037

276 21 19
                                    

Aku menundukkan kepalaku, menungu respon Alif yang saat ini masih terdiam. Cukup lama ia hanya diam dan memandangi bohlam yang ada di tangnnya.

"Alif!" Panggilku lirih takut-takut jika ia marah.

"Ya?"

"Maaf." Ucapku dengan kepala tertunduk, Alif menganggukkan kepalanya, sepertinya ia benar-benar marah saat ini. 

Memangnya siapa yang tak akan marah jika tiba-tiba ditabrak sekaligus basah karena tersiram air, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Hal itupun sepertinya berlaku juga padaku, sudah mendapat hukuman dari pengurus pondok dan mungkin sebentar lagi aku akan mendapat hukuman dari Alif. Hufftt,,,, aku hanya bisa menghela nafas pasrah saat ini.

"Pegang!" Titah Alif sembari menyodorkan bohlam yang ia bawa pada Husna, dengan patuh Husna mengambil bohlam itu sementara aku masih menatapnya tak paham, apa yang akan ia lakukan?

"Mina!" Panggil Alif yang membatku tersentak.

"Ya?"

"Nanti setelah jamaah dzuhur temui saya di rumah!" Ujarnya lalu segera melenggang meninggakanku dan Husna, jujur saja jantungku sekarang rasanya akan meledak. Alif sangat jarang marah, namun sekalinya ia marah ia terlihat sangat menakutkan meskipun tak banyak bicara.

"I-iya." Jawabku gagap dengan pandanganku yang terus tertuju pada Alif yang saat ini semakin menjauh dari kami.

Aku terdiam untuk sesaat lalu mentap Husna yang ternyata juga menatapku.

"Mbak Mina tadi ngapain bawa ember begituan segala?" Tanya Husna yang menyadarkanku jika aku harus menjemur keset dan menyiram tanaman di depan.

"Kena hukuman." Jawabku singkat. "Kalau kamu sama Alif sendiri ngapain ke sini? Alif kan jarang mau ke area sini." Ucapku balik bertanya terlebih memang benar Aif bahkan tak pernah meninjakkan kakinya ke area ini karena area ini berada di ujung area khusus pondok putri.

Husna tersenyum dan mengangkat bohlam yang ia pegang hingga setara dengan dadanya. "Ini. Mau benerin lampu di depan kamar mandi ini, kemarin ada santiwati yang laporan kalau lampu di sini mati jadi abi nyuruh Mas Alif buat ganti yang baru soalnya pengurus lain kan masih sibuk kalau di jam-jam segini." Jelas Husna yang langsung membuatku paham.

Kami berbincang lumayan lama, dengan pembahasan mengenai kegatanku di sini, dan yaahh aku sudah mulai terbiasa melakukan semua aktivitas di ondok ini yang tentu hampir semua terasa asing dan baru untukku.

Contohnya seperti sekarang, dihukum untuk membersihkan kamar mandi. Bukankah inii sesuatu yang sangat keterlaluan jika dikatakan sebagai hukuman?

Sejak aku kecil aku bahkan tak tahu cara menggunakan sapu dan alat bersih-bersih lainnya jika Ratna dan Warda ta mengajariku beberapa hari yang lalu. 

Bahkan  di sini aku diharuskan untuk mencuci, menjemur, melipat, bahkan mensetrikan pakaianku sendiri. Tak ada mbak ataupun bibi yang bisa membantu di sini. Di sini aku di ajari untuk menjadi lebih mandiri.



*****


Sesuai dengan perintah Alif, saat ini aku menunggunya di rumah, tak lupa akupun membawa iqra dan bukuku yang aku gunakan untuk belajar megaji bersama Alif.

Dalam tiga hari aku sudah bisa menyelesaikan iqra satu, dan hari ini aku akan mulai mempelajari iqra dua.

"Mina." Panggil seseorang dari arah ambang pintu.

Aku menatapnya dengan seksama sosok lelaki yang saat ini mulai melngkahkan kakinya memasuki rumah.

Aku menghela nafas beratku, ternyata Ozzi, entah apa lagi yang akan ia perbuat sekarang yang pasti aku benar-benar merasa tak nyaman jika ada dia di dekatku.

"Mau ngaji ya?" Tanyanya meskipun ia sudah tahu jawaban apa yang akan ku katakan, benar-benar pertanyaan retoris. Dengan terpaksa aku menganggukkan kepalaku sebagai tanda mengiyakan.

Ia menatapku untuk sepersekian detik dan mengaihkan pandangannya. Sama seperti Aif.

"Dari dulu tetep cantik ya, baik hati lagi." Gumamnya yang masih bisa ku dengar. Sontak akupun menelengkan kepalaku. "Dari dulu?" Gumamku penuh tanda tanya.

Ozzi menatapku sekali lagi dan kembali terukir senyum yang mengisyaratkan sesuatu di wajanya, cukup lama ia terdiam dan jujur saja ekspresinya itu membuatku semakin penasaran.

"Nunguin yaaa?" Tanyanya penuh semangan dengan nada yang terdengar lumayan familiar di telingaku, tentu saja hal itu membuatku kaget. 

Dengan senyum kecut di wajahku aku menatapnya tajam. Kurasa jika ku pukul kepalanya sekali tak akan jadi masalah, toh ia dulu yang membuat gara-gara lebih dulu kan? Terlebih tak ada orang yang akan melihat hehehe,,

"Jepang." Ucapnya sebelum aku membulatkan niatku untuk memukulnya.

"Jepang?" Beoku karena tak paham.

"Tiga tahun yang lalu, 27 Maret, Jepang." Tambahnya lagi.

"Sakura?" Jawabku tanpa pikir panjang karena biasanya di bulan-bulan itu sakura mulai bermekaran di Jepang, dan yaa,, aku memang sering menyempatkan waktuku untuk sekadar melihat bunga sakura yang mulai bermekaran.

"Ishhhh udah mulai tua sih mankanya lupa." Ujarnya yang langsung bangkit dan melenggang meningalkanku tanpa melanjutkan apa yang ia katakan tadi.

"Ehhh? Mau ke mana? Kan belum selesai!" Pekikku memanggilnya yang semakin menjauh memasuki rumah Alif.

"Takut. Ada om-om yang liatin." Jawabnya sembari melihat ke arah belakangku.

"Om-om?" Gumamku sembari membalikkan tubuhku perlahan karena akupun pnasaran siapa om-om yan Ozzi maksud, apa Abi Umar?

"Apanya yang belum selesai?" Tanya Alif tepat saat aku membalikkan tubuhku.

"Astaghfirullah hal adzim." Teriakku spontan saking terkejutnya meihat sosok Alif  yang terlihat seolah-olah ia sedang memergokiku yang sedang melaakukan kesalahan besar. 

"Om." Gumamku tanpa ku sadari.

"Om?" Beo Alif sembari menelengkan kepalanya ke kiri. Sontak aku menutupi mulutku dan menatapnya dalam. Apa yang baru saja ku katakan? habislah diriku,,,,,

Takdir TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang