***
"Apa maksudnya Mas nyuruh aku kayak gitu? Nggak boleh panggil 'Mas'?" tanya Adelia dengan nada tinggi.
Demi menghindari salah paham, Hardi rela mengajukan syarat tersebut. Mungkin Adelia akan tidak terbiasa, namun ini semata-mata menyelamatkan mereka. Orang-orang bakal salah paham jika Adelia tetap keterusan memanggil 'Mas'. Bisa-bisa banyak yang menuduh Hardi sudah memperdaya Adelia.
Perlukah bagi Hardi untuk menegaskannya agar Adelia dapat mengiyakan?
"Ngomong-ngomong, selama dua tahun kamu selalu memanggilku 'Pak'. Kenapa kamu protes kalau aku nggak memperbolehkanmu memanggil 'Mas'? tanya Hardi berusaha membela dirinya.
Tanpa menunggu jawaban dari Adelia, pria itu berinisiatif menjelaskan alasan syarat tersebut. "Aku melarangmu memanggil 'Mas' biar nggak ada yang salah paham. Memang, itu adalah panggilan tersopan setelah 'Pak'. Tapi gimana kalau ada yang lihat jika kamu terus bilang 'Mas' kepadaku? Mereka bakal ngira aku ini suami kamu. Padahal kita belum menikah."
Adelia tidak bereaksi, hanya menatap Hardi yang mulai mencetak wajah serius tanpa main-main.
"Jadi, kumohon jangan panggil aku 'Mas' lagi. Biasakan panggil nama. Hardi." Pria berkemeja itu sedikit mencondongkan tubuh, seolah menginginkan Adelia agar terus ingat apa yang menjadi wajib.
"Hardi. Hardi. Iya, aku panggil Hardi." Adelia seperti anak TK yang diajari huruf dan angka. Betapa kikuknya harus membiasakan mulutnya tidak memanggil Mas lagi pada Hardi.
"Baik, jadi fix kita akan saling berhubungan lagi, tapi tidak boleh ketahuan Pak Budi." Hardi menarik kesimpulan pembicaraan sore itu.
"Iya, Mas. Eh ... Iya, Hardi." Wajar Adelia belum terbiasa, sebab baru pertama kali. Tentu Adelia juga sadar terlalu berlebihan. Mungkin dengan cara itu, orang-orang takkan berpikir macam-macam. Apalagi Tio sempat salah paham tentang panggilan Mas pada Hardi.
Suasana di kafe Brilliant mulai ramai. Apalagi meja bulat besar warna cokelat di dekat area barista ditempati beberapa pegawai kantoran di Heitz. Rata-rata semua yang ada di kafe tersebut adalah pegawai Heitz. Hardi sempat mengedarkan pandangan begitu berdiri dari tempat duduknya.
Setelan jas dan blazer mendominasi pelanggan kafe Brilliant. Hardi jadi malu sendiri, dirinya bukanlah pegawai di kantor itu. Tapi Hardi akui kafe Brilliant punya menu yang jarang ada di kafe atau kedai kopi pada umumnya.
Sesuai janji karena telah berbicara jujur, Adelia berinisiatif untuk mentraktir Hardi kopi kesukaan. Sebagai pemanasan, Hardi ikut berdiri menemani Adelia memesan. Wanita itu tidak masalah, hitung-hitung sebagai latihan agar tidak kaku bila harus berakting romantis.
"Pesan satu dolce latte." Adelia menyebut pesanan Hardi. "Sama ... milkshake oreo satu."
"Baik, total jadi 59 ribu."
Adelia memberikan kartu debit sebagai transaksi pembayaran. Sementara Hardi hanya menyimak Adelia yang mulai menekan PIN di EDC sampai struk berada di tangan Adelia.
"Ayo, Mas. Tinggal menunggu nama kita dipanggil." Spontan Adelia menautkan tangannya pada Hardi. Seketika membuat Hardi terkesiap.
Hardi justru mengeratkan tangan sebelah kanan, merasa nyaman tangan halus seorang Adelia bersentuhan dengan kulitnya. Tidak rumit melunakkan hati Adelia dalam waktu singkat. Setelah menyepakati mereka kembali berhubungan, Hardi menyiapkan sebuah rencana agar perasaannya bukan lagi pura-pura melainkan sungguhan. Hardi menyukai Adelia bahkan mulai mengesampingkan egonya. Hardi telah membuka hati sepenuhnya pada Adelia, tinggal menunggu situasi membaik barulah mereka meresmikan hubungan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mission to be Liar
RomanceDiduga tidak setia karena menceraikan istrinya, Hardi seakan membawa beban baru. Hardi dihujat tanpa sebab, membuatnya tertekan dan memilih resign dari kantor tempatnya bekerja. Tanpa sengaja, Hardi dipertemukan dengan Adelia. Keakraban kembali terj...