Bab 53

113 5 0
                                        

***

Enam bulan kemudian, seorang wanita dengan rambut ikat kuncir kuda itu menonton dengan antusias sebuah video yang menggambarkan "A Day in My Life." Video tersebut seperti vlog yang biasa dibuat oleh konten kreator terkenal, tetapi kali ini berfokus pada momen-momen sehari-hari tanpa efek suara tambahan, hanya didukung oleh musik relaksasi yang mengalun perlahan sepanjang video.

Wanita tersebut menikmati setiap tegukan dari kopi susunya sambil merilekskan diri, mengangkat kedua kakinya dan meletakkannya di kursi yang kosong di dekatnya. Matanya tertuju pada layar televisi yang memutarkan adegan keluarga sedang bersantap bersama.

"Calon saudara ipar gue nih," komentar ringan salah satu orang yang duduk di sebelah pria berwajah cerah yang ada di kanannya.

"Hussh, diam. Kakak dan kakak ipar lagi merekam tuh," desis seorang wanita muda dalam video, meskipun wajahnya tidak ditampilkan.

Pria yang kini menampilkan rambut panjang dan lebat hanya mengangkat bahu sebagai jawaban. Tatapannya terus terpaku pada layar televisi yang menampilkan momen kebahagiaan dalam vlog makan-makan keluarga.

"Kamu lagi nonton apa?" tanya Rafli, tiba-tiba. Dia menundukkan kepalanya, tetap memperhatikan layar televisi yang menampilkan vlog keluarga.

"Wah lihat mereka. Bahagia banget. Hardi juga kelihatannya nyaman gitu." Rafli tak ragu menyebutkan nama yang pernah berada di relung hati Irma.

"Aku iri lihat mereka," sahut Irma begitu melihat adegan di mana Hardi tak ragu mencium pipi seorang wanita di samping.

"Sudah. Ngapain repot-repot memikirkan Hardi dan kebahagiannya? Kita sudah punya kebahagiaan sendiri," ucap Rafli, senyumnya muncul perlahan, dan matanya memandang dengan penuh kasih pada mata cokelat Irma. "Setidaknya, kita berdua sudah memulai lagi dari nol. Apalagi?"

Irma, yang dikenal dengan sikap kesombongannya dan kecenderungannya untuk pamer kesuksesannya, kini telah berubah 180 derajat. Dia menjadi lebih tenang dan hemat dalam berbicara, begitu juga dengan Rafli. Kesalahan besar yang mereka lakukan telah membuahkan pelajaran berharga. Irma menyadari bahwa menyakiti orang yang selalu baik padanya, seperti Hardi, adalah tindakan yang sangat buruk. Terutama mengingat semua hadiah yang pernah diberikan oleh Hardi.

Tiba-tiba, air mata mengalir di pipi Irma, dan meskipun tangisannya tidak terlalu keras, perasaannya yang mendalam jelas terasa. Rafli segera merangkul Irma dengan lembut. Pelukan Rafli tidak terlalu erat, tetapi cukup untuk menenangkan Irma dengan lembutan, sementara ia juga menepuk dan mengelus kepala Irma.

"Aku masih merasa bersalah kepada Hardi," bisik Irma. "Melihatnya begitu bahagia, aku menyadari bahwa aku mungkin memperlambat kemajuannya dengan Adelia. Mungkin saja mereka bisa ..."

"Sudah. Kamu jangan terlalu memikirkan itu." Rafli berucap dengan lembut. Suaranya yang tenang dan penuh perhatian membuat Irma merasa lebih baik. Tangannya yang lembut terus mengusap rambut Irma sambil memeluknya erat di dadanya.

"Ngomong-ngomong, aku dapat undangan pernikahan dari Hardi. Kamu mau datang?" Rafli bertanya pelan, mencoba membuat Irma merasa tenang setelah isakannya yang berkepanjangan.

"Kenapa kita harus datang? Aku nggak sanggup lihat wajah bahagia Hardi," jawab Irma menolak.

"Tapi setidaknya kita harus mendoakan mereka. Toh, Hardi tidak melarang kita datang. Kapan Hardi pernah bilang bahwa kita tidak boleh datang ke pernikahannya?" Rafli mencoba meyakinkan Irma bahwa Hardi tidak memiliki masalah dengan siapa pun yang datang sebagai tamu pernikahan, termasuk Irma dan Rafli.

"Mau tahu sesuatu? Hardi ... memutuskan pindah kantor dari Oradi ke TimeY. Karena sadar Hardi dan Adelia satu kantor dan lumrahnya tidak ada pasangan yang sekantor atau profesionalitas mereka bakal menurun. Makanya Hardi yang pilih ke TimeY." Rafli berkisah, mencoba memecah keheningan yang sempat menggelayuti mereka.

Mission to be LiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang