Bab 35

49 3 0
                                    

***

Dua tahun kemudian

Lengkingan tangisan seorang bayi memecah hening. Membuat pria dengan piyama putih polos mendadak terbangun. Matanya bergerak cepat, mencari sumber suara yang mengusiknya.

Sepertinya Hardi melupakan sesuatu. Ketika pandangannya melintas dari jendela apartemennya, dia mengenali rumah tetangga-tetangganya yang hidup dalam lapisan dinding yang tipis. Firman Hanif, pria yang pernah berbagi ruang kerja dengannya di FoodBeary, telah menjadi seorang ayah sejak anaknya lahir beberapa bulan yang lalu. Meski mereka saling menghormati, kehidupan pribadi Hanif adalah sesuatu yang selalu tersembunyi di balik permukaan. Tiap kali mengingat Hanif, dia justru teringat juniornya bernama Firman Setiawan. Sayang, Firman pindah dari apartemen dan sebagai gantinya, Hanif-lah yang tinggal di unit tersebut. Firman masih ada di FoodBeary, kata Hanif. Membuat Hardi justru bernapas lega mendengar kabar tersebut.

Hardi mulai meregangkan tubuh setelah tiba-tiba terbangun. Ia meraih selimut dan melangkah keluar dari ranjangnya. Langkahnya pelan saat menuju dapur, merasakan lantai yang dingin di bawah kakinya. Di sana, dia membuka kulkas, menemukan bagian dalamnya kosong, kecuali udara dingin yang menyerupai kehampaan. Sialnya, itu adalah pengingat lain bahwa dia belum sempat membeli bahan makanan setelah pulang kerja. Apakah dia harus menuruni tangga menuju minimarket yang terletak di dekat pintu masuk gedung apartemen? Itu adalah solusi terbaik, walau enggan.

Saat ia keluar dari unit apartemennya, Hanif muncul bersamaan, mendekap putranya yang masih menangis dan berteriak kencang sambil mencoba melawan.

"Selamat pagi, Kak Hardi. Apa tangisannya Arkha tiba-tiba membuat Kakak terbangun?" tanya Hanif, ekspresinya penuh kekhawatiran, menyadari bahwa bayinya telah mengganggu ketenangan tetangganya.

Hardi tersenyum, mengecilkan mata, dan menjawab dengan lembut, "Nggak, kok. Bukan anakmu yang membuatku terbangun." Ia melihat Hanif dengan tatapan yang penuh pengertian. "Justru karena aku ingin berangkat kantor, makanya keluar untuk beli roti di minimarket."

Hanif mengangguk memahami, sambil tetap memeluk anaknya yang terus menendang perutnya dengan kaki. Tangisan Arkha masih berkecamuk di antara mereka, dan Hanif dengan sabar mencoba untuk menenangkannya, mengusap punggung bayi itu sambil berharap agar tetangganya tidak terlalu terganggu.

"Kenapa dengan Arkha?" tanya Hardi penasaran, suara cemasnya menggema di lorong apartemen yang tenang.

"Nggak tahu, kak. Pas aku bangun, dia mendadak rewel." Hanif menjelaskan sambil memeluk erat tubuh mungil putranya yang masih menangis, mencoba untuk meredakan kegelisahannya. "Mungkin karena mamanya berangkat kerja duluan."

Hardi menduga, mencoba memahami alasan di balik tangisan kecil itu. "Mungkin dia mau cari udara segar." Dia memberikan saran dengan lembut, mengeluarkan tebakan dari lubuk hatinya. "Anakmu pengen lihat taman hijau yang ada di apartemen. Kenapa tidak sekalian kamu bawa dia ke taman lantai 8 dekat kolam? Siapa tahu tangisannya bisa berhenti."

Sebagai seorang bukan ahli dalam urusan anak-anak, Hardi hanya mengandalkan insting dan pengetahuannya yang terbatas. Dia tahu bahwa udara segar dan kehadiran anggota keluarga biasanya dapat meredakan kegelisahan anak-anak kecil, meski belum pernah mengalami sendiri.

"Iya kah?" Hanif tampak ragu, tapi mengangguk setuju. "Akan kucoba dulu kali ya. Bisa saja dia rindu sama mamanya. Atau lupa mencium Arkha sebelum pergi ke kantor, makanya nangisnya kencang banget."

Hardi hanya memberikan senyuman penuh pengertian sebagai respons. Kemudian, pria berpiyama itu melihat Hanif masuk ke dalam unit sebentar, lalu keluar lagi dengan membawa tas berisi mainan dan susu yang menampilkan gambar jerapah, yang mungkin adalah peralatan yang diperlukan untuk menghibur Arkha.

Mission to be LiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang