017

344 27 43
                                    

Aku duduk termenung menunggu Alif dan yang lainnya yang saat ini tengah melaksanakan shalat maghrib berjamaah.

Hatiku terasa tak nyaman semenjak mendengar perkataan Alif tadi. Aku memang sempat berniat untuk bunuh diri, tapi sekarang tak lagi karena aku sudah memiliki tujuan baru untuk hidupku kedepannya.

Aku sudah menemukan  sedikit kebahagia, dan aku benar-benar tak ingin melepas kebahagiaan ini apapun yang akan terjadi nantinya.

"Tante!" Panggil Jihan dari arah belakangku, spontan aku menoleh dan tersenyum padanya.

"Ya?"

"Yuk!" Ajaknya sembari menarik lenganku.

Akupun beranjak dan mengikutinya. "Ke mana?" Tanyaku penasaran.

"Ngaji." Jawab Jihan tanpa mengalihkan pandangannya yang saat ini fokus pada setiap langkahnya.

Tak butuh waktu lama kami pun sampai di aula. Anak-anak terlihat berbaris dan mengantri di hadapan Alif yang saat ini terlihat sangat gembira bercengkrama dengan mereka semua.

Saat ini aku  hanya bisa tersenyum melihatnya, pandanganku benar-benar tak bisa lepas darinya, lebih tepatnya pada sosoknya yang tersenyum seperti saat ini. Sangat jarang bisa melihat Alif tersenyum dengan bebasnya seperti Sekarang.

Andai saja handphone ku tak hilang saat aku terjun dari jembatan dulu pasti saat ini aku bisa mengabadikan momen langka ini.

"Tante!" Panggil Jihan lagi yang tentu saja membuatku tersentak.

"Ya?"

"Ayo masuk!" Ajak Jihan antusias, akupun menganggukkan kepalaku dan mengikutinya memasuki Aula yang tak terlalu besar itu. Ukurannya bahkan tak lebih besar dari kamarku di rumah.

Aku duduk tepat di samping Jihan. Tentu karena aku tak tahu apa yang harus ku lakukan saat ini.

"Temen-temen! Yuk ngaji sama tante Mina!" Teriak Jihan memanggil anak-anak yang tentu saja aku langsung membelalakkan kedua bola mataku saking terkejutnya.

Aku mengaji? Aku? Aku?
Alin Elorania yang bahkan sangat jarang beribadah, bahkan bisa di bilang aku hampir tak pernah menginjakkan kakiku ke tempat ibadah semenjak 12 tahun lalu.

Dengan cepat anak-anak yang tadinya berbaris mengerumuni Alif pun mulai berlarian mengarah padaku.

Rasanya aku benar-benar tak bisa mengeluarkan suara, entah apa yang harus aku lakukan saat ini, aku bahkan tak bisa mendengar suara Alif sangking kerasnya suara anak-anak yang saat ini mengerumuniku dan berebut barisan terdepan.

"Aku dulu!" Teriak salah satu anak laki-laki dengan kepala plontosnya.

"Aku!" Sahut yang lainnya.

"Yang sampai aku dulu! Jadi ya aku duluan!" Timpa anak lainnya yang benar-benar tak mau mengalah.

Aku hanya bisa melihat mereka secara bergantian dengan tatapanku yang benar-benar seperti orang kebingungan. Bagaimana sekarang?

"Aku dulu!"

"Aku!"

Tanpa aba-aba aku memejamkan mataku dan menghembuskan nafas beratku. "Stopp!!!" Pekikku yang sontak saja membuat semua anak terdiam.

"Tante nggak bisa ngaji!" Sambungku tanpa memedulikan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Suasanapun menjadi sangat sunyi, anak-anak hanya memandangku dengan tatapan tak percaya mereka.

Begitupun dengan Alif yang terlihat baru saja beranjak dari duduknya yang hanya terdiam menatapku dengan tatapannya yang terlihat benar-benar tak menyangka aku mengatakan hal seperti tadi pada anak-anak.

"Tante bohong ya?" Tanya Jihan yang masih berada di sampingku.

Aku yang masih fokus menatap Alif pun sontak menatap Jihan panik. "Haa?"

