri dari kursi dan pergi dari kamar Adelia dengan pelan.
Mendengar hal itu, Adelia justru menghela napas berat. Sebenarnya itu adalah peluang yang besar, tapi bagaimana dengan Hardi? Yang mana menunjukkan sikap keraguan padanya? Selama sebulan mereka memang ada perkembangan, hanya saja Hardi yang mulai menjaga jarak. Adelia merasa Hardi pantas, sebab Adelia sempat mengawasi Hardi. Untuk jaga-jaga apabila Hardi menunjukkan keburukan yang sama halnya dengan para mantannya.
Namun kenapa Hardi seperti ingin mengakhiri misi dan tidak lagi meneruskan hubungan pura-pura? Bukannya Hardi sepenuhnya move on dari Irma? Harusnya Hardi bisa melewati rasa sakit hati itu, bahkan Hardi telah membuka kedok mantan istri sendiri. Apalagi yang perlu dipertimbangan?
Lebih baik, Adelia tetap merenung di kamar. Tentu ingin mencari solusi cadangan untuk berjaga-jaga saja jika terjadi sesuatu yang mungkin akan membuat rumit hidupnya.
Sementara itu di unit 21-6, Irma keluar dari kamar mandi dengan rambut yang digelung ke atas ditutupi oleh handuk. Langkahnya terbawa menuju meja makan, di mana Hardi sedang mencuci piring di wastafel. Seperti biasa dengan sarung tangan karet, Hardi menggosok partikel yang membandel di permukaan piring.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mission to be Liar
RomanceDiduga tidak setia karena menceraikan istrinya, Hardi seakan membawa beban baru. Hardi dihujat tanpa sebab, membuatnya tertekan dan memilih resign dari kantor tempatnya bekerja. Tanpa sengaja, Hardi dipertemukan dengan Adelia. Keakraban kembali terj...