***
Dua pekan berlalu semenjak Adelia memberikan tawaran pekerjaan beserta syarat kepada Hardi. Setelah berpikir panjang, justru Hardi belum juga menanggapi apa pun. Alih-alih memutuskan, Hardi disibukkan dengan pindahan ke apartemen.
Sedikit mundur ke beberapa waktu yang lalu. Tepat setelah cerai dari Irma. Unit apartemen Hardi bersama Irma dulu ditinggalkannya dan diberikan kepada salah satu juniornya yang berjasa dengannya. Hardi tak keberatan, asal unit tersebut dijaga dengan baik. Hardi muak bila mengingat mantan lagi, secara unit tersebut punya banyak kenangan. Dan Hardi sangat ingin menyingkirkannya sebab begitu terganggu.
Sementara itu, rumah hadiah untuk orang tuanya pun dibiarkan sampai nanti ayah dan ibunya memasuki masa pensiun. Barulah mereka bisa menempatinya. Masalah menjadikannya sebagai rumah sewa, Hardi masih belum memikirkan.
Hardi pindah di Clearbright Apartement tepatnya di gedung A lantai 20, unit 20-9. Tetapi tabungan untuk membayar sisa belum cukup. Lebih tepatnya masih tersisa sedikit lagi untuk ditabung. Uang pesangon yang didapatkannya dari FoodBeary perlu dikelola lagi. Maklum Hardi tak ingin tergesa-gesa menempati unit tersebut dan biasanya setiap terima gaji, dia harus menghitung dan memilah antara kebutuhan dan keinginan.
Untuk sementara Hardi diizinkan tinggal di unit 21-5 milik Dani, juniornya di kantor dulu. Hardi malah tidak menyangka Dani juga tinggal di situ, bahkan Dani tidak bilang apa pun padanya.
Mengitari seisi unit apartemen tipe 1BR itu, Hardi takjub dengan kebersihan unit juniornya. Tidak menyewa ART, tapi Dani sendiri yang menyempatkan untuk bersih-bersih. Untungnya Hardi dapat ikut serta menjaga.
Paginya sekitar pukul 7.30, Hardi sedang membuat teh di meja dapur yang berada di sebelah kiri jika berdiri dari titik ruang televisi. Benar-benar Hardi dibuat kagum dengan dapur unit 21-5 yang disulap menjadi pantry, sangat mirip di kantor lamanya dulu.
"Pak Hardi?" panggil Dani yang sudah siap dengan blazer warna biru navy serta kaos hitam garis-garis sebagai dalaman. Dani mengulum senyum pada seniornya.
Hardi menoleh membalas senyuman Dani. "Kamu mau berangkat kerja?"
Alih-alih menjawab, pria dengan model comma hair itu justru melempar kunci mobil yang refleks ditangkap oleh Hardi.
"Apa ini?" tanya Hardi bingung.
"Bapak bisa gunakan mobil saya kalau saja Bapak suntuk di apartemen," jelas Dani sontak membuat Hardi termangu.
"Maksudnya ... kamu ..."
Dani memasukkan kedua tangannya di saku celana. "Saya nggak bakal tega membiarkan Bapak sendirian di sini. Apalagi kan Rendra juga ada persiapan bulan madu, nggak enak gangguin dia. Jadi, saya izinkan Bapak menggunakan mobil saya."
Hardi spontan mengerut kening. "Loh? Terus? Kamu naik apa?"
"Bapak boleh antar saya ke kantor. Saya bisa pulang dengan naik bus atau taksi online."
Tawaran menarik. Dani tahu saja dirinya belum mendapatkan pekerjaan di kantor manapun. Sudahlah, daripada aktivitasnya hanya memantau ponsel dan lainnya yang menyita waktu, lebih baik--sesekali tidak masalah-- berkeliling kota dengan kendaraan roda empat milik Dani.
Suara cetek dari alat pemanas mengisi keheningan. Hardi langsung menuangkan air hangat ke cangkir yang telah diisi kantong teh.
"Kamu mau teh juga?" Hardi menawarkan. Namun Dani mengibaskan tangan, tak mau minum apa-apa.
"Saya menunggu Bapak minum tehnya dulu. Habis itu kita berangkat bareng."
Dani melepas tas sampingnya kemudian duduk di sofa panjang dekat gorden.
Sembari menuangkan dua sendok gula, Hardi melirik sekilas Dani yang sedang mengetik sesuatu di laptop. Senyum pelan Hardi terbit begitu tahu Dani masih saja mengurus kerjaan dibanding lain-lain.
[Meski dia nggak jadi manajer, dia punya semangat kerja yang tinggi. Persis seperti Firman.]
Hardi duduk di kursi panjang sembari menyeruput teh hangatnya. Rileks adalah hal pertama yang dirasakan. Setelah beban memikulnya beberapa hari, pikiran Hardi benar-benar teratur.
Kecuali tawaran Adelia yang menjadi teman kencan. Di saat Hardi berusaha menata kembali kebahagiaannya, dia masih menimbang-nimbang. Dia tak ingin jatuh di jurang yang sama. Dengan kata lain, masalah yang sama. Terlalu bucin adalah kesalahan besar baginya. Pun itu sudah cukup.
"Dani." Hardi memanggil nama orang yang sedang fokus menatap layar laptop. "Mau sarapan bubur ayam dekat kantor nggak? Kebetulan aku belum sarapan. Mau buat sesuatu, kulkasnya kosong."
Tawa renyah Dani mengisi keheningan sejenak. "Maaf ya, Pak. Saya jarang isi kulkas karena saya juga nggak ada waktu untuk masak. Makanya saya lebih prefer pesan online."
Hardi mengangguk memahami. "Oh, pantas."
"Baik, Pak. Kita sarapan bubur ayam dekat kantor. Habis itu, Bapak antar saya sampai depan lobby," lanjut Dani. "Baru setelahnya, Bapak boleh sepuasnya mengemudikan mobil saya. Bensin juga sudah isi full tank."
"Sip." Hardi mengangkat jempolnya rendah. "Kalau kamu nunggu lagi, nggak apa-apa kan? Soalnya mau mandi dan berpakaian. Mustahil kan aku keluar dalam keadaan pakai kaos oblong putih dan celana pendek selutut?"
Dani tersenyum lagi, kali ini memperlihatkan giginya yang putih bersih. "Nggak apa kok. Lagipula saya masih harus selesaikan kerjaan yang belum kelar dari kemarin. Nggak masalah, jam masuk kantor juga masih lama."
"Baiklah kalau begitu. Aku mandi dulu." Hardi meminta izin lalu melangkah menuju kamar Dani yang berada dekat dengan ruang utama.
Selagi menunggu Hardi bersiap, Dani kembali mengerjakan laporan di laptopnya. Dani menempati jabatan manajer sementara waktu, bukan resmi ditunjuk hanya menggantikan Firman yang masih sakit dan belum bisa masuk kantor.
Beberapa menit berkutat dengan benda persegi panjang itu, Dani mengalihkan pandangan ketika Hardi baru keluar dari kamar mandi dengan handuk dililit di pinggang.
"Oh iya, Dani. Sebenarnya aku lancang ngomong begini ke kamu." Hardi memutar kenop pintu kamar lalu berbalik menatap Dani. "Emm, boleh aku pinjam kemeja dan celanamu?" Hardi tampak ragu-ragu, meski Dani sudah dia anggap seperti adiknya sendiri, dia tetap punya etika. Termasuk meminjam barang milik orang lain.
"Loh? Kenapa Bapak takut begitu? Nggak apa. Pakai saja, Pak. Kalau mau ambil juga nggak apa-apa."
Walau tahu Dani akan mengizinkan, Hardi tetap salah tingkah dan sungkan menggunakan baju yang bukan miliknya.
Maka, Hardi pun memasuki kamar punya Dani kemudian membuka lemari besar yang menyimpan berbagai macam kemeja keren. Lagi-lagi Hardi dibuat takjub. Belum pernah melihat kemeja serta baju yang sangat berbeda dibanding miliknya. Hardi hanya mengandalkan kemeja polos, Dani justru lebih modis. Hardi akui itu.
Hardi menjatuhkan pilihan kepada kemeja flanel warna merah gelap. Dengan dalaman singlet putih yang juga milik Dani. Untuk celana, hanya celana kain krem miliknya.
Dirasa sempurna, Hardi keluar dari kamar dengan membawa tas samping kecil yang selalu digunakan untuk ke kantor.
"Ayo. Sudah jam 8, katanya mau cepat." Hardi mengingatkan lalu mengambil sepatu kets--kebetulan miliknya-- kemudian menggunakannya di depan pintu.
Menunggu Dani bersiap, Hardi menerima satu pesan melalui gawai buah apel gigit.
Ternyata bukan dari aplikasi perpesanan hijau, ternyata dari pesan pribadi di akun Instagram-nya. Siapa yang mengunjungi akunnya padahal tidak digunakan bertahun-tahun?
Dilihat dari fotonya, bisa ditebak nama pengirim adalah Adelia. Wajahnya terpampang jelas di foto profil, meski menggunakan username berbeda.
Hardi membuka isinya lalu membacanya.
(Mas Hardi. Kenapa Mas Hardi memblokir-ku di WA? Bahkan di telepon biasa. Apa Mas Hardi berusaha menghindariku? Maaf bukannya tidak sopan sama Mas Hardi, tapi acara makan malam founder TimeY bakal diadakan tiga hari lagi. Mas Hardi sungguh nggak mau jadi teman kencanku?)
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Mission to be Liar
RomanceDiduga tidak setia karena menceraikan istrinya, Hardi seakan membawa beban baru. Hardi dihujat tanpa sebab, membuatnya tertekan dan memilih resign dari kantor tempatnya bekerja. Tanpa sengaja, Hardi dipertemukan dengan Adelia. Keakraban kembali terj...