"Masa udah gede nggak bisa ngaji?" Timpa anak lain merasa tak percaya.

"I—itu, tan—tante emang nggak bisa ngaji." Sahut Alif dengan senyumnya yang terlihat ia paksakan.

"Haa? Yang bener om?" Tanya anak-anak kompak.

"I—iya." Jawabku mewakili.

"Tante baru belajar, jadi masih belum bisa ngajar kalian." Tambahku panik karena takut Alif akan memarahiku nanti, terlebih sepertinya akan sangat menyeramkan ketika Alif marah nanti.

"Ohh,, jadi baru belajar juga ya!" Sahut anak laki-laki yang duduk tepat di hadapanku.

"Iya."

"Iqra berapa?" Tanya Jihan terlihat penasaran. Berbeda denganku yang hanya bisa menatap Alif meminta petunjuk darinya.

"Iqra itu apa?" Gumamku tanpa suara bertanya pada Alif. Alif pun hanya bisa tersenyum kaku padaku.

*****

Setelah kekacauan tadi berlalu kini aku dan Alif pun berpamitan pada anak-anak dan juga pengurus panti yang sudah menyambut kami dengan sangat ramah.

Tak terasa kami berada di panti ini sampai pukul 7 malam karena Alif menceritakan sedikit kisah nabi untuk anak-anak, kalau tidak salah ingat tadi Alif menceritakan kisah tentang nabi Musa dan tongkat kayunya yang bisa berubah menjadi ular dan membelah lautan.

Rasanya sangat mustahil sebuah tongkat kayu bisa berubah menjadi ular dan membelah lautan seperti yang tadi di ceritakan Alif, namun yaa tak bisa di pungkiri jika aku sangat menikmatinya tadi.

"Hati-hati ya nak, sudah malam." Ucap bu Oki.

Kami pun menganggukkan kepala kami bersamaan. Alif mulai mencium punggung tangan bu Oki dan beberapa pengurus panti lainnya. Akupun mengikuti apa yang dilakukan Alif.

Kata Alif itu adalah salah satu cara kita untuk menghormati orang yang lebih tua dari kita. Dan tentu itu adalah ilmu baru untukku.

"Tante!" Panggil Jihan yang terlihat berlari menghampiri kami dengan sebuah kotak di tangannya.

"Ini buat tante sama om!" Ucap Jihan dengan nafasnya yang terengah-engah sembari mengulurkan kotak berwarna pink itu pada kami.

"Wahh terimakasih ya Jihan." Ucapku sembari menerima kotak itu dari Jihan yang saat ini tersenyum sembari menganggukkan kepalanya.

Dengan cepat Jihan mengulurkan tangannya padaku lalu mencium punggung tanganku, tak lupa juga ia mencium punggung tangan Alif, begitupun dengan Alif yang entah mengapa malah ikut mencium punggung tangan Jihan, padahal katanya yang lebih muda lah yang mencium punggung tangan orang yang lebih tua.

"Om pamit ya, Jihan harus jadi anak yang pinter ya nanti." Ucap Alif sembari membelai puncak kepala Jihan.

"Siap om!" Jawab Jihan cepat sembari mengangkat tangannya untuk memberi hormat pada Alif.

Alif pun segera menyalakan mesin motornya, begitupun denganku yang sudah siap dengan helm tadi yang kini sudah aku kenakan lagi.

"Udah siap?" Tanya Alif lirih, akupun menganggukkan kepalaku dan meletakkan kotak dari Jihan ke pangkuanku.

Kami melaju dengan perlahan di tengah keramaian malam kota Jakarta, rasanya sangat berbeda dengan saat aku keluar biasanya, entah apa yang membuatnya terasa berbeda.

"Kita mampir ke toko buku dulu ya!" Ucap Alif yang terdengar samar di telingaku.

"Haa? Toko buku?"

"Iya."

"Ngapain?"

"Beli pisang." Jawab Alif datar yang sontak membuatku menyesal bertanya padanya.

Lagipula kenapa juga aku bertanya seperti tadi, toh sudah sangat kan jelas Toko buku pasti menjual buku dan peralatan tulis lainnya. Benar-benar bodoh!

Takdir TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang