021

339 28 25
                                    

Aku menghela nafasku dan mendudukkan diriku di salah satu bangku taman yang saat ini benar-benar sepi.

Aku memejamkan mataku sejenak, mencoba menenangkan pikiranku yang benar-benar kacau. Aku memang sudah berhasil melarikan diri dari rumah, tapi harus ke mana aku sekarang? Aku tak lagi memiliki tujuan.

Tak mungkin aku kembali ke rumah Alif karena nenekku sudah mengetahuinya. Dan jika aku ke hotel saat ini, tentu nenek pun masih bisa menemukanku. Sangat mudah untuknya karena ia memiliki banyak sekali relasi yang akan dengan senang hati membantunya.

Aku benar-benar terlihat seperti gelandangan, tak punya rumah dan tujuan. Meskipun aku masih memiliki uang dan beberapa perhiasan.

Setelah aku berpikir cukup panjang, akhirnya aku kembali mengetuk pintu rumah Alif. Entah reaksi seperti apa yang akan aku dapatkan nanti aku bahkan tak memperdulikannya saat ini.

Ceklekk

"Iya?" Ucap seorang lelaki paruh baya yang terlihat bersamaan dengan pintu di hadapanku yang terbuka perlahan, benar ia adalah ayah Alif, Abi Umar. Lelaki yang cukup tegas dan sangat peduli terhadap apa yang terjadi di sekitarnya.

Aku menundukkan kepalaku, rasanya sangat canggung, terlebih ini adalah kali pertama aku akan berbicara dengan ayah Alif yang kerap kali di panggil Abi ini.

"Kamu?—"

"Mina?" Sahut ummi Rifa yang menyusul Abi Umar.

Akupun menganggukkan kepalaku, dan dengan cepat ummi Rifa memelukku erat. Seketika pelukannya benar-benar membuatku tenang.

"Lepas ummi!" Titah abi Umar tegas.

Ummi Rifa pun menatap suaminya itu penuh tanda tanya, begitupun denganku. Aku tahu mungkin Abi Umar kini tak mau melihatku berada di sini lagi, namun aku benar-benar sudah tak memiliki tujuan lain selain rumah ini.

"Ada urusan apa lagi kamu datang ke sini?" Tanyanya yang sontak membuatku merasa ciut.

"Sa—saya ti—tidak punya tempat tujuan lain." Jawabku lirih.

Mereka terdiam, suasana menjadi begitu sunyi tanpa suara sedikitpun, dan aku lagi-lagi hanya bisa menunduk sembari memainkan jari-jemariku.

"Kita masuk dulu ya Bi!" Ucap ummi Rifa lembut sembari mengajakku masuk ke dalam ruang tamunya.

Aku duduk, kami bertiga hanya terdiam untuk beberapa saat sampai saat Alif datang dengan sebuah senter yang belum menyala di tangannya.

"Mina?" Gumam Alif terlihat khawatir dan terkejut melihatku namun ia langsung menundukkan kepalanya seperti biasa.

Alif pun berjalan mendekat dan berhenti tepat di sofa samping ayahnya.

"Duduk!" Titah Abi Umar yang tentu saja langsung ia patuhi tanpa sepatah kata yang keluar dari mulutnya.

Ayah Alif menghela nafas panjangnya dan menatapku dengan tatapan yang terlihat penuh pertanyaan.

"Alif sudah menjelaskan siapa kamu yang sebenarnya tadi." Ucap Abi Umar yang membuatku hanya bisa menundukkan kepala.

"Kalau boleh jujur. Saya tidak suka cara kalian berbohong seperti ini. Menyembunyikan identitas, bahkan sampai berbohong mengenai agama kamu sendiri." Lanjutnya tegas namun dengan nadanya yang terlihat lembut.

"Abi benar-benar merasa kecewa. Terutama pada Alif, putra yang paling Abi percaya."

"Kami semua tahu situasi kamu saat ini sangat sulit. Namun maaf, kami tidak bisa membantu kamu karena ini masalah yang hanya bisa kamu selesaikan sendiri."

Mendengarnya berkata demikian sontak aku menatap wajah Abi Umar dalam. Pikiranku benar-benar kacau begitu mendengar semua itu .

"Pulang, dan bicarakan semuanya dengan hati. Insyaallah kamu akan mendapatkan jalan keluarnya nanti." Tambahnya dan tentu saja aku langsung menggelengkan kepalaku perlahan.

"Saya tidak bisa pulang sekarang." Jawabku cepat.

Setelah susah payah aku bisa keluar dari penjara itu bagaimana bisa aku kembali lagi ke sana?

"Lalu? Apa yang akan kamu lakukan? Terus kabur dan menghindari takdir?" Sahut Abi Umar yang langsung membuatku terdiam.

"Mungkin memang itu yang terbaik untuk kamu dan keluargamu. Tentu, mungkin menurutmu itu tidak baik, tapi pikirkan juga dengan sudut pandang mereka." Tambahnya serius.

Terbaik untukku? Memikirkan sudut pandang mereka? Ingin sekali aku mengatakan alasanku tak ingin kembali ke rumah itu, namun tahu apa mereka.

Tahu apa mereka terhadap apa yang sudah nenekku lakukan pada orang tuaku? Tahu apa mereka terhadap apa yang telah nenekku lakukan untuk memisahkanku dengan mama ku dua belas tahun yang lalu?

Aku tidak ingin menjadi boneka nenekku, boneka hidup yang hanya mematuhi perintahnya selama sisa hidupku.

Bukankah jika seperti itu lebih baik mati?

"Tapi Bi—" ucap Alif mencoba untuk mengatakan sesuatu pada Abinya.

"Kita tidak memiliki hubungan apapun dengannya Alif, kita tidak bisa membiarkan dia tetap di sini jika neneknya sendiri tidak mengizinkan. Dia masih memiliki keluarga." Sahut Abi Umar cepat. Bahkan di titik ini ummi Rifa hanya bisa diam tanpa bisa menyela perkataan suaminya.

"Saya ingin masuk islam!" Ucapku tegas yang langsung membuat mereka bertiga menatapku dengan tatapan terkejutnya.

°

°

°

°

°

Haii Reader's ❤️

Hayoo siapa nihh yg udah nungguin Mina nggomong kayak yang di atas?
Amiw yang nulis juga udah nungguin bangett kokkk heheheh

Jangan lupa vote and tinggalin jejak kalian di kolom komentar yaa kalau mau lanjut ke chapter berikutnya!!!
Share juga biar Reader's makin nambahhh😚

Jangan lupa juga mampir ke akun IG dan TikTok Amiw yaa biar Amiw makin Semangat!

IG : lgwiin

TikTok: LGwiin (wp_lgwiin)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


TikTok: LGwiin (wp_lgwiin)

Sekian ocehan AmiwwStay tuned andHappy Reading ❤️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sekian ocehan Amiww
Stay tuned and
Happy Reading ❤️

Takdir TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang