023

390 26 8
                                    

Aku menatap pantulan diriku di cermin yang tak terlalu besar ini.

Dengan balutan hijab berwarna rose yang menutupi rambutku aku tersenyum menatap Husna yang juga tersenyum padaku setelah mengajariku menggunakan hijab panjang yang bernama pashmina.

Biasanya aku hanya mengenakan hijab persegi yang kemudian di bentuk menjadi segitiga, karena itulah yang Alif berikan padaku.

Sebenarnya aku berniat untuk membeli beberapa pakaian dan hijab namun Husna melarangku dan mengatakan aku tak harus membeli itu semua. Terlebih saat ini aku masih belum benar-benar menjadi seorang mualaf.

Dan setelah aku meyakinkannya jika aku serius dengan keputusanku untuk mengenakan pakaian seperti yang ia kenakan, Husna pun  lagi-lagi meminjamkanku beberapa pakaian miliknya.

Katanya untuk saat ini sebaiknya aku mengenakan beberapa pakaian miliknya yang kebetulan masih baru dan belum pernah ia pakai.

"Ini oleh-oleh dari kerabat-kerabat jauh Ummi sama Abi waktu dateng ke sini, daripada mubazir karena pakaianku yang masih bisa di pakai masih banyak mendingan mbak Alin pakai ini dulu, mbak juga jadi nggak perlu repot-repot beli di luar kan."

Itu yang Husna katakan kepadaku kemarin malam. Dan akupun menyetujui sarannya itu.

"Mbak udah siap?" Tanya Husna yang langsung mendapat anggukan yakin dariku.

Husna pun tersenyum dan mengajakku untuk segera berangkat menuju rumahnya. Pagi ini aku akan kembali ke rumah keluarga Alif untuk mengatakan keputusanku yang benar-benar sudah yakin untuk menjadi seorang mualaf.

Meskipun terkesan terburu-buru namun hatiku sudah mantap untuk menjadi Mualaf.

"Tuhan Akan selalu bersama hamba-hamba-Nya."

Alif mengatakan itu pada anak-anak panti kemarin. Dan aku terus terngiang dengan apa yang ia ucapkan.

Aku yang sebelumnya tak ingin mempercayai tuhan, kini berubah 180° setelah aku mengenal Alif dan para santri yang entah mengapa mampu membuat hatiku tergerak.

Mungkin karena selama ini aku terbiasa untuk hidup sesuai dengan kemauanku sendiri dan sekarang aku harus mengikuti peraturan-peraturan pesantren yang justru membuatku merasa betah tinggal di sana.

Ada Warda dan Ratna yang selalu sabar menemaniku dan membimbingku. Ada Alif yang selalu menjagaku, dan ada ummi Rifa yang selalu ramah dan menganggapku seperti keluarganya sendiri.

Seperti anak-anak panti yang mendapatkan keluarga barunya di panti asuhan. Akupun mendapatkan keluarga baruku di sini.

"Ayo mbak!" Ajak Husna dengan senyum manis di wajahnya setelah ia membuka gerbang rumahnya perlahan. Dan saat ini jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya.

Akupun mengangguk dan melangkahkan kakiku memasuki area rumahnya.

Terlihat beberapa santriwati yang menyapu halaman rumah Alif, dan beberapa lainnya terlihat membersihkan tanaman-tanaman liar yang berada di taman yang ukurannya tak terlalu besar itu.

Aku dan Husna bergegas kemari setelah Husna selesai shalat subuh dan membaca beberapa ayat Al-Qur'an.

Terdengar suara para santri yang baru saja kembali dari membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an bersama di masjid.

"Mbak duduk dulu ya, aku panggilin ummi dulu." Ujar Husna yang langsung bergegas memanghil ummi Rifa di dalam.

Aku mendudukkan diriku di sofa dengan perlahan. Dan tak butuh waktu lama Husna datang bersama dengan ummi Rifa.

Ummi Rifa duduk tepat di sampingku. Ia memelukku dan membelai lembut puncak kepalaku.

Tak terasa air mataku menetes dalam dekapan ummi Rifa. Aku merasa benar-benar nyaman, dan rasa kesepianku selama ini menghilang begitu saja.

Takdir TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang