***
"Maafkan saya. Saya nggak tahu Irma bakal seperti ini. Saya akan bujuk dia untuk ikut rapat bersama tim kalian." Rafli berulang kali menundukkan kepala pada Dani yang memasang tatapan tajam sembari terus menarik napas seakan menahan amarah yang siap meledak sebelum waktunya.
"Kamu nggak pikir jangka panjangnya kayak gimana, hah?" tanya pria blazer abu-abu terang dengan suara agak meninggi. "Seorang Irma Riyanti, yang menaikkan performa FoodBeary dan bisa dibilang handal untuk mempromosikan berbagai layanan FoodBeary, malah seenaknya bertingkah. Kalau seperti ini lebih bagus cari BA lain saja. Bahkan tanpa Irma pun, FoodBeary tetap bakal naik dengan menggunakan influencer yang benar-benar berpengaruh."
"Sekali lagi saya minta maaf. Saya bakal berusaha dan mengatur pertemuan dengan Anda dan tim Anda. Saya janji akan bawa Irma lagi ke sini."
Dani memperbaiki letak kacamatanya lalu menunjuk intens Rafli dengan pulpen miliknya. "Ingat. Kalau sampai Irma tidak datang lagi ke kantor, siap-siap saja. Kamu harus kuras tabunganmu dan membayar denda karena telah memutuskan kontrak lebih dulu. Kalian berdua yang bayar. Mengerti kamu?"
Tidak ada konsekuensi lagi bagi orang yang menurutnya bermasalah. Dani tidak main-main, dia mengambil keputusan yang besar. Tentunya agar orang-orang tak ada lagi meremehkannya, termasuk Irma yang mulai seenaknya.
"Baik, Pak. Maaf sekali lagi." Rafli, pria itu sungguh sopan. Walau tahu Rafli yang menyebabkan rumah tangga Hardi dan Irma rusak, tetap saja Rafli memiliki harga diri. Itu yang dinilai Dani di matanya.
Rafli pergi dari ruang kerja tim digital marketing. Dani spontan mengatur napasnya, setelah amarah yang sempat memuncak. Tenaganya terkuras begitu saja ketika memarahi seseorang. Aneh. Tidak seperti biasanya.
Menjernihkan kepalanya, Dani memutuskan ke pantry untuk membuat segelas kopi. Ya, itu satu-satunya alternatif saat kepalanya tidak bisa diajak kompromi. Memilih kopi manis akan membuat mood-nya juga ikut membaik.
Saat akan mengaduk kopinya dengan sendok kecil, tiba-tiba pria dengan kaos polo warna putih yang menampilkan lengan kekarnya langsung berada di samping Dani. Ikut membuat kopi.
"Anda hebat, Pak Dani," celetuk Rendra sambil tersenyum. "Anda bisa setegas itu pada Rafli. Biasanya tuh anak suka melawan. Tapi pas Anda memberikan tatapan bak mata elang, Rafli malah menciut."
Dani tersenyum ringan sambil menampilkan tawanya sedikit dengan mulut yang mengatup. "Memang kamu pernah lihat Rafli melawan di mana? Perasaan, Irma yang sering melawan."
"Entah sih, apa saya saja yang salah ingat?"
Gelengan kepala menjadi jawaban Dani berikutnya. Tangannya sembari memegang sendok, memutar isi cangkir supaya larut bersama gula yang sempat dituangkan.
"Menurut saya, Rafli itu baik orangnya, Rend. Dia bukan orang yang bisa meremehkan hal apa pun." Dani akui itu, dan dia mengucapkannya berdasarkan fakta yang ada. "Meskipun, dia pemicu rumah tangga Kak Hardi dan Irma hancur, tapi bisa jadi dia sudah mulai berubah."
"Baik darimananya, Pak?" Rendra seperti tidak menerima apa yang dia dengar barusan. "Dia sempat melawan kok. Dia dan Irma sama saja."
Dani mungkin tidak tahu kehidupan pribadi Rafli seperti apa, yang jelas di hadapannya Rafli adalah orang yang nurut dan dapat diajak kerja sama.
Sudahlah, pandangan orang-orang berbeda. Dani juga enggan membahas lebih jauh lagi.
"Besok lihat perkembangan Irma, apa dia benar-benar mau ikut rapat bareng kita atau bagaimana? Saya masih ada pekerjaan lain yang bukan hanya mengurus Irma saja." Perintah Dani mengalir begitu saja. Rendra mendengarnya seksama.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mission to be Liar
RomantikDiduga tidak setia karena menceraikan istrinya, Hardi seakan membawa beban baru. Hardi dihujat tanpa sebab, membuatnya tertekan dan memilih resign dari kantor tempatnya bekerja. Tanpa sengaja, Hardi dipertemukan dengan Adelia. Keakraban kembali terj...