Bab 28

60 5 0
                                        

***

"Masuklah." Rendra mempersilakan wanita blazer itu memijak unit apartemen miliknya.

"Maaf aku merepotkan kamu, sampai harus menjemputku di lobby dulu untuk bisa naik ke unitmu," kata Adelia merasa tidak enak.

"Durasimu 30 menit, habis itu kamu langsung pulang." Rendra mengingatkan dengan suara rendahnya. "Istriku sedang tidur di kamar, jadi jangan terlalu berisik."

Adelia mengangguk, lalu menarik pelan kursi di meja makan. Rendra hanya menyajikan susu kaleng bergambar beruang. Kemudian pria itu ikut duduk di hadapan Adelia.

"Kamu nggak ikut Kak Tio acara makan-makan? Bahkan kamu nggak ngabarin ke Mas Hardi." Adelia bertanya heran.

"Kamu kan tahu istriku sekarang lagi hamil. Aku nggak bisa keluar sampai malam, karena harus menjaga dia sepulangnya dari kantor." Rendra menjawab sambil menyeruput susu miliknya. "Ngomong-ngomong, ngapain kamu di sini? Kamu ada masalah atau sekadar bicara sebagai mantan pacar?"

"Ini ada kaitannya dengan Mas Hardi. Kamu kan yang paling dekat sama dia, makanya aku ingin tanya sesuatu." Ada keraguan di setiap kalimat yang diucapkan Adelia.

"Tanya saja. Aku akan dengar." Rendra menanggapi dengan santai.

"Tadinya aku ingin mengajak Mas Hardi ngopi di Brilliant. Tapi katanya buru-buru mau ke ayahnya makanya nggak jadi. Hanya saja, Mas Hardi sedikit menggeram begitu menerima sebuah pesan. Aku menduga, bukan dari ayahnya. Dia pasti bilang begitu dengan alibi agar dia enggan menerima ajakanku. Bukannya kalau ketemu sama orang tua itu harusnya senang? Kenapa malah menggeram?"

Adelia mulai membuka susu kaleng pemberian Rendra, sambil mengendalikan kegugupannya setelah bicara panjang lebar barusan.

"Kamu itu sungguh pacaran dengan Hardi?" Rendra justru balik bertanya. "Segitu khawatirnya kamu pada dia? Sampai malam-malam ke unit apartemenku cuma menanyakan hal itu?"

"Rendra, plis. Meski kita sudah jadi mantan, setidaknya jangan bersikap dingin kayak gitu." Adelia memelas sambil meraih punggung tangan Rendra. "Aku cuma khawatir terjadi apa-apa padanya. Bukan karena aku menyukai Mas Hardi, apa salahnya mengkhawatirkan manajerku sendiri di kantor?"

Pria dengan kumis tipis itu bergeming. Telunjuknya memegang dagu, tampak memikirkan sesuatu.

"Aku coba telepon Hardi dulu. Tapi aku nggak mau bilang kamu ada di unitku." Rendra segera merogoh ponselnya dari saku celana pendek abu-abu terang yang digunakannya. Lalu mencari kontak atas nama Hardi, kemudian meneleponnya.

Tak lama menunggu, teleponnya diangkat si penerima.

"Halo, Hardi? Lo ada di mana?"

Adelia menatap Rendra dengan raut cemas. Seakan menunggu jawaban yang keluar dari mulut mantannya sendiri.

"Oh, lagi di rumah yang dekat SCBD itu? Ada Om Yudhis di situ? Lo mau nginap di sana?"

Hembusan napas lega mulai terdengar. Setidaknya dugaan Adelia salah. Jika Rendra sendiri yang bilang, maka Adelia tentunya percaya. Tentu Rendra adalah sahabat Hardi yang paling dekat.

"Oke deh, bro. Iya. Titip salam sama Om Yudhis. Iya." Rendra menutup sambungan telepon kemudian beralih bicara pada Adelia. "Dengar sendiri, kan? Hardi memang menemui ayahnya. Juga dia nggak pulang dulu ke apartemen, mau nginap di sana katanya."

Adelia mengangguk pelan, mengerti maksud Rendra. "Iya, terima kasih sudah menolongku untuk menelpon Hardi."

"Lagipula tuh, Del. Kalau memang kamu suka sama Hardi, ungkapin aja perasaan kamu ke dia. Toh, Hardi juga kemungkinan sudah move on dari mantan istrinya. Kamu jangan tinggal diam seperti berharap Hardi yang mengakui perasaannya duluan. Kamu juga harus bertindak, Del," tegas Rendra di setiap ucapannya.

Mission to be LiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang