004

600 45 7
                                    

"Jadi, anda yang membawa saya ke rumah sakit ini?" Tanyaku spontan, jika memang benar dia, mengapa dia melakukannya? Seharusnya dia membiarkanku tenggelam, untuk apa dia susah-susah berenang mempertaruhkan nyawanya dan membawaku ke tepian? Benar-benar tindakan yang bodoh.

Tentu, tanpa basa-basi lelaki bernama Alif itu menganggukan kepalanya dengan pandangan yang masih tertunduk. Entah apa yang ia lihat di bawah sana akupun tak tahu. Yang jelas ia bahkan tak menatapku dengan benar dan terus menundukkan kepalanya.

"Untuk apa?" Tanyaku lagi dengan mataku yang mulai berkaca-kaca.

"Nyawa anda adalah titipan, dan harus dijaga dengan sebaik-baiknya." Jelas Alif tanpa satupun keraguan.

Aku membelalakkan kedua mataku. "Untuk apa di jaga jika hanya akan menderita?" Sahutku karena aku benar-benar tak setuju dengan pemikirannya. Mungkin baginya seperti itu, tapi bagiku tidak. Dunia ini hanya terlihat seperti jerat untukku, jerat yang akan terus membuatku menderita. Jadi, untuk apa aku tetap menjaga nyawa ini? Tak ada gunanya.

"Tahu dari mana anda jika hidup anda akan menderita? Apa anda punya orang dalam untuk menjembatani anda berbicara dengan Tuhan sampai-sampai anda tahu apa yang akan terjadi di masa depan? Takdir seseorang adalah rahasia yang tak akan anda ketahui dari siapapun kecuali anda sudah menjalaninya sendiri." Timpa Alif serius.

Sontak aku mengerutkan keningku, jadi sekarang ia membawa-bawa Tuhan? Tuhan yang bahkan tak bisa mengabulkan permohonan kecilku?

"Saya tidak percaya Tuhan!" Ucapku tegas.

"Jika Tuhan memang benar adanya, hidup saya tidak akan menderita seperti saat ini." Sambungku.

"Terkadang seseorang menderita itu karena perbuatannya sendiri, bukan karena takdir." Sahut Alif.

Sontak aku menatapnya tajam, menatap wajah yang seolah belum mengenal dunia ini."Cukup! Lo nggak tau gimana rasanya kehilangan dua orang yang lo sayang sekaligus. Dan lo juga nggak tau gimana rasanya dunia lo hancur setelah di khianati tunangan lo sendiri!" Ucapku penuh penekanan, tentu karena aku tak bisa menahan emosiku yang sudah bergejolak.

Alif terdiam untuk sesaat. Mungkin ia merasa menyesal atau apalah itu, atau bisa juga jika saat ini i malah merasa prihatin pada diriku yang saat ini terlihat kacau.

"Saya tahu rasanya. Saya pun pernah kehilangan kedua adik saya karena kesalahan saya. Dan saya pun pernah di khianati oleh wanita yang dijodohkan dengan saya. Tapi saya tetap menjalani hidup ini, karena saya tahu, saya tak akan bisa menebus perasaan bersalah saya hanya dengan mengakhiri hidup saya sendiri." Terang Alif tetap sopan meskipun aku sudah berteriak padanya.

"Mungkin beberapa hal tidak terjadi sesuai dengan keinginan kita. Tapi anda harus yakin, hal itu adalah takdir terbaik yang Tuhan berikan." Sambung Alif sembari bersiap melangkahkan kakinya meninggalkanku.

"Saya pamit, jangan pernah mengambil keputusan saat anda sedang dikuasai oleh amarah dan rasa kecewa. Jaga diri anda sebaik mungkin, nyawa anda sangat berharga melebihi apapun." Sambungnya yang langsung melenggang meninggalkanku.

Dalam keheningan ini aku menghela nafasku dan memijit pangkal hidungku, entah mengapa air mataku menetes saat hal itu keluar dari mulut Alif, pemuda yang bahkan bukan siapa-siapa ku, pemuda asing yang tiba-tiba masuk ke dalam hidupku.

Isak tangisku memenuhi seluruh ruangan tempatku dirawat, dalam hati aku merutuki diriku sendiri, perkataan Alif terus berputar di kepalaku. Entah mengapa aku merasa bimbang kali ini.

°

°

°

°

Haii Reader's ❤️

Apa kabar?
Ada yang udah kangen?
Udah pada mampir ke akun ig @lgwiin belumm?
Kalau belum buruan dehh, sekalian follow and tinggalin jejak kalian di sanaa😉

Btw jangan lupa vote and tinggalin jejak kalian di chapter ini juga yaaa💗

See you di chapter selanjutnyaa and
Happy Reading

Takdir TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang