Bab 2

172 6 1
                                    

***

"Sungguh, aku benar-benar hebat dalam hal ini," puji Irma diselingi tawa ringan. "Aku yakin Hardi bakal menciut dengan hujatan tersebut. Dengan begini dia tidak akan bertindak apa-apa."

Senyum seringai Irma terpatri. Dia menggunakan otaknya untuk memanfaatkan keadaan dan memanas-manasi situasi. Semburat dari wajahnya terpantul di cermin besar. Di sebuah kamar, Irma sedang menggunakan beberapa riasan. Karena dirinya akan pergi memenuhi urusan janji temu, Irma terlebih dulu menggunakan foundation untuk menutupi kekurangan di wajah. Termasuk jerawat yang ada di pipi kanan.

Sial, itulah umpatan Irma ketika melihat jerawat tersebut. Untungnya tidak terlalu besar jadi bisa tertutupi baik oleh foundation. Dirasa puas dengan hasil tangannya, wanita rambut panjang terurai hingga menutupi dada itu kemudian mengambil concealer guna memoles mata panda yang tampak jelas.

Kesibukan Irma sebagai konten kreator kecantikan juga influencer membuat waktu istirahatnya mulai tidak teratur. Makanya kantong mata pun tercipta. Lagi dan lagi concealer menyempurnakan wajah bulatnya. Senyum Irma kembali terbit.

Belum selesai dengan riasan, tiba-tiba Irma mendapatkan sebuah telepon. Dering ponsel sangat kencang di meja rias. Membuat atensinya teralih.

Keadaan sedang bersahabat, Irma pun inisiatif mengangkat telepon tersebut. Rupanya dari Rafli.

"Iya, Rafli sayang. Kenapa menelepon sore-sore begini, sih?" protes Irma di awal pembicaraan.

Irma menahan ponsel dengan bahunya agar tertempel dengan baik di telinga, lalu kedua tangan bergerak mengambil alat riasan selanjutnya.

"Hah? Jam 8 ada kesepakatan dari brand Yuuzu? Masa sih?" tanya Irma memastikan. "Iya deh. Nanti setelah janji temu baru ke kantornya langsung. Jangan lupa jemput aku, ya."

Ponsel ditaruh kembali di meja. Irma langsung menggunakan blush on. Kuas untuk mengaplikasikannya langsung terpakai di wajah.

Irma begitu aktif hari ini, jadwalnya pun padat. Jadi harus tampak sempurna.

Selesai urusan riasan, Irma rencana ingin memilih pakaian yang cocok. Namun lagi-lagi atensinya teralihkan begitu ponselnya berdenting. Ada pesan masuk. Segera Irma mengecek.

Dari Hardi.

(Kamu nggak usah ganggu aku. Meski aku dihujat pun, aku nggak peduli.)

***

Jam 7 malam, Hardi melangkah beriringan dengan Rendra menuju ruang absensi. Mereka berdua mengisi absen kepulangan dengan menempelkan sidik jari saling bergantian. Lalu mereka berada di area lift untuk turun ke lobby.

Sambil menunggu pintu kotak besi terbuka, Rendra memecah hening membahas apa yang membuat Hardi frustasi barusan.

"Gue udah menelaah pesan yang dikirimkan mantan istri lo. Bisa-bisanya, dia berbuat begitu pada lo? Keterlaluan banget, pantas orang kantor banyak yang tuduh lo tidak setia. Jadi si Irma Riyanti itu sengaja memprovokasi lo?" Rendra mengetahui hal itu karena Hardi sempat menceritakan semuanya, bahkan Rendra pun ikut frustasi sampai berkacak pinggang di depan lift.

"Tapi gue yakin, lo bukan orang yang seperti itu." Selang tak berapa lama, Rendra mengulum senyum sambil menepuk bahu Hardi berulang kali. "Gue nggak akan membenci lo seperti yang lain. Karena gue sahabat lo dan gue percaya sama lo."

Hardi ikut tersenyum sembari mengangguk pelan. Memang, hanya Rendra satu-satunya sahabat yang dapat mengerti dia. Semua masalah yang menimpa, Rendra bakal selalu membelanya.

Pintu lift terbuka, mereka masuk lalu Rendra menekan lantai utama. Kurang dari dua menit, mereka sampai di lobby.

Hardi memegang bagian perut--ada yang memberontak di dalamnya-- dan sialnya Hardi lupa makan siang. Niat ke kantin sungguh tertunda sebab tekanan dari isi pesan yang dikirim Irma tepat jam 12 siang.

Mission to be LiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang